Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Tahun 1.595 - Benarkah Belanda Mulai Menjajah Nusantara

Penjajah / Invader (Ilustrasi)
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Penjajahan (imperialisme) adalah kebijakan memperluas kontrol atau kekuasaan terhadap suatu wilayah/badan/negara/kerajaan asing (yang terjajah), sebagai alat akuisisi dan/atau pemeliharaan oleh kerajaaan, atau suatu negara (superior/penjajah), baik secara langsung melalui penaklukan teritorial, atau tidak langsung melalui metode pelaksanaan kontrol di bidang politik dan/atau perekonomian suatu kerajaan/negara/pemerintah.

Sejarah yang pernah kita terima dulu di sekolah mengatakan jelas, bahwa negara Indonesia (Nusantara) dijajah oleh negara Belanda selama 350 tahun. Kalau mengurut dari tahun kemerdekaan RI, 1945, maka artinya negara Belanda telah menjajah negara Indonesia sejak tahun 1595 (1945 dikurangi 350).

Untuk menjawab apakah benar sejarah yang mengatakan selama itu negara Indonesia dijajah oleh negara Belanda, ada baiknya, kita intip-intip perjalanan sejarah ke belakang, kira-kira, apakah yang terjadi di tahun itu (sebelum, sesaat dan sesudahnya), baik di Belanda sendiri maupun di Indonesia. Secara singkat dan ringkasnya akan disampaikan berikut ini.

Periode (Sebelum) VOC

Republik Tujuh Negara Bagian Nederlanden (Periode 1588-1795)

Belanda sendiri sebelumnya adalah bagian dari Kerajaan Spanyol, atau disebut dengan wilayah Habsburgse Nederlanden yang terdiri dari 17 provinsi yang berpusat di Brussel, dan dikoordinasi oleh seorang staten-general (semacam gubernur jendral). Setiap provinsi sendiri dipimpin oleh seorang gubernur (staat houder), walau ada beberapa provinsi dipimpin oleh satu orang gubernur.

Latar belakang pembentukan Republik tujuh negara bagian Nederlanden (selanjutnya disebut Republik Belanda) ini sendiri adalah disebabkan terjadinya perang 80 tahun (1568-1648), antara Kerajaan Spanyol (Filips II), dan tujuh provinsi, dari 17 provinsi wilayah Habsburgse Nederlanden yang ingin memisahkan diri dari kerajaan Spanyol. Perjuangan ini dipimpin dan dimotori oleh Willem van Oranje, gubernur dari provinsi Holland, Zeeland, dan Utrecht.

Perang itu sendiri terjadi, karena gubernur jendral kerajaan Spanyol, Fernando Alvarez de Toledo, memberlakukan sistem perpajakan (Tiende Penning) yang sangat memberatkan ke-17 provinsi dibawah kuasanya. Tujuh dari ke-17 provinsinya merasa tidak senang akan pemberlakuan kebijaksanaan ini, dan memutuskan untuk memberontak yang diikuti dengan aksi perang memisahkan diri. Walau perang ini sendiri berlangsung 80 tahun lamanya, tetapi hubungan diplomatik antara pihak bertikai terputus selama 12 tahun setelahnya.

Setelahnya perang usai (80 tahun), sejarah Eropa juga mencatat, bahwa sepanjang perjalanan Republik Belanda ini berdiri, Republik ini masih beperang dengan beberapa negara (daerah) tetangganya, seperti data dibawah ini :

1. Inggris : 1652-1654; 1665-1667

2. Perancis : 1672-1678; Inggris, Munster, dan Koln : 1672-1674

3. Perancis : 1688-1697

4. Spanyol : 1701-1714

5. Austria : 1740-1748

6. Inggris : 1780-1784

Sementara itu, di abad 15-16, perdagangan rempah-rempah di Eropa sangat dikuasai oleh bangsa Portugis dan Spanyol (bersatu). Republik Belanda yang berperang dengan Spanyol harus mencari dan menghidupi sendiri kebutuhannya akan rempah-rempah itu.

Akhirnya, ketiga pedagang Belanda, Jan Huyghen van Linschoten dan Cornelis de Houtman, menemukan “jalur rahasia” pelayaran Portugis, yang membawa pelayaran pertama Cornelis de Houtman ke Banten, pelabuhan utama di Jawa pada tahun 1595-1597.

Pada tahun 1596 empat kapal ekspedisi dipimpin oleh Cornelis de Houtman, berlayar menuju kepulauan Nusantara (Indonesia), dan merupakan kontak pertama Indonesia dengan Belanda. Ekspedisi ini mencapai Banten, pelabuhan lada utama di Jawa Barat, disini mereka terlibat dalam perseteruan dengan orang Portugis dan penduduk lokal.

Houtman berlayar lagi ke arah timur melalui pantai utara Jawa. Mereka sempat diserang oleh penduduk lokal di Sedayu, berakibat pada kehilangan 12 orang awak kapal. Mereka juga terlibat perseteruan dengan penduduk lokal di Madura menyebabkan terbunuhnya seorang pimpinan lokal.

Setelah kehilangan separuh awak kapal maka pada tahun 1597, barulah mereka memutuskan untuk kembali ke Republik Belanda namun rempah-rempah yang dibawa cukup untuk menghasilkan keuntungan.

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), 1602-1798

Apakah VOC ini? Sejarah jelas mencatat, bahwa VOC adalah suatu perusahaan dagang. Walaupun banyak memiliki hak istimewa dari pemerintah Republik Belanda pada saat itu, VOC bukanlah suatu negara ataupun pemerintah.

VOC itu sendiri baru dibentuk pada tanggal 20 maret 1602. Alasan pembentukan perusahaan ini murni, karena persaingan perdagangan dengan perusahaan lain dari negara negara lain, baik dari negara yang sedang bertikai/perang, ataupun tidak. Sebut saja, seperti contohnya perusahaan The Britisch East India Company yang didirikan tahun 31 Desember 1600, berpusat di Kalkuta, India.

VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia. VOC juga adalah perusahaan pertama di dunia, yang mengeluarkan saham/stock. VOC disebut sebagai perusahaan multinasional, karena VOC sendiri adalah gabungan dari ke-12 perusahaan nasional yang telah berdiri sebelumnya di Republik Belanda pada saat itu, yaitu : Compagnie van Verre, de Nieuwe Compagnie, de Oude Compagnie, de Nieuwe Brabantse Compagnie, de Verenigde Compagnie Amsterdam, de Magelaanse Compagnie, de Rotterdamse Compagnie, de Compagnie van De Moucheron, de Delftse Vennootschap, de Veerse Compagnie, de Middelburgse Compagnie en de Verenigde Zeeuwse Compagnie.

Ke-12 perusahaan itu adalah perusahaan perdagangan pelayaran yang saling bersaing satu sama lainnya. Mengingat situasi di Republik Belanda yang sulit pada masa itu karena selain berperang melawan Spanyol, dan juga adanya persaingan perdagangan dari negara/kerajaan lainnya, maka diadakanlah pertemuan para seluruh pedagang/pemegang saham/pemilik ke-12 perusahaan di atas, untuk menyatukan ide dalam pembentukan satu perusahaan multinasional, yaitu VOC.

VOC bisa besar dan jaya begitu, memang bukan tanpa-dukungan pemerintahnya sendiri pada waktu itu (anyway, semua perusahaan sekarang ini di dunia ini juga, mendapat dukungan dari pemerintahnya sendiri, tolong cmiiw). Bagaimanakah bentuk dukungan pemerintah Republik pada waktu itu, yang dituangkan dalam Octrooi (piagam Charta), seperti misalnya :

1. Hak monopoli berdagang selama 21 tahun

Pada waktu itu, manusia belum mengenal istilah UU-anti monopoli ataupun UU-anti kartel. Di era yang super modern begini saja, manusia masih melakukan praktek semacam monopoli begini, lihat saja seperti misalnya kartel minyak OPEC, atau monopoli perusahaan negara dengan alasan kepentingan khalayak/rakyat banyak, dsb.

2. Hak memiliki serdadu/prajurit

Hal ini wajar saja, selain karena alasan keselamatan dalam pelayaran terhadap para perompak laut, juga karena memang waktu itu situasi di Eropa dalam berperang dan bergejolak. Setiap kapal yang berlayar dilengkapi dengan perlengkapan perang dan serdadu untuk menjaga kemungkinan perang, apabila bertemu dengan kapal dari negara yang sedang lagi bertikai misalnya.

Di era yang super modern ini, juga sering kita temukan perusahaan menggunakan serdadu yang dilengkapai alat perang untuk mengamankan “daerah” usahanya. Untuk ini, cobalah pembaca bandingkan sendiri dengan Freeport misalnya, yang “memiliki” serdadu sewaan baik dari POLRI maupun ABRI.

3. Hak menyatakan perang

VOC atas nama Gubernur Jendral, bisa mengumumkan/melaksanakan perang, membangun benteng pertahanan yang awalnya memang dilatarbelakangi murni karena situasi pada saat itu yang lagi berperang atau bertikai dengan bangsa Spanyol-Portugis. Itu kenapa di Indonesia banyak sekali peninggalan sejarah benteng-benteng pertahanan VOC yang dilengkapi meriam.

Di era sekarang ini, perusahaan multinational bisa melakukan hal yang sama walau caranya agak berbeda tentunya. Suatu perusahaan multinational dapat mempengaruhi pemerintahnya sendiri, untuk “menekan” pemerintah lain ditempat usahanya.

Lalu coba lihat seperti apa pagar pengaman perusahaan multinasional asing yang ada di Indonesia, walau tanpa meriam, tembok besar, tinggi, dan disertai kawat-kawat berduri, bahkan lebih “seram” dari benteng peninggalan sejarah VOC itu sendiri.

Tahun 1603, VOC baru memperoleh izin di Banten untuk mendirikin usahanya di kepulauan Nusantara. Di tahun 1605, bekerjasama dengan penduduk HITU (Maluku) mengusir bangsa Portugis dari Maluku. Penduduk HITU pada waktu itu tidak menyenangi bangsa Portugis. Atas kerjasama ini, VOC mendapatkan izinnya untuk mengadakan perdagangan monopoli cengkeh di daerah Maluku.

Dalam perjalanannya VOC di kepulauan Nusantara, VOC berusaha berdagang dan mengadakan perjanjian perdagangan dengan kerajaan-kerajaaan lokal di Nusantara, tentunya disertai persaingan dengan bangsa bangsa Eropa lainnya yang ada di Nusantara, seperti : Portugis, Inggris, dan Spanyol, bahkan juga pedagang China.

Persaingan dagang antar bangsa Eropa di Nusantara juga disertai perang satu sama lainnya. Mereka berkomplot/beraliansi dengan kerajaan lokal (Nusantara), mengadakan permusuhan dan pertikaian satu sama lainnya.

Kepulauan Nusantara sendiri baik sebelum dan awal masuknya VOC (dan setelahnya), terdiri dari kerajaan-kerajaan yang terpecah-pecah, tidak bersatu, dan saling bersaing (berperang) satu sama lainnya. Setelah era kejayaan kerajaan Majapahit, kepulauan Nusantara (mulai dari kerajaan Atjeh di pulau Sumatera, sampai ke Timur kerajaan Flores, Ternate, dan Tidore) terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil yang berkuasa dan terpecah-belah.

Kerajaan-kerajaan yang terpecah-pecah ini bukanlah hasil politik dan kebijakan VOC dalam menjalankan usaha dagangnya di Nusantara, atau bahkan bukan pula hasil dari politik divide et impera yang tersohor itu. Bahkan kerajaan lokal (Nusantara) sendiri juga memanfaatkan kekuatan asing (bangsa Eropa), dalam mengusir pedagang asing di daerahnya, atau bahkan untuk tujuan memperluas daerah kerajaannya sendiri.

Sebagai perusahaan dagang yang dimiliki pemilik modal, VOC sendiri pertama kalinya baru membagikan dividennya di tahun 1610-1611. VOC mengalami kebangkrutan pada 17 maret 1798, akibat banyak penyakit korupsi di tubuhnya.

Sebelumnya di tahun 1795, setelah Revolusi di Perancis, Napoleon bersama tentaranya, memasuki dan menduduki Republik Belanda itu sendiri, yang berarti Republik Belanda, berada dibawah kekuasaan Perancis.

Periode Setelah VOC

Pendudukan Perancis, 1795-1815

Pada periode ini Republik Belanda sendiri mengalami beberapa kali perubahan nama dan pemerintahan; pada periode tahun 1795-1801, Republik Belanda berubah menjadi Republik Batavia, dibawah pengaruh kekuasaan Perancis (de facto); lalu pada periode 1801-1806 berubah menjadi Bataafs Gemenebest, kota/daerah koloni Republik Perancis (de facto dan de jure); setelah itu pada periode 1806-1810 menjadi kerajaan Holland, masih dibawah pendudukan/kekuasaan Perancis.

Pada periode ini kepala pemerintahan sendiri adalah seorang raja yang diangkat Napoleon, yaitu Lodewijk Napoleon Banaparte (adik kandung Napoleon sendiri); akhirnya pada periode 1810-1815, wilayah Republik Belanda sendiri adalah bagian wilayah kekaisaran Perancis.

Pada saat VOC bangkrut, 1798, kerajaan Belanda yang waktu itu sudah berubah menjadi Republik Batavia mengambil alih (menasionalisasi) perusahaan ini. Sejak saat itu, semua hutang dan aset VOC menjadi tanggung jawab pemerintah Republik Batavia.

Artinya juga adalah semua harta kekayaan yang ada di Nusantara adalah menjadi milik Republik Batavia, berhubung Republik Batavia pada saat itu akhirnya berada dibawah kekuasaan Perancis, artinya semua harta yang dimiliki di Nusantara juga dibawah penguasaan Perancis. Dari awal tahun 1800 inilah dikenal dengan istilah Nederlands-Indië, sebutan buat koloni Republik Batavia (Belanda) di kepulauan Nusantara.

Di tahun 1811, Inggris (yang waktu itu perang melawan Perancis), mengalahkan kekuatan Republik Batavia (bagian dari Kekaisaran Perancis) di kepulauan Nusantara, dan mengambil alih penguasaan harta dan kekayaan yang dimiliki Republik Batavia di Nusantara, serta menunjuk Thomas Raflles menjadi gubernur jendralnya, 1811-1816.

Baru setelah Perancis kalah perang (1814) dari Inggris, sesuai dengan perjanjian kongres Vienna (1815), Perancis menyerahkan kedaulatan wilayah Belanda kembali ke orang Belanda sendiri. Sesuai dengan hasil kongres Vienna itu, Republik Batavia pun dirubah bentuk menjadi bentuk Kerajaan Belanda (United Kingdom of the Nederlands) yang beranggotakan beberapa negara dan wilayah otonomi, seperti Kerajaan Belanda sekarang ini, Belgia yang sekarang ini (sampai tahun 1830), dan sebagaian wilayah Luxemburg yang sekarang ini (atau sering kita kenal dengan istilah BeNeLux).

Harta di kepulauan Nusantara yang tadinya dimiliki dan dikuasai oleh Inggris, juga diserahkan dari Inggris ke United Kingdom of the Nederlands, tahun 1816. Kembalinya harta dan kekayaan ini diikuti dengan pengiriman kekuatan militer besar besaran pada periode 1816-1820 dari United Kingdom of the Nederlands, ke kepulauan Nusantara.

Cultuurstelsel, 1825

Setelah mengalami perang dan revolusi, kerajaan United Kingdom of the Nederlands membutuhkan dana yang besar untuk membangun kembali wilayah, pemerintahan, ekonominya yang telah hancur. Oleh karena itu, gubernur jendral yang pada waktu itu, memerintah kepulauan Nusantara (Nederlands-Indië), Johannes van den Bosch mengusulkan suatu ide untuk “menguras” Jawa jadi mesin pencipta duit/uang (keuntungan), usulnya inilah dituang dalam Cultuurstelsel.

Petani Jawa dipaksa untuk menanam tanaman gula, kopi, dan nila di daerah 1/5 dari tanah miliknya. Petani memang mendapatkan upah buruh tani dari hasil tanamannya, dan bukan berbentuk keuntungan dari hasil penjualan produk pertaniannya. Tentunya upah buruh yang diperoleh petani, sangatlah kecil bila dibandingkan dengan sistem bagi hasil keuntungan.

Pemerintah kerajaan Belanda pada saat itu setuju, dan mendukung program ini (cultuurstelsel), serta menstimulasi pegawai pegawainya (ambtenaren) juga bupati pribumi (inheemse regenten), dengan memberikan persentase keuntungan penjualan produk-produk pertanian yang kebetulan pada waktu itu, adalah produk primadona dalam kegiatan export-import perdagangan.

Perbandingan yang sangat mencolok antara pemberian upah buruh kepada pekerja (sekalian pemilik lahan), dengan persentase pembagian hasil keuntungan kepada pegawai pemerintah dan bupati pribumi tentunya, menimbulkan perasaan rasa sakit hati, cemburu, dan berujung kemarahan ataupun pemberontakan. Sehingga dapat dimengerti, kalau selanjutnya dalam perjalanan sejarah akan timbul perlawanan dari rakyat pada saat itu (akibat ketidakadilan).

Penutup dan Kesimpulan

Penulis tidak berusaha membahas apakah VOC adalah penjajah atau tidak? Dicatat dalam sumber sejarah, bahwa VOC adalah suatu perusahaan perdagangan yang dimiliki oleh para pemegang saham, beroperasi dan menjalankan usahanya secara monopoli. Didalam etika bisnis dijaman sekarang ini, tindakan monopoli adalah tindakan yang SALAH dan sangat “diharamkan”.

Kalaupun dalam praktik dagangnya, VOC banyak melanggar nilai-nilai kemanusiaan, penulis juga tidak berusaha membantah ini. Kalaupun bentuk aliansi dengan kerajaan-kerajaan lokal di kepulauan Nusantara untuk menaklukan dan menjajah kerajaan lokal lainnya dapat menyimpulkan, bahwa VOC adalah penjajah, penulis juga tidak berusaha menentang teori ini, silahkan pembaca menyimpulkan sendiri apakah VOC itu adalah penjajah atau bukan.

Penulis bisa menyimpulkan, bahwa orang Belanda memang benar sudah ada selama 350 tahun lamanya (dari sebelum merdeka) di kepulauan Nusantara, semenjak tahun 1596, empat kapal ekspedisi dipimpin oleh Cornelis de Houtman berlayar menuju kepulauan Nusantara (Indonesia), dan merupakan kontak pertama Indonesia dengan Belanda.

Penulis juga bisa menyimpulkan, bahwa VOC itu adalah perusahaan dagang milik orang Belanda. VOC memang memiliki hak istimewa, tapi bukan (seperti) negara, lebih jauh VOC bukanlah pemerintah Republik Belanda ataupun pemerintah Kerajaan Belanda. Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan, bahwa : penjajahan negara Belanda sendiri di kepulauan Nusantara baru dimulai dilakukan, kira-kira tahun 1816, tepatnya ketika harta VOC yang telah diambil alih oleh Republik Batavia, yang telah dikuasai oleh Inggris sebelumnya, dikembalikan ke United Kingdom of the Nederlands. Nah hitung sendiri itu berapa tahun lamanya.

Sumber : http://hendryferdinan.wordpress.com/2012/06/22/benarkah-indonesia-dijajah-belanda-selama-350-tahun-2/

Foto : Istimewa

Tahun 735 M

Berdirinya Kerajaan Sunda Galuh    Banten-Jawa Barat

Tahun 752 - 1045
Kerajaan Medang (wangsa sailendra)

Tahun 760 M
Huruf Pallawa yang telah di-Indonesia-kan dikenal dengan nama huruf Kawi. Sejak prasasti Dinoyo (760 M) maka huruf Kawi ini menjadi huruf yang dipakai di Indonesia, dan bahasa Sansekerta tidak dipakai lagi dalam prasasti, tetapi yang dipakai bahasa Kawi. 

Tahun 771 M
Berdirinya Kerajaan Tulang Bawang    Lampung

G 30 S PKI

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI, Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Latar belakang Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

Angkatan kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata dimana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.

Isu sakitnya Bung KarnoSejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.

Isu masalah tanah dan bagi hasilPada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.

Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Faktor MalaysiaNegara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

“     Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.     ”

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".

“     Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka.     ”

Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[2]

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Faktor Amerika SerikatAmerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.

Faktor ekonomiEkonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.

Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

PeristiwaPada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.

Isu Dewan JenderalPada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.

Isu Dokumen GilchristDokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat[4]. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.

Isu Keterlibatan SoehartoHingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files, Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).

Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

  • Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
  • Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
  • Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
  • Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
  • Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
  • Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

  • Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
  • Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
  • Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca kejadianPemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan
Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah[5]:

“     Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah revousi kita bisa jaya.

Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!
    ”
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."

Penangkapan dan pembantaianDalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

    "Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

SupersemarLima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Pertemuan Jenewa, SwissMenyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

Referensi dan bacaan lebih lanjut    (Inggris) Easter, David, '"Keep the Indonesian pot boiling": Western intervention in Indonesia, October 1965-March 1966', Cold War History, Volume 5, Number 1, February 2005.

    ^ Artikel Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29 September 2007
    ^ a b Soekarno, PKI & Malaysia di DetikForum
    ^ (JAC Mackie, 1971, hal 214)
    ^ Alex Dinuth "Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI" Intermasa, Jakarta 1997 ISBN 979-8960-34-3
    ^ Setiyono, Budi; "REVOLUSI BELUM SELESAI: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965"; Nawaksara, Jakarta; 2003

Pranala luar    (Indonesia) Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S (BAB I)
    (Indonesia) Tulisan tentang keterlibatan CIA dalam G 30S/PKI disertai cuplikan isi laporan CIA untuk Presiden Lyndon Johnson
    (Inggris) Kolektif Info Coup d'etat 65
    (Indonesia) People's Empowerment Consortium
    (Indonesia) Pelajaran-Pelajaran Dari Kudeta 1965 Indonesia
    (Indonesia) Indonesian Institute for the study of the 1965/1966 Massacre
    (Indonesia) Menyingkap Kabut Halim
    (Indonesia) Dalih Pembunuhan Massal, karya John Roosa yang dilarang Jaksa Agung

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September

Foto : Istimewa

Negeri Kemenyan

Ekspor Kemenyan Terbesar adalah ke Arab Saudi
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Kemenyan, identik dengan ritual bernuansa klenik. Begitu anggapan banyak orang. Siapa sangka, daerah Tapanuli di Sumatera Utara, merupakan penghasil kemenyan terkenal di dunia pada abad ke-5 masehi dan bahkan jauh sebelumnya.

Di masa lampau, Timur Tengah, Eropa, dan China menjadi negara-negara tujuan pengiriman kemenyan dari Pelabuhan Barus, Sumatera Utara. Kamga, host program “Explore Indonesia” di Kompas TV, memulai eksplorasi di Provinsi Sumatera Utara dengan mendatangi salah satu daerah penghasil kemenyan terbesar di Indonesia, bahkan dunia tersebut.

Kabupaten Humbang Hasundutan, 284 kilometer dari Ibu kota Provinsi Sumatera Utara, Medan, menjadi daerah tujuan perjalanan Kamga. Humbang Hasundutan merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara, yang juga daerah penghasil kemenyan terbesar.

Humbang Hasundutan, yang beribukota di Dolok Sanggul, dapat dicapai dengan menggunakan pesawat perintis. Pesawat berangkat dari Bandara Polonia di Medan menuju ke Bandara Silangit di kecamatan Siborong-borong, Tapanuli Utara.

Perjalanan lewat udara membutuhkan waktu selama kurang lebih 40 menit, lalu dilanjutkan dengan menggunakan mobil selama 10 menit ke wilayah Humbang Hasundutan.

Di kabupaten yang biasa disingkat Humbamas, Kamga trekking di hutan Hutajulu untuk memanen kemenyan bersama petani setempat. Kemenyan berasal dari getah yang diambil dengan menyadap bagian batang pohon.

Sumber : http://travel.kompas.com


#kembalikekearifanlokal
#sadarsejarahnusantara

#perpustakaantanahimpian

KEMENYAN dan MUR

Para Pedagang Kemenyan dari Arab pergi ke arah Timur (Nusantara)
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Kemenyan dalam Alkitab Perjanjian Lama (PL) diterjemahkan dari kata Ibrani לבונה - LEBONAH / LEVONAH (leksikon Ibrani : frankincense, a) a white resin burned as fragrant incense, 1) ceremonially, 2) personally, 3) used in compounding the holy incense) akar kata לבן - LABAN (leksikon Ibrani: White). 

Mur atau Myrrh
Kata ini juga berhubungan dengan sebuah daerah yang bernama Lebanon (Ibrani, לבנון - LEBANON, Leksikon : Lebanon = "whiteness", a wooded mountain range on the northern border of Israel)

Sumber : http://kemenyansumatra.blogspot.com

Foto : Istimewa

#kembalikekearifanlokal
#sadarsejarahnusantara
#perpustakaantanahimpian

Kemenyan, Getah Magis yang Dulu Senilai Emas

Jangan heran jika Anda ke rumah orang Arab di Arab Saudi, berbau kemenyan
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Ada cerita yang sangat dipercaya oleh masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara. Salah satu persembahan yang dibawa tiga majuz atau cendekiawan dari timur untuk bayi Yesus yang baru dilahirkan di Betlehem itu berasal dari Tanah Tapanuli. Persembahan itu berupa kemenyan, mendampingi dua persembahan lainnya, emas dan mur.

Lewat cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan itu dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem.

Cerita itu semakin bergulir mengingat sebagian besar penduduk Tapanuli beragama Kristen dan Katolik yang erat dengan cerita kelahiran Nabi Isa.

Kebenarannya memang perlu diteliti, tetapi setidaknya dari cerita itu bisa terlihat bahwa sampai sekarang pun getah harum bernama kemenyan, yang dalam bahasa Batak disebut haminjon, itu begitu erat dengan kehidupan orang Tapanuli.

Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatera Utara yang juga mantan Bupati Tapanuli Utara RE Nainggolan menjelaskan, kemenyan pernah sangat menyejahterakan masyarakat Tapanuli. Dan, getah harum itu ikut pula membesarkan namanya. “Nenek saya pedagang kemenyan,” tuturnya.

Ia tahu persis, pada tahun 1936 neneknya sudah mempunyai mobil untuk mengangkut kemenyan dari Tapanuli ke Pelabuhan Sibolga. Saat itu harga satu kilogram kemenyan sama dengan satu gram emas. Standar itu dipakai terus oleh petani dan pengepul di Tapanuli: Satu kilogram kemenyan sama dengan satu gram emas. Satu kilogram kemenyan juga setara satu kaleng (16 kilogram) beras.

Selain cerita tentang persembahan dari timur untuk Nabi Isa itu, tak banyak orang tahu sejarah kemenyan di Tapanuli. Kebanyakan warga menyebutkannya sebagai tanaman ajaib yang sudah ada ratusan tahun dan menghidupi masyarakat Tapanuli.

Washington Situmorang (70), petani di Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, mengutarakan, pada tahun 1960-an harga kemenyan benar-benar sama dengan emas. Harga itu pelan-pelan surut. Sekitar tahun 1980-an harga kemenyan terus merosot hingga hanya separuh, bahkan sepertiga harga satu gram emas.

Menurut Thomson Silaban, staf bidang rehabilitasi hutan Dinas Pertambangan dan Kehutanan Kabupaten Humbang Hasundutan, jika sebelum tahun 1980 kemenyan mampu menyumbang 60 persen ekonomi rumah tangga, kini turun menjadi sekitar 20 persen.

Kemenyan (Stryrax sp) yang termasuk famili Stryraccaceae dari ordo Ebeneles diusahakan oleh rakyat Sumatera Utara di tujuh kabupaten, terutama di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, dan Toba Samosir. Tanaman ini juga dikembangkan di Dairi, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah meski tidak terlalu banyak. Sedangkan penghasil kemenyan terbesar masih di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan.

Di Tapanuli Utara, kemenyan menjadi komoditas andalan daerah di bawah kopi dan karet. Dari 56.003 keluarga di kabupaten itu, 30.446 keluarga atau lebih dari 54 persen menjadikan kemenyan sebagai sumber penghasilan. Di Humbang Hasundutan bahkan sekitar 65 persen keluarga (33.702) hidup dari pohon kemenyan. Komoditas ini menduduki posisi kedua di bawah kopi.

Dinas Perkebunan Sumatera Utara memperkirakan, pada tahun 2005 luas tanaman kemenyan di Sumatera Utara mencapai 23.592,70 hektar dengan produksi 5.837,86 ton. Produktivitas getah 294,31 kilogram per hektar per tahun. Getah kemenyan mengandung asam sinamat sekitar 36,5 persen yang banyak digunakan untuk industri farmasi, kosmetik, rokok, obat-obatan, dan ritual keagamaan.

Bukan hanya untuk ritual

Sebelum agama Kristen masuk ke Tapanuli, kemenyan banyak digunakan masyarakat Batak untuk kegiatan ritual penyembahan alam. Selama ribuan tahun, kemenyan banyak digunakan dalam tradisi penghormatan kepada Sang Pencipta.

Asap pembakaran yang membubung tinggi menjadi representasi doa yang juga naik kepada Sang Pencipta. Dalam tradisi Katolik, misalnya, kemenyan digunakan dalam misa khusus, menjadi bagian dari serbuk ratus yang dibakar dalam arang membara yang menghasilkan asap harum.

Di tanah Jawa dan juga di banyak kebudayaan dunia, harum asap kemenyan dipercaya mampu mendatangkan roh tetapi juga untuk mengusir roh. Bau harumnya menimbulkan sensasi magis. Kemenyan juga menjadi serbuk campuran rokok yang kebanyakan diisap oleh masyarakat pedesaan dan berusia lanjut di Jawa Tengah.

Hanya Tapanuli dan sedikit di Sumatera Barat yang menjadi penghasil kemenyan di Indonesia. Sayangnya, meski komoditas ini sudah diperdagangkan ratusan tahun, tak ada inovasi dalam mengembangkan perkebunannya. Inovasi produk juga belum ada. Kebanyakan petani tak tahu jalur perdagangannya. Untuk apa dan siapa pengguna akhir kemenyan pun, mereka tidak tahu. Akibatnya, harga getah ini sangat mudah dipermainkan pedagang karena petani tak tahu standar harga dunia.

Tujuh macam

Kemenyan tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian 900-1200 meter di atas permukaan laut, bersuhu antara 28-30 derajat Celsius di tanah podsolik merah kuning dan latosol. Keasaman tanah antara 5,5 hingga 6,5 dengan kemiringan tanah maksimal 25 derajat.

Tanaman tahunan ini mampu hidup hingga lebih dari 100 tahun. Ada 20 jenis pohon kemenyan, tetapi yang banyak tumbuh di Sumut adalah kemenyan jenis durame (Styrax Benzoine) dan kemenyan toba (Styrax Sumatrana). Kemenyan durame lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan jenis toba. Durame bisa disadap sejak umur 6-7 tahun dengan warna getah cenderung hitam, sedangkan toba baru disadap umur 10-13 tahun dengan jenis getah putih.

“Merawat pohon kemenyan itu seperti memperlakukan gadis. Gampang-gampang susah, harus banyak perhatian,” kata Washington Situmorang.

Berbeda dengan karet, penyadapan getah kemenyan tak perlu wadah. Getah dibiarkan keluar dari batang pohon, meleleh di kulit pohon.

Pada cukilan pertama, batang pohon akan menghasilkan getah berwarna putih yang baru bisa diambil sekitar tiga bulan kemudian. Getah itu menempel di kulit pohon sehingga untuk memanen petani harus mencongkel kulit batang kemenyan.

Getah putih yang disebut sidukabi atau mata zam-zam ini bernilai paling tinggi. Namun, kini harganya hanya sekitar Rp 60.000 hingga Rp 75.000 per kilogram di tingkat petani.

Bekas cukilan itu akan menghasilkan tetesan getah kedua yang disebut jalur atau jurur yang bisa dipanen dua-tiga bulan setelah memanen mata zam-zam. Setelah itu muncul getah ketiga yang disebut tahir. Harganya jauh lebih murah daripada harga mata, sekitar Rp 20.000 hingga Rp 25.000 per kilogram. Jika mata berwarna putih, warna tahir atau jurur semakin menghitam.

Getah-getah kemenyan itu bisa dikelompokkan sedikitnya dalam tujuh macam dari yang paling mahal hingga termurah, yakni mata kasar, kacang, jagung, besar, pasir kasar, pasir halus, hingga abu. Mata kasar bisa bernilai Rp 100.000 per kilogram di tingkat pengumpul, sedangkan abu atau gilingan halus kulit kemenyan seharga Rp 3.000 per kilogram.

Di tempat pengumpul, pemilahan kemenyan ini bak memilah emas dari pasir. Buruh-buruh perempuan dengan tekun memilah-milah butiran itu. Getah kemenyan yang umurnya tua biasanya memang berwarna kuning menyerupai emas.

Dalam satu pohon bisa terjadi banyak cukilan. Di Tarutung atau Doloksanggul cukup mudah menemukan tanaman ini. Asal terlihat tanaman yang batangnya penuh luka cukilan, bisa dipastikan itu tanaman kemenyan.

Ketua Komisi B DPRD Kabupaten Humbahas Aslin Simamora yang juga anak petani kemenyan menyebutkan, ada ritual yang dulu dianut oleh moyangnya sebelum mengguris (menyadap) pohon kemenyan.

Petani perlu membuat kue itak gurgur, kue yang terbuat dari campuran tepung beras, gula merah, dan parutan kelapa. Kue itu dikunyah lalu disemburkan ke batang pohon kemenyan yang hendak disadap.

Karena sejarah yang panjang itu, tak heran jika masyarakat marah saat PT Toba Pulp Lestari (TPL) menebangi pohon kemenyan rakyat yang berada di register 41 di perbatasan Kabupaten Humbang Hasundutan dan Samosir akhir tahun lalu. DPRD Humbang Hasundutan sampai membentuk panitia khusus yang mendesak PT TPL melindungi kawasan tanaman kemenyan rakyat.

Sumber : (Aufrida Wismi Warastri) Harian Kompas
Disalin dari : www.silaban.ne

Foto : Istimewa

#kembalikekearifanlokal
#sadarsejarahnusantara

#perpustakaantanahimpian

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen