Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Perjalanan Akhir Maharaja Dharma Setia (1.5.. M - 1.605 M)

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Maharaja Dharma Setia /  Maharaja Dermasatia / Maharaja Dharma Setia Warman adalah raja terakhir dari Kerajaan Kutai Martapura, yang bercorak Hindu di Nusantara.

Kerajaan Kutai Martadipura, banyak pula yang menyebut dengan Kerajaan Kutai Mulawarman, hal ini dikarenakan saat Pemerintahan Raja Mulawarman, kutai mencapai zaman keemasan.

Berdiri sekitar tahun 301 M, dengan Pusat Kerajaan terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.

Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut.

Sementara informasi nama Martapura diperoleh dari kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara, yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini.

Kerajaan Kutai Martapura runtuh pada saat Raja ke 21 yang bernama Maharaja Dharma Setia mengalami kekalahan, dan gugur di tangan Raja Kutai Kertanegara Aji Pangeran Sinum Panji,

Raja Aji Pangeran Sinum Panji, kemudian berhasil menyatukan kedua kerajaan Kutai tersebut,

Kemudian nama kerajaannya diubah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara Ing Martadipura yang kemudian menurunkan Dinasti Raja-raja Kutai Kertanegara sampai sekarang.

Dari sumber Prasasti Yupa beraksara Pallawa didapat 3 nama Raja, sementara 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu.
  • Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman (Pendiri)
  • Maharaja Asmawarman (Anak Kundungga)
  • Maharaja Mulawarman (Anak Aswawarman)
  • Maharaja Indera Mulia (Abad ke-14)
  • Maharaja Dermasatia (Terakhir)
Urutan Raja Kutai Martapura selengkapnya (dari berbagai sumber), yakni:
  • Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (Pendiri - Nama Kundungga oleh para ahli sejarah diindikasikan sebagai nama asli orang Nusantara yang belum terpengaruh dengan nama budaya India)
  • Maharaja Aswawarman (Anak Kundungga, dengan gelar Wangsakerta - Warman berasal dari bahasa Sanskerta, India bagian Selatan)
  • Maharaja Mulawarman Nala Dewa (Anak Aswawarman - Kerajaan Kutai mengalami Masa Keemasan, dimana wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup makmur dan sejahtera)
  • Maharaja Marawijaya Warman
  • Maharaja Gajayana Warman
  • Maharaja Tungga Warman
  • Maharaja Jayanaga Warman
  • Maharaja Nalasinga Warman
  • Maharaja Nala Parana Tungga
  • Maharaja Gadingga Warman Dewa
  • Maharaja Indra Warman Dewa
  • Maharaja Sangga Warman Dewa
  • Maharaja Candrawarman
  • Maharaja Sri Langka Dewa
  • Maharaja Guna Parana Dewa
  • Maharaja Wijaya Warman
  • Maharaja Sri Aji Dewa
  • Maharaja Mulia Putera
  • Maharaja Nala Pandita
  • Maharaja Indra Paruta Dewa
  • Maharaja Dharma Setia (Penutup Dinasti Kerajaan Martadipura tahun 1.605 M)
Dalam Proses Penelitian

Sumber : Dari berbagai sumber
Foto : Istimewa

Kutai Martadipura (301 M - 1.605 M)

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Berdiri sekitar abad ke-4. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam.[1][2] Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.

Prasasti Yupa
Prasasti Kerajaan Kutai
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para brahman atas kedermawanan raja Mulawarman. Dalam agama hindu sapi tidak disembelih seperti kurban yang dilakukan umat islam. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Dapat diketahui bahwa menurut Buku Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto yang diterbitkan oleh Balai Pustaka halaman 36, transliterasi prasasti diatas adalah sebagai berikut:

śrīmatah śrī-narendrasya; kuṇḍuṅgasya mahātmanaḥ; putro śvavarmmo vikhyātah; vaṅśakarttā yathāṅśumān; tasya putrā mahātmānaḥ; trayas traya ivāgnayaḥ; teṣān trayāṇām pravaraḥ; tapo-bala-damānvitaḥ; śrī mūlavarmmā rājendro; yaṣṭvā bahusuvarṇnakam; tasya yajñasya yūpo ‘yam; dvijendrais samprakalpitaḥ.

Artinya:
“Sang Mahārāja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aśwawarmman namanya, yang seperti Angśuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aśwawarmman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci). Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mūlawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang Mūlawarmman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Untuk peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana."

Mulawarman

Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Budha.

Aswawarman
Aswawarman adalah Anak Raja Kudungga.Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.

Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur.

Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.

Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama (Tanjung Kute).

Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. 

Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.

Nama-Nama Raja Kutai    Maharaja Kudungga, gelar anumerta Dewawarman (pendiri)

  • Maharaja Aswawarman (anak Kundungga)
  • Maharaja Mulawarman (anak Aswawarman)
  • Maharaja Marawijaya Warman
  • Maharaja Gajayana Warman
  • Maharaja Tungga Warman
  • Maharaja Jayanaga Warman
  • Maharaja Nalasinga Warman
  • Maharaja Nala Parana Tungga
  • Maharaja Gadingga Warman Dewa
  • Maharaja Indra Warman Dewa
  • Maharaja Sangga Warman Dewa
  • Maharaja Candrawarman
  • Maharaja Sri Langka Dewa
  • Maharaja Guna Parana Dewa
  • Maharaja Wijaya Warman
  • Maharaja Sri Aji Dewa
  • Maharaja Mulia Putera
  • Maharaja Nala Pandita
  • Maharaja Indra Paruta Dewa
  • Maharaja Dharma Setia
Lain-lain
Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India. 

Sementara putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. 

Hal ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kutai_Martadipura

Seputar Foto-foto Kemerdekaan Indonesia

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Literasi Utama
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) – Berbicara Kemerdekaan Indonesia, kita juga harus melihat siapa-siapa yang sebenarnya berjuang.

Karena saat ini, banyak pihak yang meng-klaim bahwa kelompoknya mempunyai andil yang besar dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Kebetulan mereka adalah orang-orang yang berpakaian dengan gayannya sendiri.

Karena orang-orang itu berani berbohong demi membela tuhannya, maka mereka membuat lukisan yang memperlihatkan eksistensi mereka, dan para pengikutnya pun terbodohi oleh cerita sejarah yang kelompok ini suguhkan.

Coba lihat adakah mereka ?????
Foto : Istimewa

Seputar PPKI

Sidang PPKI
Literasi Utama
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) – Berbicara PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia - dalam bahasa Jepang : Dokuritsu Zyunbi Inkai) pasti tidak telepas dari BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia - dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Chōsa-kai) yang telah dibentuk terlebih dahulu.

Suatu badan yang dibentuk pemerintah Jepang tanggal 7 Agustus 1945. Badan ini bertugas menyiapkan segala sesuatu menyangkut masalah ketatanegaraan menghadapi penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Jepang kepada bangsa Indonesia.

Kemudian BPUPKI dibubarkan oleh Jepang, pada tanggal yang sama, yakni tanggal 7 Agustus 1945.

Sidang PPKI  pertama diadakan dalam rangka untuk mengesahkan UUD yang sudah dirancang terlebih dahulu dalam sidang BPUPKI, Juli 1945.

Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa). Susunan awal anggota PPKI adalah sebagai berikut:
  • Ir. Soekarno (Ketua)
  • Drs. Moh. Hatta (Wakil Ketua)
  • Prof. Mr. Dr. Soepomo (anggota)
  • KRT Radjiman Wedyodiningrat (anggota)
  • R. P. Soeroso (anggota)
  • Soetardjo Kartohadikoesoemo (anggota)
  • Kiai Abdoel Wachid Hasjim (anggota)
  • Ki Bagus Hadikusumo (anggota)
  • Otto Iskandardinata (anggota)
  • Abdoel Kadir (anggota)
  • Pangeran Soerjohamidjojo (anggota)
  • Pangeran Poerbojo (anggota)
  • Dr. Mohammad Amir (anggota)
  • Mr. Abdul Maghfar (anggota)
  • Teuku Mohammad Hasan
  • Dr. GSSJ Ratulangi (anggota)
  • Andi Pangerang (anggota)
  • A.A. Hamidhan (anggota)
  • I Goesti Ketoet Poedja (anggota)
  • Mr. Johannes Latuharhary (anggota)
  • Drs. Yap Tjwan Bing (anggota)
Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 yaitu:
  • Achmad Soebardjo (Penasihat)
  • Sajoeti Melik (anggota)
  • Ki Hadjar Dewantara (anggota)
  • R.A.A. Wiranatakoesoema (anggota)
  • Kasman Singodimedjo (anggota)
  • Iwa Koesoemasoemantri (anggota)
Tanggal 8 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauchi.

Hal yang dibahas, dan diubah dalam sidang tanggal 18 agustus 1945
  • Kata Mukadimah diganti menjadi kata Pembukaan
  • Sila pertama yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi "ketuhanan yang maha esa"
  • Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi "Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti menjadi pasal 29 UUD 1945 yaitu "Nagara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa"
  • Pada Pasal 6 Ayat (1) yang semula berbunyi Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam diganti menjadi Presiden ialah orang Indonesia asli.
Sidang-Sidang PPKI:
Sidang 18 Agustus 1945
  • Sidang 18 Agustus 1945
  • Mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.Memilih dan mengangkat Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
  • Tugas Presiden sementara dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat sebelum dibentuknya MPR dan DPR.
Sidang 19 Agustus 1945
  • PPKI mengadakan sidang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945.
  • Membentuk 12 Kementerian dan 4 Menteri Negara
  • Membentuk Pemerintahan Daerah. Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur.
Sidang 22 Agustus 1945
  1. Membentuk Komite Nasional Indonesia. Artikel utama: Komite Nasional Indonesia Pusat
  2. Membentuk Partai Nasional Indonesia. Artikel utama: Partai Nasional Indonesia
  3. Membentuk Badan Keamanan Rakyat. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) bertujuan agar tidak memancing permusuhan dengan tentara asing di Indonesia. Anggota BKR adalah himpunan bekas anggota PETA, Heiho, Seinendan, Keibodan, dan semacamnya.
Sisi Lain (Bukan Kebaikan Jepang)

PPKI dibentuk untuk menarik simpati golongan-golongan yang ada di Indonesia, agar bersedia membantu Jepang dalam Perang Pasifik, yang kedudukannya semakin terdesak sejak 1943. Mereka juga berjanji memberi kemerdekaan pada Indonesia melalui ‘Perjanjian Kyoto’.

Ketika Rusia bergabung dengan Sekutu dan menyerbu Jepang dari Manchuria, pemerintah Jepang mempercepat kemerdekaan Indonesia, yang oleh BPUPKI direncanakan 17 September 1945.

Pada tanggal 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat diundang ke Dalath, + 300 km sebelah utara Saigon, tempat kedudukan Jenderal Terauchi, panglima seluruh angkatan perang Jepang di Asia Tenggara.

Tujuan pemanggilan ketiga tokoh tersebut adalah untuk melantik secara simbolis Ir. Soekarno sebagai ketua PPKI, dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketuanya. Acara pelantikan berlangsung pada tanggal 12 Agustus 1945 ketika mereka tiba di Dalat, didahului pidato singkat Terauchi (Merestui pembentukan negeri boneka, red) yang menyatakan bahwa pemerintah Jepang di Tokyo memutuskan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Isi pembicaraan tiga tokoh Indonesia dengan Jendral Terauchi:
  • Pemerintah Jepang memutuskan untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia segera setelah persiapan kemerdekaan selesai dan berangsur-angsur dimulai dari pulau Jawa kemudian kepulau-pulau lainnya.
  • Untuk pelaksaan kemerdekaan diserahkan kepada PPKI dan telah disepakati tanggal 18 Agustus 1945.
  • Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia-Belanda.
Tanggal 14 Agustus 1945 ketiga orang tersebut kembali ke Jakarta, karena Jepang menghadapi pemboman AS di Hirosima dan Nagasaki.

Perjalanan Soekarno, Hatta, dan  Radjiman kembali ke Jakarta, singgah terlebih dahulu di Singapura satu malam. Sesampainya di Jakarta disambut oleh rakyat. Saat itu Soekarno mengucapkan pidato singkat sebagai berikut:

“Jika beberapa waktu yang lalu saya mengatakan bahwa akan merdeka sebelum tanaman jagung berbuah, sekarang saya katakan kepada kamu bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman tersebut berbunga.”

Setelah pertemuan tersebut  (pertemuan dengan Terauchi, red), PPKI tidak dapat bertugas karena para pemuda mendesak agar proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan atas nama PPKI, yang dianggap merupakan alat buatan Jepang. Bahkan rencana rapat 16 Agustus 1945 tidak dapat terlaksana karena terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Para pejuang kemerdekaan terlibat pro dan kontra atas peristiwa pemboman di Hirosima dan Nagasaki. Dimana golongan muda percaya Jepang sudah hampir kalahn, edangkan golongan tua tetap berpendirian untuk menyerahkan keputusan pada PPKI.

Sikap tersebut tidak disetujui golongan muda, karena menganggap PPKI merupakan boneka Jepang dan tidak menyetujui lahirnya proklamasi kemerdekaan dengan cara yang telah dijanjikan oleh Jenderal Besar Terauchi dalam pertemuan di Dalath.

Golongan muda menghendaki terlaksananya proklamasi kemerdekaan dengan kekuatan sendiri, lepas sama sekali dari pemerintahan Jepang.

Sementara Soekarno-Hatta berpendapat bahwa soal kemerdekaan Indonesia yang datangnya dari pemerintah Jepang atau dari hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri tidaklah menjadi soal, karena Jepang toh sudah kalah.

Soekarno melihatnya lebih taktis dan strategis, karena akan menghadapi Sekutu yang berusaha mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Oleh sebab itu untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia diperlukan suatu revolusi yang terorganisasi. Mereka ingin memperbincangkan proklamasi kemerdekaan di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Literasi Utama

Sumber : Dari Berbagai Sumber
Foto : Istimewa

Seputar Piagam Jakarta

Sidang BPUPKI
Literasi Utama
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) – Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta untuk menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia, yang disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945.

Sebelum pengesahan tanggal 18 Agustus 1945, ada nilai-nilai sejarah yang banyak dihapus dari sejarah itu sendiri, yakni:

Para wakil daerah luar Jawa, terutama karena mereka mewakili golongan Agama di luar Islam (Kristen, Hindu Bali, dan lain-lain), merasa keberatan apabila dalam Preambul itu masih ada kalimat yang berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” 

Karena hal tersebut dapat diartikan, bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. 

Mereka menghendaki agar diubah menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa” saja. 
pasal 6 ayat 1
Para utusan juga menghendaki agar beberapa pasal dalam rencana UUD, antara lain yang menyatakan bahwa Presiden harus seorang Islam, supaya diubah sehingga pasal 6 ayat 1 berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia Asli.”

Menurut mereka (Utusan - red) tujuan perubahan tersebut supaya kita jangan menjadi terpecah-pecah sebagai bangsa, karena itu perlu dihilangkan kalimat-kalimat yang bisa mengganggu perasaan kaum Kristen atau pemeluk agama lain.

Usul perubahan tersebut mendapat perhatian serius dari para mahasiswa, dan mereka segera memperoleh persesuaian pendapat, karena masing-masing telah sama-sama menginyafi, dan benar-benar menginginkan adanya persatuan dan kesatuan bangsa. 

Persoalan tersebut oleh mahasiswa segera diberitahukan kepada Bung Hatta melalui telpon. Bung Hatta setuju untuk membicarakan hal itu sore hari itu juga, tanggal 17 Agustus 1945, pukul 17.00. Untuk menjelaskan persoalan ini, tiga orang diutus menghadap Bung Hatta sore itu, menyampaikan alasan perubahan yang dikemukakan wakil-wakil dari Indonesia Timur.

Ketiga Utusan Mahasiswa itu ialah  Moeljo Hartrodipuro, Piet Mamahit, dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angkatan Laut, sehingga orang mengiranya orang Jepang.

Perubahan-perubahan yang diajukan oleh para utusan ini dapat diterima oleh Bung Hatta, dan akan disampaikan kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 esok harinya.

Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Pada 24 Agustus, sesudah dektrit pertama diumumkan, berangkatlah para mahasiswa yang diberi tugas ke daerah-daerah, untuk bersama Pemerintah setempat dan tokoh-tokoh masyarakat membentuk KNI Daerah, dan bersama dengan bekas PETA dan Heiho setempat membentuk BKR, dengan pesan agar merebut senjata dari Jepang.
Sementara itu, Moeljo Hartrodipuro dan Soejono Ms ditugaskan untuk menyerahkan pengangkatan Pak Soedirman sebagai Komandan BKR Poerwokerto, juga untuk pengangkatan Residen Iskak dan Bupati Ganda Soebrata, Soeprapto sebagai Ketua Seinendan di Poerwokerto (Hal. 122, hal 120)

Periode 1945-1949
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. 

Tanggal 16 Oktober 1945, Maklumat Wakil Presiden Nomor X, memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. 

Tanggal 14 November 1945, Dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945.

Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik, sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 

Tanggal 5 Juli 1959, Dekrit Presiden Soekarno, yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.

Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR, dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara.

MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup

Periode 1966-1998  (Dampak Pemberontakan G 30S - Lahir Orde Baru)
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.

Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan: Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya.

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), namun kekuasaan yang sangat besar justru pada Presiden.

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. 

Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
  • Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
  • Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
  • Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
  • Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999

(Erwin Wildan)

Literasi Utama

Sumber :
  • Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (Penerbit Universitas Indonesia – UI Press – 1997),
  • “Mahasiswa ’45 Prapatan-10: Pengabdiannya 1 – Penerbit Padma Bandung”,  dan dari berbagai sumber
Artikel ini telah tayang di :
https://www.wartamerdeka.web.id/2015/08/sejarah-perjalanan-piagam-jakarta.html
Foto : Istimwa

Seputar Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Tulis Tangan
Literasi Utama
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) – Pembacaan Teks Proklamasi adalah sebagai tonggak sejarah Kemerdekaan Indonesia. Namun demikian banyak pristiwa penting sebelum dan sesudahnya.

Sementara kita juga tidak boleh melupakan berbagai hal yang mendukung proses tersebut, hingga Teks Proklamasi dapat dibacakan secara utuh.

Sebelum pembacaan teks proklamasi, perundingan pembacaan teks  berlangsung pada pukul 02.00 hingga 04.00 WIB tanggal 17 Agustus 1945. 

Setelah itu, pada pukul 10.00 WIB teks proklamasi pun dibacakan di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56.

Penyusunan Naskah Teks Proklamasi
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia awalnya direncanaan akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong.

Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah Djiaw Kie Siong, sementara Bendera Merah Putih juga sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok pada Rabu tanggal 15 Agustus 1945, karena mereka yakin esok harinya Indonesia akan merdeka.

Literasi Utama

Sumber : Dari Berbagai Sumber
Foto : Istimewa

Seputar Peristiwa Rengasdengklok

Peristiwa "Penculikan" Rengasdengklok
Literasi Utama
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) – Sore 15 Agustus 1945, suasana Jakarta diliputi ketidakpastian. Kabar mengenai menyerahnya Jepang, yang sudah tersebar diantara para kelompok pemuda anti-Jepang. Tetapi belum ada konfirmasi resmi dari otoritas Jepang di Jakarta. Sementara radio resmi Jepang pun berhenti siaran sejak tanggal 14 Agustus.

Atas latar belakang ituilah para aktivis muda di Jakarta, yakin bahwa Jepang sudah menyerah. Golongan muda pun mengadakan perundingan terlebih dahulu, di salah satu lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta,

Dalam perundingan tersebut diputuskan, agar pelaksanaan kemerdekaan harus terlepas dari segala ikatan, dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang yang direncanakan jatuh pada tanggal 17 September 1945.

Sementara, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia direncanakan oleh para pemuda akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Kamis, 16 Agustus 1945 di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong.

Jadilah, pada subuh hari tanggal 16 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta dibawa / diculik ke Rengasdengklok.

Naskah teks proklamasi sudah ditulis di rumah itu (rumah Djiaw Kie Siong), Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang Rengasdengklok mulai hari Rabu tanggal 15 Agustus, karena mereka yakin esok hari Indonesia akan merdeka.

Untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia  (yang direncanakan Jepang jatuh pada tanggal 17 September 1945), sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr. Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.

Melalui negosiasi yang alot, akhirnya diperoleh kesepakatan, dan memutuskan sebuah persetujuan, yang dinamakan "Persetujuan Rengas Dengklok". Dimana Sukarno-Hatta berjanji akan turut dan sedia menanda tangani proklamasi kemerdekaan rakyat, tetapi dengan syarat harus di tanda tangani di Jakarta.

Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemui Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur, dan pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.

Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang dipinjam dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.

Info Penting

  • 14 Agustus 1945, Radio resmi Jepang berhenti siaran
  • 15 Agustus 1945, Kabar menyerahnya Jepang, tetapi belum ada konfirmasi resmi dari otoritas Jepang di Jakarta
  • 16 Agustus 1945, Pembacaan Proklamasi Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta di Rengasdengklok, di rumah Djiaw Kie Siong, yang direncanakan oleh golongan muda
  • 17 September 1945, Tanggal kemerdekaan Indonesia janji dari Jepang
Literasi Utama

Sumber : Berbagai Sumber
Foto : Istimewa

Seputar BPUPKI

Seputar BPUPKI
Literasi Utama
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) – Pada tanggal 17 Juli 1945, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)  menyelesaikan sidangnya dan menerima Rancangan Undang-Undang Dasar.

Dari tinjauan sejarah, dapat dikatakan saat inilah untuk pertama kalinya Bangsa Indonesia mempunyai "Dasar Negara" dan "Rancangan Hukum Dasar Tertulis".

Selanjutnya tugas BPUPKI akan diteruskan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk untuk melanjutkan tugas BPUPKI. Dimana tugas utama PPKI adalah membahas kembali dan mengesahkan rancangan UU Dasar dari BPUPKI. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi tepat pada tanggal 18 Agustus 1945.

PPKI merupakan badan yang dibentuk Jepang untuk menjawab janji kemerdekaan Indonesia. Badan ini dirancang oleh Komando Militer Tertinggi Jepang dalam sebuah pertemuan rahasia di Saigon, Vietnam Selatan, pada 7 Agustus 1945. 

'Tidak Ada Makan Siang Yang Gratis", itulah pepatah yang biasa dikenal dalam sebuah kelakar politik maupun bisnis. Di balik pemberian Jepang tersebut, Jepang menghendaki jaminan imbalan atas kemerdekaan yang diberikan. Mereka ingin Indonesia mendukung Jepang menghadapi musuh-mush Jepang, yang saat itu sedang menghadapi kekalahan, pasca peristiwa pengeboman atom Kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945.

Oleh karena itu, Jepang mendekati kaum nasionalis dari golongan tua, khususnya Sukarno. Marsekal Terauchi, Panglima Tertinggi Pasukan Jepang di Asia Tenggara, secara rahasia menerbangkan Bung Karno ke Saigon untuk dilantik sebagai ketua PPKI.

Soekarno didampingi oleh Mohammad Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat, bersama puluhan pembesar militer Jepang tersebut. Secara berurutan, mereka kemudian dilantik sebagai ketua, wakil ketua dan perwakilan anggota PPKI.

Menurut ingatan Bung Karno, sebelum diberi tahu bahwa salah satu kota terpenting di Jepang telah rata akibat bom atom, baik dirinya maupun Hatta tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh Jepang.

Terauchi hanya memberi tahu bahwa Tenno Heika (Kaisar Jepang) menyerahkan proses kemerdekaan sepenuhnya kepada bangsa Indonesia. Untuk itu, Terauchi setuju untuk tidak melibatkan orang-orang Jepang dalam PPKI.

Sukarno mencerna perkataan Terauchi dan menurutnya rencana memproklamasikan kemerdekaan, serta mengesahkan rancangan UU Dasar yang menjadi tugas PPKI, harus dilakukan secara perlahan tanpa pertumpahan darah.

Namun setelah Sukarno, Mohammad Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat kembali ke Indonesia, para anggota PPKI bersepakat untuk menyelenggarakan sidang pertama pada 16 Agustus 1945.

Keputusan tersebut diambil, setelah penetapan nama-nama pengurus yang terdiri dari 21 orang. Dimana mereka terdiri dari perwakilan-perwakilan dari seluruh wilayah Nusantara.

Niat Sukarno untuk berhati-hati dalam merencanakan kemerdekaan, mendapat tentangan keras dari golongan muda, seperti Sutan Sjahrir, Wikana, dan Chairul Saleh terang-terangan menentang sikap lunak yang ditunjukan Dwitunggal Sukarno-Hatta. Bahkan, mereka mulai menuduh Sukarno berada di pihak Jepang.

Hal ini berlanjut pada 'Peristiwa Rengasdengklok'

Info Penting
  • 17 Juli 1945, BPUPKI menyelesaikan sidangnya dan menerima Rancangan Undang-Undang Dasar.
  • 7 Agustus 1945 PPKI dibentuk Jepang untuk menjawab janji kemerdekaan Indonesia, yang dirancang oleh Komando Militer Tertinggi Jepang dalam sebuah pertemuan rahasia di Saigon, Vietnam Selatan.

Sumber : Dari berbagai sumber
Foto : Istimewa

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen