Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Garis Waktu Agama

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Dengan adanya garis waktu, membuat kita lebih terbuka melihat maing-masing Agama yang ada di dunia ini.
  1. Agami Jawi (Agama Lokal Jawa) - Tahun 10.481 SM
  2. Agama Hindu - Abad 3.102 SM
  3. Agama Buddha - Abad 563 SM
  4. Agama Kristen - Abad 1 M - Tahun 1 Masehi
  5. Agama Kristen - Tahun 29 M (Saat Yesus berumur 29 Tahun)
  6. Agama Kristen Ortodoks Syria - Tahun 52 M
  7. Agama To Lotang (Agama Lokal Sulawesi) - Tahun 564 M (Lahirnya Sawerigading)
  8. Agama Islam - Tahun  571 M (Lahirnya Nabi Muhamad)
  9. Agama Islam - Tahun 611 (Saat Nabi Muhammad berumur 40 Tahun)

Agama Lokal Asli Nusantara - 10.481 Tahun SM

Ilustrasi
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Daftar di bawah ini merupakan kumpullan sementara yang mungkin dikemudian hari akan bertambah lagi.

Kapitayan
Kedjawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur) - 10.481 Tahun SM

Agama Jawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)
Aliran Mulajadi Nabolon
Basora
Bolim
Budi Luhur
Buhun (Jawa Barat)
Kaharingan (Kalimantan)
Parmalim (Sumatera Utara)
Tolottang (Sulawesi Selatan) - Tahun 564 M


Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)
Marapu (Sumba)
Naurus (pulau Seram, Maluku)
Pahkampetan
Purwaduksina
Samawi
Sirnagalih
Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)
Wetu Telu (Lombok)


Bagi penganut "Agama Lokal", berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, Pasal 61 Ayat 02, tentang Administrasi Kependudukan, mengatur bagi Penduduk yang agamanya belum diakui  sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan, maka status agamanya di KTP tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.


Negara-negara yang menerapkan Agama Lokal-nya, sebagai Agama Nasional-nya antara lain:

- India
- Israel
- China
- Jepang
- Arab Saudi

Mengenai Teori Agama Lokal, Anda bisa mendapatkannya dalam Teori Sosiologi
Sumber : http://agamalokal.blogspot.com/

Masuknya agama Buddha di Indonesia - 400 M

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Agama Buddha sampai di Nusantara cukup awal dan banyak informasi mengenai hal ini kita dapatkan dari sumber-sumber Tionghoa. Fa Xien yang datang dari Sri Langka pada tahun 414, terdampar karena angin topan yang hebat ke Yeh p’o t’i (Yawadwîpa, entah ini Jawa atau Sumatra, kurang jelas), merasa agak kecewa terhadap situasi agamanya (=agama Buddha) di sana, apalagi apabila dibandingkan dengan kaum brahmana dan orang-orang ‘kafir’. Tetapi sebelum tahun 424, menurut sumber China lagi, agama Buddha tersebar di negara Shê p’o (=Jawa). Sang misionaris atau pendakwah yang menyebarkan agama ini konon adalah Gunawarman, seorang putra pangeran dari Kashmir. Ia datang ke pulau Jawa dari Sri Langka dan pada tahun 424 bertolak ke China, di mana beliau meninggal tujuh tahun kemudian. Ia menterjemahkan sebuah teks dari mazhab Dharmagupta

Pada abad ke-7, ke-8, ke-9 para penganut Buddha Indonesia, atau paling tidak beberapa pusat agama Buddha di Sumatra dan Jawa sudah merupakan bagian dari sifat kosmopolitis agama ini. Kesan ini terutama didapatkan dari karya I Ching. Dalam buku kenangannya, ia menceritakan bahwa sang peziarah Hui Ning memutuskan perjalanannya selama tiga tahun di pulau Jawa (664/5 Р667/8) untuk menterjemahkan sebuah sutra, kemungkinan besar dari mazhab Hinayana, mengenai Nirwana yang agung. Penterjemahannya dibantu seorang pakar Jawa yang bernama J̢̱nabhadra. Sedangkan I Ching sendiri menghargai pusat-pusat studi agama Buddha di Sumatra secara tinggi. Hal ini terbukti dari fakta bahwa ia tinggal selama enam bulan di Sriwijaya dan dua bulan di Malayu (Jambi) dalam perjalanannya ke India pada tahun 671 dan setelah itu selama sepuluh tahun di Sriwijaya (685-695).

Selain itu ia juga meringkaskan bahwa agama Buddha dipeluk di negeri-negeri yang dikunjunginya dan sebagian besar, mazhab Hinayanalah yang dianut, kecuali di Malayu di mana ada pula beberapa penganut Mahayana.

Tetapi di pulau Jawa, kurang dari seabad setelah ini, bentuk agama Buddha yang paling banyak dianut merupakan sebuah kombinasi antara Mahayana dan Vajrayana. Candi Borobudur yang oleh beberapa orang tertentu dianggap sebagai sebuah mandala raksasa, pada ribuan bas-reliefnya menunjukkan pemandangan atau adegan yang dimuat dalam sejumlah teks-teks dalam bahasa Sanskerta yang bernafaskan atau dijadikan dasar dari paham Mahayana. Teks-teks ini adalah: Mahakarmawibhangga, Lalitawistara, Diwyawadana dan Gandawyuha.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ajaran_Siwa-Buddha#Masuknya_agama_Buddha

*) Informasi lain
Agama Buddha di Indonesia

Agama Buddha di Indonesia memiliki sejarah panjang. Di Indonesia selama era administrasi Orde Baru, terdapat lima agama resmi di Indonesia, menurut ideologi negara Pancasila, salah satunya termasuk Agama Buddha. Presiden Soeharto telah menganggap agama Buddha dan Hindu sebagai agama klasik Indonesia.[rujukan?]Agama Buddha merupakan salah satu agama tertua yang ada di dunia. Agama buddha berasal dari India, tepatnya Nepal sejak abad ke-6 SM dan tetap bertahan hingga sekarang. Agama Buddha berkembang cukup baik di daerah Asia dan telah menjadi agama mayoritas di beberapa negara, seperti Taiwan, Thailand, Myanmar dan lainnya. Agama Buddha kemudian juga masuk ke nusantara (sekarang Indonesia) dan menjadi salah satu agama tertua yang ada di Indonesia saat ini.

Buddhisme yang menyebar di nusantara pada awalnya adalah sebuah keyakinan intelektual, dan hanya sedikit berkaitan dengan supranatural. Namun dalam prosesnya, kebutuhan politik, dan keinginan emosional pribadi untuk terlindung dari bahaya-bahaya di dunia oleh sosok dewa yang kuat, telah menyebabkan modifikasi dalam agama Buddha. Dalam banyak hal, Buddhisme adalah sangat individualistis, yaitu semua individu, baik pria maupun wanita bertanggung jawab untuk spiritualitas mereka sendiri. Siapapun bisa bermeditasi sendirian; candi tidak diperlukan, dan tidak ada pendeta yang diperlukan untuk bertindak sebagai perantara. Masyarakat menyediakan pagoda dan kuil-kuil hanya untuk menginspirasi kerangka pikiran yang tepat untuk membantu umat dalam pengabdian dan kesadaran diri mereka.

Meskipun di Indonesia berbagai aliran melakukan pendekatan pada ajaran Buddha dengan cara-cara yang berbeda, fitur utama dari agama Buddha di Indonesia adalah pengakuan dari "Empat Kebenaran Mulia" dan "Jalan Utama Berunsur Delapan". Empat Kebenaran Mulia melibatkan pengakuan bahwa semua keberadaan dipenuhi penderitaan; asal mula penderitaan adalah keinginan untuk obyek duniawi; penderitaan dihentikan pada saat keinginan berhenti; dan Jalan Utama Berunsur Delapan mengarah ke pencerahan. Jalan Utama Berunsur Delapan mendatangkan pandangan, penyelesaian, ucapan, perilaku, mata pencaharian, usaha, perhatian, dan konsentrasi yang sempurna.

Masa Kerajaan Hindu-Buddha
Agama Buddha pertama kali masuk ke Nusantara (sekarang Indonesia) sekitar pada abad ke-5 Masehi jika dilihat dari penginggalan prasasti-prasasti yang ada. Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien[1]. Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7 sampai ke tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha disana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan.

Di Jawa berdiri juga kerajaan Buddha yaitu Kerajaan Syailendra, tepatnya di Jawa Tengah sekarang, meskipun tidak sebesar Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini berdiri pada tahum 775-850, dan meninggalkan peninggalan berupa beberapa candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut dan Candi Pawon. Setelah itu pada tahun 1292 hingga 1478, berdiri Kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang ada di Indonesia. Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Maha Patihnya, Gajah Mada. Namun karena terjadi perpecahan internal dan juga tidak adanya penguasa pengganti yang menyamai kejayaan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, maka Kerajaan Majapahit mulai mengalami kemunduran. Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit, maka kerajaan Hindu-Buddha mulai tergeser oleh kerajaan-kerajaan Islam.

Dari mula masuknya agama Buddha di Nusantara terutama pada masa Kerajaan Sriwijaya, mayoritas penduduk pada daerah tersebut merupakan pemeluk agama Buddha, terutama pada daerah Nusantara bagian Jawa dan Sumatera. Namun, setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk agama Buddha semakin berkurang karena tergantikan oleh agama Islam baru yang dibawa masuk ke Nusantara oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir. Jumlah umat Buddha di Indonesia juga tidak berkembang pada masa penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Bahkan pada masa penjajahan Portugis, umat Buddha di Indonesia semakin berkurang karena bangsa Eropa juga membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kerajaan Sriwijaya
Wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-8.
Stupa Buddha di Candi Borobudur yang dibangun Dinasti Syailendra.

Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan maritim yang berada di Sumatera, namun kekuasaannya mencapai Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja dan lainnya. Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta, sri adalah "bercahaya" dan vijaya adalah "kemenangan". Kerajaan Sriwijaya mula-mula berdiri sekitar tahun 600 dan bertahan hingga tahun 1377. Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan yang sempat terlupakan, yang kemudian dikenalkan kembali oleh sarjana Perancis, bernama George Cœdès pada tahun 1920-an[2][3]. George Cœdès memperkenalkan kembali sriwijaya berdasarkan penemuannya dari prasasti dan berita dari Tiongkok. Penemuan George Coedes kemudian dimuat dalam koran berbahasa Belanda dan Indonesia[3]. Dan sejak saat itu kerajaan sriwijaya mulai dikenal kembali oleh masyarakat. Hilangnya kabar mengenai keberadaan Sriwijaya diakibatkan oleh sedikitnya jumlah peninggalan yang ditinggalkan oleh kerajaan sriwijaya sebelum runtuh. Beberapa penyebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya, yaitu:

    Serangan dari Dinasti Chola dari Koromandel, India Selatan (1017&1025)

Serangan ini berhasil menawan raja Sriwijaya dan kemudian Dinasti Chola menjadi berkuasa atas kerajaan Sriwijaya. Akibat dari serangan ini, kedudukan kerajaan Sriwijaya di nusantara mulai bergoyang.

    Muncul kerajaan Melayu, Dharmasraya

Setelah melemahnya kekuasaan Dinasti Chola, kemudian muncul kerajaan Dharmasraya yang mengambil alih Semenanjung Malaya dan juga menekan keberadaan kerajaan Sriwijaya.

    Kekalahan perang dari kerajaan lain

Alasan lain yang menyebabkan runtuhnya Sriwijaya yaitu perang dengan kerajaan lain seperti Singosari, Majapahit serta Dharmasraya. Selain sebagai penyebab runtuhnya Sriwijaya, perang ini juga menyebabkan banyak peninggalan sriwijya yang rusak atau hilang, sehingga keberadaan Kerajaan Sriwijaya terlupakan selama beberapa abad.

Perkembangan agama Buddha selama masa Sriwijaya dapat diketahui berdasarkan laporan I-Tsing. Sebelum melakukan studi ke Universitas Nalanda di India, I-Tsing melakukan kunjungan ke kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan catatan I-tsing, Sriwijaya merupakan rumah bagi sarjana Buddha, dan menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Hal ini membuktikan bahwa selama masa kerajaan Sriwijaya, agama Buddhis berkembang sangat pesat. Selain itu I-tsing juga melaporkan bahwa di Sriwijaya terdapat aliran Buddha Theravada (kadang disebut Hinayana) dan Mahayana. Dan kemudian semakin lama buddhisme di Sriwijaya mendapat pengaruh dari aliran Vajrayana dari India.

Pesatnya perkembangan agama Buddhis di Sriwijaya juga didukung oleh seorang Mahaguru Buddhis di Sriwijaya, yaitu Sakyakirti, nama Sakyakirti ini berasal dari I-tsing yang berkenalan saat singgah di sriwijaya.[8] Selain Mahaguru Buddhis, I-tsing juga melaporkan ada perguruan buddhis yang memiliki hubungan baik dengan Universitas Nalanda, India, sehingga ada cukup banyak orang yang mempelajari Buddhisme di kerajaan ini. Dalam catatannya, I-tsing juga menulis ada lebih dari 1000 pendeta yang belajar buddhis di Sriwijaya.

Kerajaan Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Majapahit banyak meninggalkan tempat-tempat suci, sisa-sisa sarana ritual keagamaan masa itu. Bangunan-bangunan suci ini dikenal dengan nama candi, pemandian suci (pertirtan) dan gua-gua pertapaan. Bangunan-bangunan survei ini kebanyakan bersifat agama Siwa, dan sedikit yang bersifat agama Buddha, antara lain Candi Jago, Bhayalangu, Sanggrahan, dan Jabung yang dapat diketahui dari ciri-ciri arsitektural, arca-arca yang ditinggalkan, relief candi, dan data tekstual, misalnya Kakawin Nagarakretagama, Arjunawijaya, Sutasoma, dan sedikit berita prasasti.

Berdasarkan sumber tertulis, raja-raja Majapahit pada umumnya beragama Siwa dari aliran Siwasiddhanta kecuali Tribuwanattungadewi (ibunda Hayam Wuruk) yang beragama Buddha Mahayana. Walau begitu agama Siwa dan agama Buddha tetap menjadi agama resmi kerajaan hingga akhir tahun 1447. Pejabat resmi keagamaan pada masa pemerintahan Raden Wijaya(Kertarajasa) ada dua pejabat tinggi Siwa dan Buddha, yaitu Dharmadyaksa ring Kasiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan, kemudian lima pejabat Siwa di bawahnya yang disebut Dharmapapati atau Dharmadihikarana.

Pada zaman majapahit ada dua buku yang menguraikan ajaran Buddhisme Mahayana yaitu Sanghyang Kamahayanan Mantrayana yang berisi mengenai ajaran yang ditujukan kepada bhiksu yang sedang ditahbiskan, dan Sanghyang Kamahayanikan yang berisi mengenai kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai pelepasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Nampaknya, sikap sinkretisme dari penulis Sanghyang Kamahayanikan tercermin dari pengidentifikasian Siwa dengan Buddha dan menyebutnya sebagai "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu kesadaran tertinggi.

Pada zaman Majapahit (1292-1478), sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Sepertinya aliran Hindu-Siwa , Hindu-Wisnu dan Agama Buddha dapat hidup bersamaan. Ketiganya dipandang sebagai bentuk yang bermacam-macam dari suatu kebenaran yang sama. Siwa dan Wisnu dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai "Harihara" yaitu rupang (arca) setengah Siwa setengah Wisnu. Siwa dan Buddha dipandang sama. Di dalam kitab kakawin Arjunawijaya karya Mpu Tantular misalnya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para pandhita menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Siwa. Vairocana sama dengan Sadasiwa yang menduduki posisi tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki posisi timur. Ratnasambhava sama dengan Brahma yang menduduki posisi selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki posisi barat dan Amogasiddhi sama dengan Wisnu yang menduduki posisi utara. Oleh karena itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara Agama Buddha dengan Siwa . Dalam kitab Kunjarakarna disebutkan bahwa tiada seorang pun, baik pengikut Siwa maupun Buddha yang bisa mendapat kelepasan jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Siwa-Buddha.

Pembaruan agama Siwa-Buddha pada zaman Majapahit, antara lain, terlihat pada cara mendharmakan raja dan keluarganya yang wafat pada dua candi yang berbeda sifat keagamaannya. Hal ini dapat dilihat pada raja pertama Majapahit, yaitu Kertarajasa, yang didharmakan di Candi Sumberjati (Simping) sebagai wujud Siwa (Siwawimbha) dan di Antahpura sebagai Buddha; atau raja kedua Majapahit, yaitu Raja Jayabaya yang didharmakan di Shila Ptak (red. Sila Petak) sebagai Wisnu dan di Sukhalila sebagai Buddha. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan di mana Kenyataan Tertinggi dalam agama Siwa maupun Buddha tidak berbeda.

Meskipun Buddhisme dan Hinduisme telah menyebar di Jawa Timur, nampaknya kepercayaan leluhur masih memerankan peranannya dalam kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan struktur candi yang di dalamnya terdapat tempat pemujaan nenek moyang, yang berwujud batu megalit, yang ditempatkan di teras tertinggi dari tempat suci itu.

Setelah Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada masa akhir pemerintahan Raja Brawijaya V (1468-1478) dan runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur Agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.

Masa Indonesia Modern
Masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia
Setelah kemerdekaan Indonesia, muncul orang-orang yang peduli dan melestarikan agama Buddha di Indonesia, dimulai dengan seorang bhikkhu dari Ceylon (sekarang Sri Lanka) bernama Narada Maha Thera. Pada tahun 1934 ia mengunjungi Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sebagai bhikkhu Theravada pertama yang datang untuk menyebarkan ajaran Buddha setelah lebih dari 450 tahun jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha terakhir di kepulauan nusantara. [11] Kedatangannya mulai menumbuhkan kembali minat untuk mempelajari Buddhisme di Hindia Belanda. Animo ini kemudian diperkuat oleh seorang bhikku dari Indonesia yang ditahbiskan di Birma (sekarang Myanmar) yang bernama bhikkhu Ashin Jinarakkhita, dan dimulailah kembali perkembangan agama Buddha di Indonesia, dimana perlahan-lahan agama Buddha mulai dikenal kembali.
Pasca Gerakan 30 September

Setelah terjadinya usaha kudeta Gerakan 30 September yang gagal pada tahun 1965, setiap adanya petunjuk penyimpangan dari ajaran monoteistik Pancasila dianggap sebagai pengkhianatan. Untuk mempertahankan agama Buddha di Indonesia, pendiri Perbuddhi, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita, mengusulkan adanya penyesuaian dalam dogma Buddhisme di Indonesia, yaitu adanya dewa tertinggi tunggal, "Sang Hyang Adi Buddha". Ia mencari bukti dan konfirmasi untuk versi khas Buddhisme Indonesia ini dalam teks-teks Jawa kuna, dan bahkan dari bentuk kompleks candi Buddha di Borobudur di Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun-tahun yang mengikuti setelah percobaan kudeta 1965 yang gagal tersebut, ketika semua warga negara Indonesia diharuskan untuk mendaftar dengan denominasi agama tertentu atau dicurigai sebagai simpatisan komunis, jumlah umat yang terdaftar sebagai penggikut Buddhisme naik tajam, beberapa puluh biara Buddha baru dibangun. Pada tahun 1987 ada tujuh aliran agama Buddha yang berafiliasi dengan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), yaitu: Theravada, Buddhayana, Mahayana, Tridharma, Kasogatan, Maitreya, dan Nichiren.

Menurut perkiraan tahun 1987, ada sekitar 2,5 juta orang pengikut Buddha, dengan 1 juta dari jumlah tersebut berafiliasi dengan Buddhisme Theravada dan sekitar 0,5 juta dengan aliran Buddhayana yang didirikan oleh Jinarakkhita. Perkiraan lainnya menempatkan umat Buddha hanya sekitar 1 persen dari populasi Indonesia, atau kurang dari 2 juta. Buddhisme saat itu mendapatkan jumlah tersebut karena status yang tidak pasti dari agama Konfusianisme atau Konghucu. Konfusianisme resmi ditoleransi oleh pemerintah sejak jatuhnya administrasi Orde Baru, namun karena agama Konghucu dianggap hanya sebagai suatu sistem hubungan etika, bukan agama, agama ini tidak diwakili dalam Departemen Agama.

Agama Buddha di Indonesia di awal 1990-an merupakan produk labil dari pengakomodasian yang kompleks antara ideologi-ideologi agama Timur, budaya adat etnis Tionghoa, dan kebijakan politik. Secara tradisional, Taoisme Cina, Konfusianisme ("Konghucu" dalam Bahasa Indonesia) dan Buddhisme, serta agama Buddha yang lebih kepribumian Perbuddhi, semua memiliki pengikut di komunitas etnis Tionghoa.
Masa dimulainya Sensus Penduduk

Sensus penduduk yang dimulai pada tahun 1961 menunjukkan pertumbuhan penduduk Indonesia berdasarkan data kuantitatif 1961-1971= 2.1%, 1971-1980=2.32%, 1980-1990=1.97%, 1990-2000=1,48%, 2000-2010=1.3%[12]. Berdasarkan data tersebut, kita dapat mengetahui rata-rata laju pertumbuhan penduduk tiap 10 tahun yaitu, 1.834%. Jadi, kita dapat memprediksi jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1100 yang merupakan mayoritas penganut agama Buddha, yaitu sekitar 24.1 juta penduduk.

Menurut sensus nasional tahun 1990, lebih dari 1% dari total penduduk Indonesia beragama Buddha, sekitar 1,8 juta orang. Kebanyakan penganut agama Buddha berada di Jakarta, walaupun ada juga di lain provinsi seperti Riau, Sumatera Utara dan Kalimantan Barat. Namun, jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sebenarnya karena pada saat itu Agama Khonghucu dan Taoisme tidak dianggap sebagai agama resmi di Indonesia sehingga mereka disensuskan sebagai penganut agama Buddha. Pada tahun 2008, jumlah penganut agama Buddha sekitar 1.3 juta penduduk dari 217,346,140 penduduk Indonesia atau sekitar 0.6%. Pada tahun 2010, jumlah penganut agama Buddha sekitar 961.086 penduduk dari 240,271,522 penduduk Indonesia atau sekitar 0.4%.

Berdasarkan data tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang menganut agama Buddha bertolak belakang dengan pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia.

Agama Buddha di Indonesia paling banyak dianut oleh masyarakat Tionghoa dan beberapa kelompok asli Indonesia, dengan persentase jumlah 1% (Buddhisme saja) sampai 2,3% (termasuk Taoisme dan Konfusianisme) penduduk Indonesia yang termasuk umat Buddha. 

Perkembangan aliran Buddha di Indonesia
Berkembangnya lagi agama Buddha setelah kerajaan Majapahit dimulai pada tahun 1954 oleh Bhikkhu Ashin Jinarakkhita. Dia adalah Bhikkhu pertama dari Indonesia yang ditahbiskan semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit.

Bhante Ashin Jinarakkhita banyak memberikan sumbangsih kepada perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pada tahun 1954, untuk membantu perkembangan agama Buddha secara nasional, maka didirikanlah Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI), dirayakannya hari suci Waisak di Candi Borobudur pada tahun 1956, lalu pembentukan Perbuddhi (Perhimpunan Buddhis Indonesia) pada tahun 1958.

Pada tahun 1959, untuk pertama kali sejak berakhirnya era Kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, diadakan acara penahbisan Bhikkhu di Indonesia, sebanyak 13 orang Bhikkhu senior dari berbagai negara datang ke Indonesia untuk menyaksikan penahbisan dua Bhikkhu yang bernama Bhikkhu Jinaputta dan Bhikkhu Jinapiya.

Pada tahun 1974, Bhikkhu Ashin Jinarakkhita memimpin Sangha Agung Indonesia yang berasal dari Maha Sangha Indonesia dan Sangha Indonesia yang digabungkan. GUBSI (Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia) terbentuk pada tahun 1976 sebagai organisasi tunggal umat Buddha Indonesia yang berasal dari Perbuddhi, Buddha Dharma Indonesia, dan sebagainya.

Perkembangan Mahayana
Aliran Buddha Mahayana diduga datang di antara abad 1 SM hingga 1 M, istilah Mahayana ditemukan di Sutra Saddharma Pundarika. Aliran Mahayana baru dikenal secara jelas pada kira – kira abad ke 2 M, ketika ajaran Mahayana dijelaskan dalam tulisan – tulisan.

Perkembangan ajaran Mahayana di Indonesia pada umumnya terbagi atas dua yaitu Buddha Mahayana dan Buddha Tridharma. Buddha Mahayana merupakan perpaduan sekte Zen dan sekte Sukhavati (unsur ke-Tiongkokannya masih kuat). Buddha Tridharma (Buddha Kelenteng)yang ada di Indonesia adalah perpaduan Buddha Mahayana dengan Taoisme dan Konghucu (Konfusianisme), yaitu budaya Tionghoa tradisi Dao Jiao, Run Jiao, dan budaya lokal. Dimana pengembangnya antara lain Kwee Tek Hoay, Khoe Soe Khiam, Ong Kie Tjay, dan Aggi Tje Tje.

Pada tahun 1978, Bhikkhu-bhikkhu dari aliran Mahayana membentuk Sangha Mahayana Indonesia yang diketuai oleh Bhikkhu Dharmasagaro. Sangha Mahayana Indonesia inilah yang mencetuskan ide pembangunan Pusdikiat Buddha Mahayana Indonesia. Cita-cita Sangha adalah menyebarluaskan ajaran Buddha Mahayana di Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia serta menerjemahkan kitab-kitab suci agama Buddha ke dalam bahasa Indonesia.

Perkembangan Vajrayana
Aliran Buddha Vajrayana atau juga disebut Tantrayana di Indonesia pertama kali dipelopori oleh Romo Giriputre Soemarsono dan Romo Dharmesvara Oke Diputhera pada tahun 1953 – 1956 dengan membentuk kelompok Tantrayana yang disebut Kasogatan. 

Kasogatan dibentuk karena dorongan untuk mengembalikan agama Buddha agar dapat meluas kembali seperti ketika masa zaman kerajaan Majapahit. Kasogatan memiliki arti dan sejarah penting dilihat dari segi kepribadian bangsa. Pada zaman Majapahit, kasogatan merupakan kata yang dipakai untuk menyebut ke-Buddha-an. 

Kasogatan berasal dari kata "sugata", salah satu gelar maha agung Sang Buddha yang berarti “yang berbahagia”. Ajaran agama Buddha yang berkembang pada masa itu didapat pada kitab suci Sanghyang Kamahayanikan yang dianut oleh umat-umat Buddha pada saat itu.

Kelompok aliran Tantrayana kedua ialah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia yang didirikan pada tahun 1987. Kelompok ini merupakan kelompok umat Tantrayana yang beraliran Zhanfo Zong, dipimpin oleh seorang umat Buddha bernama Harsono (kini bernama Vajracarya Harsono). Saat itu umat Tantrayana Zhenfo Zong berjumlah lebih kurang 200 umat, mereka melaksanakan puja bhakti dengan menumpang pada satu vihara ke vihara lainnya karena tidak tersedianya fasilitas yang tetap. Akhirnya dibentuklah Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan pembangunan sebuah vihara di daerah Muara Karang dengan nama Vihara Vajra Bumi Jayakarta sebagai tempat ibadah Zhenfo Zong pertama di Indonesia. Pada bulan Oktober 1988, semua pemimpin Yayasan Satya Dharma Surya Indonesia dengan umat Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia bertemu dan menggabung kedua yayasan ini. Penggabungan ini bermaksud untuk pembauran umat secara wajar melalui agama dan sosial budaya dan terwujudnya agama Buddha yang berorientasi kepada kepribadian dan budaya Indonesia.

Dengan bergabungnya mazhab agama Buddha menjadi sangha-sangha dan majelis-majelis Agama Buddha menjadi anggota Perwakilan Umat Buddha Indonesia, maka Majelis Dharma Duta Kasogatan Indonesia berubah nama menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Kasogatan Indonesia, diresmikan pada Oktober 1994 lalu berubah menjadi Majelis Agama Buddha Tantrayana Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia pada tahun 2001.

Perkembangan Theravada
Perkembangan aliran Buddha Theravada dipelopori oleh Bante Vidhurdhammabhorn (Bhante Vin). Pada saat perkembangan agama Buddha yang sedang pesatnya, Bhikkhu-bhikkhu muda ditahbiskan di Wat Bovoranives, Thailand, atas bantuan Bhante Vin. Penahbisan ini diberi izin oleh Bhante Vin sendiri, tidak melalui Bhante Ashin. Bhikkhubhikkhu yang di tahbiskan di Wat Bovoranives memiliki garis keturunan Dhammayuttika, ini berarti apabila garis keturunan berbeda, maka tidak boleh mengikuti upacara Patimokkha dari garis keturunan yang lain.

Dengan adanya perbedaan pandangan, maka pada Januari 1972, Bhikkhu – Bhikkhu yang merupakan lulusan dari Wat Bovoranives akhirnya memisahkan diri dan membentuk Sangha Indonesia, namun pada tahun 1974, Sangha Indonesia akhirnya bergabung kembali ke Maha Sangha Indonesia di bawah pimpinan Bhante Ashin. Nama Maha Sangha Indonesia diubah menjadi Sangha Agung Indonesia (SAGIN). Pada tahun 1976, Bhikkhubhikkhu lulusan Wat Bovoranives yang merupakan murid binaan Bhante Vin memutuskan keluar dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Theravada Indonesia (STI).

Sastra Buddhisme di Nusantara
Dua teks Buddhis Jawa penting adalah Sang hyang Kamahaanikan dan Kamahayanan Mantranaya.

Candi Borobudur
Sutra Lalitavistara banyak dikenal oleh para tukang batu Mantranaya dari Borobudur, lihat: Kelahiran Buddha (Lalitavistara). Istilah Mantranaya bukan kesalahan ejaan dari Mantrayana meskipun sebagian besar adalah sama. Mantranaya adalah istilah untuk tradisi esoteris mantra, turunan tertentu dari Vajrayana dan Tantra di Indonesia. Istilah dalam bahasa Sanskerta Mantranaya dengan jelas telah terbukti dalam literatur tantra Basa Jawa Kuna, khususnya yang didokumentasikan dalam teks tantra Buddha esoterik tertua di Jawa Kuna, Sang Kyang Kamahayanan Mantranaya, lihat Kazuko Ishii (1992).

Faktor-faktor berkurangnya umat Buddha di Indonesia
Faktor-faktor yang menyebabkan kekurangan jumlah penduduk yang beragama Buddha di Indonesia antara lain :

    Ajaran Buddha sendiri yang mengajarkan bahwa kita harus melakukan ehipassiko, yaitu datang, lihat dan buktikan diri sendiri. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang tidak mengenal ajaran agama Buddha karena mereka tidak tahu kapan mereka dapat mempelajarinya.

    Banyak yang menganggap bahwa ajaran agama Buddha identik dengan dupa, bunga, lilin, dan lain-lain yang membuat orang-orang berpikir mengenai modal cukup besar yang akan dikeluarkan.

    Dalam agama Buddha tidak ada suatu perjanjian yang mengikat seseorang untuk tetap menganut agama Buddha, sehingga setelah menikah, cukup banyak umat buddhis berganti agama karena harus mengikuti agama pasangannya.

    Banyak orang yang menganggap bahwa agama Buddha tidak memberikan mereka hal yang dijanjikan untuk masuk surga karena mayoritas membutuhkan suatu keamanan dan jaminan bahwa mereka akan masuk surga.

    Kurangnya ajaran agama Buddha dalam keluarga sehingga anak-anak mereka yang bersekolah di sekolah non-buddhis akan mengikuti cara-cara dan aturan-aturan di sekolahnya yang menyebabkan mereka terpengaruh.

    Faktor-faktor dari orang tuanya yang tidak terlalu mengerti ajaran agama Buddha sehingga ada orang tua yang hanya menjalankan tradisi orang cina dan ada juga yang hanya berstatus agama Buddha, tetapi tidak tahu apa-apa mengenai agama Buddha. Hal ini juga disebabkan oleh Kurangnya keyakinan akan agama Buddha.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Buddha_di_Indonesia

Foto : Istimewa

Asal Usul Suku Betawi

Salah satu Kesenian Betawi yang dikenal masyarakat luas
Jakarta (PerpustakaanTanahImpan) Suku Betawi adalah salah satu suku bangsa Indonesia, penghuni awal Kota Jakarta dan sekitarnya.

Sejarawan Sagiman MD, menyatakatan bahwa eksistensi suku Betawi telah ada, sejak Zaman Batu Baru (Neoliticum), dimana penduduk asli Betawi berasal dari Nusa Jawa; orang Jawa, Sunda, dan Madura.

Pendapat senada datang dari Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977),” mengungkapkan bahwa, Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3.500 – 3.000 SM (Sebelum Masehi).

Selain penelitian di atas, ada pula penelitian yang dilakukan Lance Castles, yang  menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yakni:

Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia

Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815

Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893

Sensus Penduduk yang dibuat penjajah Hindia Belanda pada tahun 1930

Dalam semua sketsa sejarah Lance Castles, yang dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh banyak ahli sejarah lainnya dirasakan kurang lengkap, untuk sebuah penjelasan asal mula Suku Betawi. Hal ini dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi), sudah ditemukan kata "Negeri Betawi"

Etimologi Betawi
Mengenai asal mula kata Betawi, menurut ahli sejarah ada beberapa acuan:

Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya “Larangan.” Kosa kata ini mengacu pada komplek situs di daerah “Batu Jaya,” Karawang.

Hal ini diperkuat oleh sejarahwan Ridwan Saidi, dengan mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan tersebut merupakan sebuah Kota Suci yang dahulunya tertutup.

Betawi (Bahasa Melayu Brunei) mempunyai makna giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi. Dimana di wilayah ini hingga tahun 1990-an masih sempat ditemukan banyak giwang emas dari abad ke-11 M.

Flora Guling Betawi (Cassia Glauca), Famili Papilionaceae adalah sejenis tanaman Perdu, yang kayunya bulat kokoh seperti guling, tetapi mudah diraut. Zaman dulu jenis kayu ini banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata; keris atau gagang pisau. Tanaman ini banyak tumbuh di Nusa Kelapa, beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. 

Sedangkan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Perbedaan pengucapan pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, ini biasa terjadi, seperti kata tanya “apakah” atau “apatah” yang memiliki makna yang sama.

Kemungkinan nama Betawi berasal dari jenis tanaman bisa jadi benar. Sejarahwan Ridwan Saidi; beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat, atau daerah yang ada di Jakarta.

Sebagai contoh; Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dlsb. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis Rerumputan." 

Dengan demikian kosa kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia".

Sedangkan Batavia merupakan nama Latin untuk Tanah Batavia, yang  pada zaman Romawi, diperkirakan terletak di sekitar kota Nijmegen, Belanda, dimana saat ini sisa-sisa lokasi tersebut dikenal sebagai “Betuwe”.

Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk melegitimasi Batavia menjadi sebuah status "Nenek Moyang" mereka, selanjutnya menyebut diri sebagai Orang-orang Batavia.

Hal ini yang membuat munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk nama koloni mereka.

Seperti yang terjadi di Indonesia, dimana mereka mengganti nama Kota Jayakarta menjadi Batavia dari tahun 1619-1942.

Setelah 1942 nama Batavia diubah lagi menjadi Djakarta.

Nama Batavia juga digunakan di Suriname, dan di Amerika Serikat, karena mereka juga mendirikan kota Batavia, Newyork, hingga ke barat Amerika Serikat, seperti; Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.

Sedangkan penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku, pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama “Perkoempoelan Kaoem Betawi” pada tahun 1923, yang diprakarsai oleh Husni Thamrin.

Sejarah
3500 – 3000 SM (Sebelum Masehi)

Menurut Sejarawan Sagiman MD, sejarah Betawi sudah ada sejak Zaman Batu (Neolitikum).

Menurut Yahya Andi Saputra, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa, yang merupakan Satu Kesatuan Budaya. Bahasa, Kesenian, dan Adat Kepercayaan, tetapi kemudian menjadikan mereka sebagai suku sendiri. Yang kemungkinan disebabkan oleh, antara lain:

Pertama, munculnya Kerajaan-kerajaan.

Kedua, Kedatangan bangsa dan Pengaruh bangsa dari luar Nusa Jawa.

Ketiga, adanya Perkembangan Kemajuan Ekonomi dari masing-masing daerah.

Abad ke-2
Menurtut Yahya Andi Saputra,  Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor.

Abad ke 5
Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara, dimana perdagangan dengan Cina telah maju, yang ditandai oleh adanya pengiriman Utusan Dagang ke Cina dari Salakanagara pada tahun 432.

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum, yang dianggap oleh sebagian sejarawan, bahwa Tarumanagara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara, yang memindahan ibukota kerajaannya dari kaki Gunung Salak ke Tepi Kali Citarum.

Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara, dengan Ibukota Kerajaan yang terletak di tepi Sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.

Candra berarti bulan atau sasi, menjadi Bhagasasi / Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana Kerajaan Tarumanengara (Hindu).

Abad ke-7
Pada abad ke-7 Kerajaan Tarumanagara ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya (Budha).
Pada saat inilah berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera, kemudian mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta, yang kemudian lambat laun (dengan pola asimilasi) bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.

Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja, namun kemudian meluas hingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.

Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga.

Abad ke-10
Sekitar abad ke-10, terjadi persaingan antara orang Melayu (Kerajaan Sriwijaya) dengan Wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri.

Persaingan yang berujung dengan peperang, dimana orang-orang Cina demi kelangsungan perniagaan mereka, mereka berdiri di dua kaki, atau sebagian berpihak ke Kerajaan Sriwijaya, dan sebagian berpihak ke Kerajaan Kediri.
Usai perang, kendali lautan dibagi dua;

Sebelah Barat mulai dari Cimanuk, juga Pelabuhan Sunda dikendalikan Sriwijaya.

Sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri.

Sriwijaya meminta Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi Syailendara lambat-laun tidak sanggup, akhirnya  Sriwijaya terpaksa mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa.

Pada periode inilah terjadi penyebaran bahasa Melayu yang signifikan di Kerajaan Kalapa, karena  gelombang imigrasi yang lebih besar daripada penduduk asli yang menggunakan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.

Periode Kolonial Eropa
Abad ke-16
Perjanjian antara Surawisesa (Raja Kerajaan Pajajaran) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512, mengizinkan Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa, yang mengakibatkan perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis, yang pada akhirnya menurunkan darah campuran Portugis.

Dari komunitas campuran inilah lahir musik Keroncong, atau dikenal sebagai Keroncong Tugu.

Setelah VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kegiatan niaganya, VOC memerlukan banyak tenaga kerja untuk membuka lahan pertanian, dan membangun roda perekonomian kota ini.

Saat itulah VOC banyak membeli budak dari penguasa Bali, karena saat itu di Bali masih berlangsung praktik perbudakan.

Olehkarenanya masih ada tersisa kosa-kata dan tata-bahasa Bali dalam bahasa Betawi saat ini. 

Kemajuan perdagangan Batavia menarik berbagai suku bangsa dari penjuru Dunia, juga seperti; Tiongkok, Arab dan India untuk bekerja di kota ini.

Pengaruh suku bangsa asing yang datang inilah, terlihat dari busana pengantin Betawi yang banyak unsur Arab dan Tiongkok.

Berbagai nama tempat di Jakarta menyisakan petunjuk sejarah mengenai datangnya berbagai suku bangsa lain ke Batavia, seperti; Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Jawa, Kampung Makassar dan Kampung Bugis.

Rumah Bugis di bagian utara Jl. Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang dimulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.

Abad ke-20
Menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.

Antropolog lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. 

Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas (pada saat itu adalah Hindia Belanda), yakni dengan munculnya Perkoempoelan Kaoem Betawi pada tahun 1923, yang digagas oleh Husni Thamrin, sebagai tokoh masyarakat Betawi.

Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda, tetapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut, yang disebut sebagai masyarakat proto Betawi.

Penduduk lokal di luar benteng Batavia, kala itu sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera.

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri pendatang dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi, menjadi warga tuan rumah yang minoritas.

Pada tahun 1961, 'suku' Betawi bejumlah kurang lebih 22,9 persen dari + 2,9 juta penduduk Jakarta pada saat itu, hal ini menunjukan orang-orang Betawi semakin terdesak ke pinggiran, bahkan tergusur ke luar Jakarta.

Seni dan kebudayaan
Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi.

Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan beragam etnis pendatang, atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo .

Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara, yang kemudian dikenal sebagai "Kalapa" (Sekarang Jakarta), merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara.

Percampuran budaya, sudah ada sejak masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa, dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal, dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli, dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Melayu, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap  budaya asing, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.

Suku Betawi sebagai warga asli Jakarta agak tersingkirkan oleh pendatang. Mereka keluar dari Jakarta, dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten.

Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain, baik dari Indonesia maupun Budaya Barat dan Timur Tengah.

Bahasa
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno), dengan menggunakan huruf  hanacaraka. Penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta, dan sekitarnya sejak Zaman Batu.

Sifat campur-aduk dalam Bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta, atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Hingga kini, masih banyak nama daerah, dan nama sungai yang masih tetap menggunakan bahasa Sunda, seperti; Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung, dan kemudian berubah menjadi Cideung, dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Dialek Betawi terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah, dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a".

Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara).

Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan, dan pinggir Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong.

Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra, dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a".

Musik
Dalam bidang kesenian, orang Betawi memiliki Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.

Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor, dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

Tari
Seni tari Betawi merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contoh: tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain.

Pada awalnya, seni tari Betawi dipengaruhi budaya Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.

Drama
Drama tradisional Betawi, antara lain: Lenong, dan Tonil. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.

Cerita rakyat
Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial si jampang yang mengisahkan jawara-jawara Betawi, baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".

Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Senjata tradisional
Senjata khas Jakarta adalah bendo, atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.

Rumah tradisional
Rumah tradisional/adat Betawi adalah rumah kebaya

Kepercayaan
Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. 

Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis.

Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, Raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa, sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa.

Komunitas Portugis ini sekarang masih ada, dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi
Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing.

Kampung Kemanggisan dan sekitar Rawabelong, banyak yang berprofesi petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). 

Secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik, antara lain K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, dan pembatik juga banyak digelutinya.

Kampung Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah.

Kampung Kemandoran dimana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai di wilayah ini, antara lain; Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong.

Kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.

Warga Tebet adalah orang-orang Betawi gusuran dari Senayan, karena dicanangkannya program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno, guna pembuatan Kompleks Olah Raga / Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang.

Perilaku dan sifat
Asumsi kebanyakan orang tentang masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi, pendidikan, dan teknologi. 

Padahal tidak sedikit orang Betawi yang berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo Gubernur DKI Jakarta (2007 - 2012) .

Ada beberapa hal yang positif dari orang Betawi, antara lain; jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebihan, dan cenderung tendensius. 

Sapto Satrio Mulyo

Sumber : dari berbagai sumber

Asal Muasal Bahasa di Dunia

Lingua Franca
Hamburg (PerpustakaanTanahImpian) - Nusantara adalah awal peradaban sudah banyak yang membuktiikan. Dengan berbagai bukti dan teori, mulai dari Benua Atlantis yang Hilang hingga berbagai teorinya.

Lama saya ingin mencoba untuk membuktikan dari sisi bahasa, bahwa Nusantara adalah "Asal Muasal Bahasa Manusia di Dunia"

Pernah mendengar dari seorang Profesor bahasa di Hamburg, dalam sebuah kesempatan, Ia mengatakan bahwa Bahasa Jawa adalah Bahasa Pergaulan terlengkap di Dunia.

Dalam pembicaraan tersebut juga dibicarakan kehebatan dari bahasa-bahasa yang lain, seperti :
  • Bahasa Jerman adalah bahasa terlengkap dalam dunia tehnik
  • Bahasa Perancis adalah bahasa yang baik dalam ungkapan percintaan
  • Bahasa Itali adalah bahasa yang paling enak untuk syair lagu beserta musiknya
  • Sementara Bahasa Inggris hanya bahasa internasional yang digunakan, yang penyebarannya hasil penjajahannya.
Dari ungkapan Profesor tersebut, saya menyimpulkan, bahwa dari semua keunggulan semua bahasa yang disebutkan di atas, hipotesa saya sementara adalah, bahwa Bahasa Jawa adalah Asal Muasal Bahasa Manusia di Dunia.

Ditambah di google terdapat terjemanan atau fasilitas pencarian dengan Bahasa Jawa, membuat saya bertambah yakin, bahwa Bahasa Jawa merupakan akar Bahasa alami yang muncul paling awal.

Alasan lain adalah, bahwa penggunaan bahasa dimulai dari interaksi minimal ada dua orang. Dan selebihnya disebut pergaulan.

Jadi Asal Muasal Bahasa Manusia, karena dibutuhkan adanya komunikasi di antara manusia.

Dari hipotesa tersebut di atas, maka saya memulai mencari bukti-bukti yang menguatkan.

Mulailah saya dengan teori bahasa kira-kira 2.500 tahun Sebelum Masehi, terjadi migrasi oleh Penutur Bahasa Austronesia dari Taiwan ke Filipina, kemudian ke selatan, dan Indonesia (Pulang Kampung), dan ke timur ke Pasifik. Mereka adalah nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara.

Sementara Hominid ditemukan di pulau Jawa pada Zaman Pra Sejarah - 1.998.100 Tahun SM. Sebagai manusia pasti mereka akan berinteraksi, dan berkomunikasi menggunakan bahasa, apapun bahasanya.

Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa "Asal Muasal Bahasa Manusia di Dunia" ya pasti dari Nusantara, atau Indonesia, atau dari Pulau Jawa, atau dimulai dari Bahasa Jawa.

Asal Bahasa Indonesia
Saat saya ke Taiwan menemui orang-orang austronesia, memang tampak mereka menggunakan bahasa Indonesia, tapi berpakaian ala Cina.

Dan teori penyebaran bahasa Austronesia yang paling saya ingat adalah, semakin jauh bahasa tersebut dari akarnya, maka semakin berkurang kosa katanya.

Dengan teori penyebaran bahasa tersebut di atas, maka kalau kita melihat banyaknya kosa kata, juga bahasa yang ada di Indonesia, maka justru asal bahasa tersebut, dapat dikatakan dari Indonesia atau Nusantara.

Mudahnya Bahasa Indonesia
Jika kita perhatikan, bagaimana mudahnya orang-orang asing belajar bahasa Indonesia.

Saya dapat mencontohkan, banyaknya pemain-pemain bola asing yang datang ke Indonesia, kurang dari 3 bulan, mereka sudah lancar berbahasa Indonesia.

Sementara saya bertahun-tahun tinggal di Jerman, masih gagap berbahasa Jerman.

Kemudahan Bahasa Indonesia membuktikan, bahwa Bahasa Indonesia adalah sebagai Asal Bahasa yang berproses secara alami, menjadi Bahasa yang sederhana.

Phonetik Bahasa Indonesia diwakilkan oleh Bahasa Jawa


Phonetik saat berbahasa Jawa, tidak terdengar phonetik penutur asalnya

Youtube : https://www.youtube.com/watch?v=0URPjAcA5B8&t=26s

Coba kita tonton lalu dengarkan video youtube di atas, tanpa kita melihat penuturnya, apakah kita merasa Ia bukan orang Jawa, atau justru kita merasakan bahwa penuturnya adalah orang Jawa asli.

Saat saya belajar phonetik bersama teman-teman dari berbagai negara, tidak ada satupun yang tidak meninggalkan jejak Bahasa Ibunya. Sehingga tidak ada satu pun yang dapat sempurna, terdengar seolah si penutur benar-benar orang Jerman. Begitu pula dengan pengalaman saya, saat belajar phonetik di negara Taiwan, dlsb.

Tetapi dengan mendengarkan video di atas, saya pribadi yang orang Jawa, merasa dan mendengar suara orang Londo tersebut di atas, persis orang Jawa asli.
  • Asal Bahasa Indonesia Penyeberan Bahasa yang membuktikan, bahwa  Bahasa Indonesia adalah bahasa asal atau sebagai akar dari bahasa Austronesia. Hal ini dibuktikan dari kayanya kosa kata yang ada di Nusantara. Jadi Bahasa Austronesia pulang kampung ke Nusantara.
  • Mudahnya Bahasa Indonesia Mudahnya bahasa Indonesia dipelajari dan diterapkan oleh semua bangsa di Dunia. Membuktikan Bahasa Indonesia adalah Bahasa Sederhana, se sederhana proses komunikasi manusia pada awalnya.
  • Phonetik Bahasa Indonesia Secara phonetik, saat saya belajar bahasa Inggris, Jerman, Jepang dan China. Tidak ada seorang pun yang dapat menyamai bahasa tersebut. Pasti yang mendengar tanpa melihat wajah penuturnya, tetap mengenali bahwa yang bertutur adalah penutur asing, karena bukan bahasa Ibunya.
Dengan tiga variabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa "Asal Muasal Bahasa Manusia di Dunia" adalah Bahasa Jawa, yang kemudian bermetamorfosis ke dalam Bahasa Indonesia.

Sapto Satrio Mulyo

Kerajaan Romawi

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Kerajaan Romawi (Latin: Regnum Romanum) adalah sebuah pemerintahan monarki di kota Roma dan wilayah kekuasaannya. Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah Kerajaan Romawi karena tidak ada sumber tertulis yang berasal dari zaman tersebut. Kebanyakan sumber ditulis selama masa Republik dan Kekaisaran berdasarkan pada legenda. 

Sejarah Kerajaan Romawi bermula sejak pendirian kota tersebut, sekitar tahun 753 SM dan berakhir setelah penggulingan kekuasaan para raja dan pendirian Republik pada tahun 509 SM.

Awal kerajaan

Kerajaan Romawi bermula dari permukiman di sekitar Bukit Palatine di sepanjang sungai Tiber di Italia Tengah. Wilayah itu subur dan bukit-bukitnya menyediakan perlindungan sehingga tempat itu mudah dipertahankan. Hal ini ikut berperan dalam kejayaan Roma kelak. 

Pada awalnya Romulus dan Remus berselisih mengenai tempat akan didirikannya kota. Ketika Romulus sedang membangun tembok kota,

Remus mengejek dan mengganggu pekerjaannya. Puncaknya adalah ketika Remus melewati wilayah Romulus, Remus dibunuh oleh Romulus. Menurut sumber dari Livius, Plutarkhos, Dionysius dari Halicarnassus dan yang lainnya, kerajaan Romawi dipimpin oleh tujuh raja dalam masa 243 tahun.



Ketika bangsa Galia menyerang Roma setelah Pertempuran Allia pada 390 SM, (menurut Polybius pertempuran tersebut terjadi pada 387/386 SM) mereka menghancurkan semua catatan sejarah, sehingga tidak ada catatan sejarah dari masa kerajaan.

Kekaisaran Roma memang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan suku Jerman selama berabad-abad. Di tahun 410, Alaric, Raja Visigoth berhasil menguasai wilayah Kekaisaran Romawi Barat. 

Selama beberapa tahun selanjutnya kekaisaran ini berada di bawah kekuasaan bangsa Goth, hingga pada tahun 455 Kota Abadi ini kembali diserang oleh kelompok Vandal, yang juga berasal dari Jerman Timur. 

Di tahun 476, pemimpin Jerman Odoacer melakukan aksi pembantaian dan berhasil melengserkan Kaisar Romulus Augustulus. Tahun itu kemudian disebut-sebut sebagai tahun runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat.


Sumber: 
- http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Romawi
- https://nationalgeographic.grid.id/read/13298611/penyebab-keruntuhan-kekaisaran-romawi

Foto : Istimewa

6 Negara Penjajah Indonesia

Ilustrasi Penjajah / Invaders
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Kebanyakan dari kita hanya mengetahui Jepang dan Belanda yang pernah menjajah kita. Pada kenyataannya ada 6 Negara yang pernah menjajah Indonesia
  1. 1509 - 1595 M:  Portugis hanya menjajah Maluku, dan berhasil diusir tahun 1595.
  2. 1521 - 1692 M: Spanyol hanya menjajah Sulawesi Utara, dan berhasil diusir tahun 1692.
  3. 1602 - 1942 M: Belanda menjajah seluruh Indonesia, dan berhasil diusir tahun 1942, tetapi datang kembali tahun 1945, setelah  Jepang pergi, dan baru tahun 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
  4. 1806 - 1811 M: Perancis secara tidak langsung menguasai Jawa, karena kerajaan Belanda takluk pada kekuatan Perancis. Berakhir pada tahun 1811, saat Inggris mengalahkan kekuatan Belanda-Perancis di Pulau Jawa. Diberlakukan Perjanjian Tutang.
  5. 1811 - 1816 M: Inggris, sejak ditandatanganinya Kapitulasi Tungtang yang salah satunya berisi penyerahan Pulau Jawa dari Belanda kepada Inggris. Lalu pada tahun 1816, pemerintah Inggris resmi berakhir menguasai Indonesia, karena konvensi London yang berisi berkuasanya kembali Belanda di wilayah Indonesia.
  6. 1942 - 1945 M: Jepang menjajah Indonesia 3,5 tahun, dan berakhir pada 1945, sejak kekalahan Jepang kepada sekutu.
Sumber : Dari Berbagai Sumber
Foto : Istimewa

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen