Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Sekelumit Perjalanan Sejarah Pancasila

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Pada tanggal 22 Juli 1945, disahkan Piagam Jakarta yang kelak menjadi naskah Pembukaan UUD 1945. Naskah rancangan konstitusi Indonesia disusun pada waktu Sidang Kedua BPUPKI tanggal 10-17 Juli 1945.

Sebelum pengesahan tanggal 18 Agustus 1945, ada nilai-nilai sejaraha yang banyak dihapus dari sejarah itu sendiri, yakni:

Para wakil daerah luar Jawa itu, terutama karena mewakili golongan agama di luar Islam (Kristen, Hindu Bali, dan lain-lain), merasa keberatan apabila dalam Preambul itu masih ada kalimat yang berbunyi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Karena hal itu bisa diartikan bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam.

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Mereka menghendaki agar diubah menjadi: "Ketuhanan Yang Maha Esa" saja. Para utusan juga menghendaki agar beberapa pasal dalam rencana UUD, antara lain yang menyatakan bahwa Presiden harus seorang Islam, supaya diubah sehingga pasal 6 ayat 1 berbunyi "Presiden ialah orang Indonesia Asli."

 Menurut mereka tujuan perubahan tersebut supaya kita jangan menjadi terpecah-pecah sebagai bangsa, karena itu perlu dihilangkan kalimat-kalimat yang bisa mengganggu perasaan kaum Kristen atau pemeluk agama lain.

Usul perubahan itu mendapat perhatian serius dari para mahasiswa, dan mereka segera memperoleh persesuaian pendapat, karena masingmasing telah sama-sama menginyafi dan benar-benar menginginkan adanya persatuandan kesatuan bangsa. Persoalan tersebut oleh mahasiswa segera diberitahukan kepad Bung Hatta melalui telpon. Bung Hatta setuju untuk membicarakan hal itu sore hari itu juga tanggal 17 Agustus 1945, pukul 17.00. Untuk menjelaskan persoalan ini tiga orang diutus menghadap Bung Hatta sore itu, menyampaikan alasan perubahan yang dikemukakan wakil-wakil dari Indonesia Timur.

Ketiga Utusan Mahasiswa itu ialah Moeljo Hastrodipuro, Piet Mamahit, dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angkatan Laut, sehingga orang mengiranya orang Jepang.

Perubahan-perubahan yang diajukan oleh para utusan ini dapat diterima oleh Bung Hatta dan akan disampaikan kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 esok harinya.

Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Periode 1945-1949
Dalam kurun waktu 1945-1949, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16 Oktober 1945 memutuskan bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif, karena MPR dan DPR belum terbentuk. Tanggal 14 November 1945 dibentuk Kabinet Parlementer yang pertama, sehingga peristiwa ini merupakan penyimpangan UUD 1945.

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Periode 1959-1966
Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 waktu itu.

Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:
  • Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
  • MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
  • Pemberontakan G 30S
Periode 1966-1998
  • Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan kembali menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun dalam pelaksanaannya terjadi juga penyelewengan UUD 1945 yang mengakibatkan terlalu besarnya kekuasaan pada Presiden.
  • Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui sejumlah peraturan:Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
  • Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
V. Perubahan UUD 1945
Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mempertegas sistem presidensiil.

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:
  • Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999
  • Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000
  • Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001
  • Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 1999 
Sumber : Lahirnya Satu Bangsa dan Negara (Penerbit Universitas Indonesia - UI Press - 1997), dan dari berbagai sumber

Sudah pernah diunggah di Indonesia Mandiri : 

Menyibak Tempat Lahirnya Sang Saka Merah Putih

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) -  Gunung Lawu yang dahulunya bernama Wukir Mahendra ini, terletak di perbatasan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah dan Magetan,Jawa Timur, menyimpan sejuta misteri, yang hingga kini tidak dapat diungkap tuntas bagi orang-orang yang congkak.

Gunung Lawu tepatnya terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masyarakat Jawa yang berkearifan lokal, dan tidak ke barat-baratan dan ke arab-araban, sangat percaya bahwa puncak Lawu dahulu merupakan kerajaan pertama yang ada di pulau Jawa dan dipercaya memiliki dunia gaib yang misterius.

Gunung Lawu terletak persis di tengah perempatan empat penjuru mata angin.

Gunung Lawu juga merupakan pusat budaya dan kegiatan spiritual orang-orang di pulau Jawa. Hal ini lebih meyakinkan lagi tidak ada yang kebetulan, karena jika ditarik secara garis lurus, Gunung Lawu sejajar tegak lulus tepat dengan Pura Mangkunegara, dan bukan tepat pada Keraton Kasunanan Surakarta. Seperti yang terjadi pada Keraton Ngayojokarto yang sejajar tepat dengan Gunung Merapi. 

Tikda heran bagi orang-orang pribumi, dan bukan yang ngaku-ngaku pribumi, Gunung Lawu masih menjadi tempat untuk laku spiritual para tokoh dan negarawan. Sejak Jaman Kraton sampai saat ini. Puncak Hargo Dumilah merupakan tempat sakral yang sering digunakan untuk semedi, meditasi atau mengolah kebathinan, dan mohon petunjuk dari Tuhan YME.

Sudah menjadi rahasia umum hampir semua petinggi negara sering menyepi dengan mendaki puncak Lawu. Sejak jaman era Bung Karno, presiden pertama Indoneisa ini memang sering melakukan tetirah atau menyepi di Lawu. Sementara, para penggantinya, terakhir SBY tahun 2013 terakhir datang ke sini.

Untuk naik ke puncak Gunung Lawu melalui jalur umum, Anda dapat melalui Cemoro Sewu Magetan, ataupun Cemoro Kandang di Karanganyar.

Namun ada juga jalur khusus, yakni melewati Blumbang, Tawangmangu, Karanganyar, dari jalur ini, langsung menuju pintu masuk Pringgondani, Jalur khusus ini sudah memiliki jalan blok yang lebih baik.

Foto : Istimewa

Sejarah nama Indonesia

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Nama Indonesia berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). 

Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). 

Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.

Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):

    "... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1] Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):

    "Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"

Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]

Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia")..

Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
    "Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."

Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak. Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".

Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia


Foto : Istimewa

Periodisasi Sejarah Indonesia

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Agar lebih mengerti, mencintai , dan akhirnya Sadar Sejarah Nusantara. #SadarSejarahNusantara
  1. Prasejarah
  2. Masa Sebelum Penjajahan. Berdirinya Kerajaan-kerajaan Agama Lokal, Hindu, Buddha, dan Islam.
  3. Masa Penjajahan
A. Penjajahan Portugis  - Tahun 1509 M - 1595 M
Hanya beberapa tahun sebelum ekspedisi Colombus, tahun 1486 seorang pelaut Portugis bernama Bartolomeo Diaz mencoba melakukan penjelajahan untuk mencari jalan menuju negeri-negeri di kawasan Asia, yang sebagai penghasil rempah-rempah. Walaupun gagal untuk mendapatkan rempah-rempah, tetapi Bartolomeo Diaz berhasil menemukan jalan baru menuju Asia Timur, yakni melewati pantai Selatan Afrika.

Selanjutnya, tahun 1512 seorang pelaut Portugis yang lain bernama Fransisco Serrao berhasil berlayar menuju kepulauan Maluku. Raja Ternate menyambut baik kedatangannya ke Maluku, bahkan pada awalnya diizinkan untuk mendirikan benteng di Ternate. Tetapi karena memburuknya hubungan perdagangan antara Ternate-Portugis, maka diputuskan. Hal ini dikarenakan Portugis pada akhirnya melakukan monopoli terhadap perdagangan rempah-rempah di Maluku.

B. Penjajahan Spanyol - Tahun 1521 M - 1692 M
Pada mulanya, Spanyol melakukan koalisi dengan Kerajaan Tidore untuk melawan Kerajaan Ternate (yang mendapat dukungan Portugis). Tetapi untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak Spanyol dan Portugis, maka dideklarasikanlah perjanjian Saragosa pada tahun 1538. Adapun isinya, antara lain:  Bahwa Portugis memperoleh Kepulauan Maluku, dan Spanyol memperoleh wilayah Filipina.

C. Penjajahan Belanda - 1602M - 1811M ... 1816M - 1942M
Belanda mulai melakukan kegiatan perdagangan di Indonesia, sejak tahun 1602, dengan ditandai dengan berdirinya persekutuan dagang “VOC” (Verenigde Oostindische Compagnie), yang merupakan sebuah lembaga dagang, berpusat di Kota Batavia, serta diberi hak monopoli dagang oleh pemerintah Belanda.

VOC sebagai wakil Belanda di Hindia-Belanda (Indonesia) memiliki berbagai hak khusus, antara lain: Mencetak Uang Sendiri, Membangun Kekuatan Tentara, Memiliki dan Mengangkat Pegawai, Membentuk Pengadilan, Menduduki Daerah-daerah Asing, serta Melakukan Perjanjian dengan Raja-raja Pribumi.

Yang pada akhirnya, VOC mulai ikut campur dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Hal ini berdampak pada kebijakan-kebijakan VOC yang menindas rakyat pribumi, serta adanya power tends to corrupt, maka korupsi internal pegawai VOC sendiri merajalela. Akibatnya, rakyat di berbagai daerah melakukan perlawanan kepada VOC.

Pada abad ke-18 VOC mengalami kemunduran, yang pada umumnya diakibatkan oleh banyaknya perlawanan senjata yang dilakukan rakyat pribumi. Pada akhirnya tanggal 31 Desember 1799, VOC secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda, dan Indonesia langsung berada di bawah kekuasaan pemerintah Belanda, yang diwakili oleh beberapa Gubernur Jendral seperti Daendels dan Janssens.

D. Penjajahan Perancis - Tahun 1806 M - 1811 M
Perancis secara tidak langsung menguasai Jawa, karena kerajaan Belanda takluk pada kekuatan Perancis. Berakhir pada tahun 1811, saat Inggris mengalahkan kekuatan Belanda-Perancis di Pulau Jawa. Diberlakukan Perjanjian Tutang.

E. Penjajahan Inggris - Tahun 1811 M - 1816 M
Sejak 1811 pemerintah Inggris menguasai Pulau Jawa, yakni sejak ditandatanganinya Kapitulasi Tungtang,  dimana salah satunya klausulnya berisi; penyerahan Pulau jawa dari Belanda kepada Inggris.

Pada tanggal 17 September 1811 pemerintahan Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur jendral  di Indonesia. Catatan dari pemerintahan Raffles di Indonesia, antara lain: Membagi Pulau Jawa Menjadi 16 Karesidenan.

Pada tahun 1814 diadakan Konvensi London, dimana isinya bahwa pemerintah Belanda berkuasa kembali atas wilayah jajahan Inggris di Indonesia. Pada tahun 1816, pemerintahan Inggris di Indonesia secara resmi berakhir. Sejak saat inilah, Belanda kembali berkuasa di Indonesia hingga tahun 1942.

F. Penjajahan Jepang - Tahun 1942 M - 1945 M
Pada tahun 1941 Jepang menyerang Pearl Harbor, dimana sejak saat itu Jepang dan Amerika Serikat mulai terlibat dalam perang dunia ke-2. Untuk membiayai industri peperangan agar tetap berjalan, maka Jepang melakukan invasi ke beberapa daerah yang kaya dengan bahan mentah termasuk Indonesia.

Tahun 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang, melalui perjanjian di daerah Kalijati. Sejak saat itulah, berakhir masa penjajahan Belanda terhadap Indonesia, dan digantikan oleh Jepang.

Jepang sendiri menjajah Indonesia hanya dalam waktu 3,5 tahun dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu tepat saat proklamasi kemerdekaan Indonesia.
  1. Masa Kemerdekaan, Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945,  sampai dengan jatuhnya Soekarno tahun 1966
  2. Masa Orde Baru, 32 tahun lamanya pemerintahan Soeharto dari 1966 sampai dengan tahun 1998
  3. Masa Reformasi hingga sampai sekarang.
Foto : Istimewa
#SadarSejarahNusantara

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen