Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Perjalanan Akhir Prabu Siliwangi VIII (1.567 M - 1.579 M)


Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Jayadewata atau Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi adalah salah satu Raja Pajajaran yang cukup terkenal dan sakti mandraguna. Ia memiliki banyak pengikut serta membuat Negeri Sunda menjadi terkenal seantero Nusantara.

Predikat sebagai Prabu Wangi, diberikan kepadanya oleh rakyatnya,  karena ketegarannya mempertahankan kehormatan dan martabat Kerajaan Sunda Galuh Bersatu dari serangan Kerajaan Majapahit, ketika "Perang Bubat", pada tahun 1.357 M.

Ia gugur bersama semua pengiring, pengawal, dan putrinya yang cantik nan jelita, Dyah Pitaloka. Predikat Prabu Wangi sebagai penghormatan terhadap semua jasa, dan pengabdian sang Raja, sehingga Namanya menjadi Wangi atau Harum.

Nama Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh Bersatu (Ibukota : Pajajaran / Kawali - Galuh / Saunggalah), yakni:
  • Prabu Linggadéwata (1311-1333)
  • Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
  • Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
  • Prabu Maharaja Linggabuanawisésa / Sri Baduga Maharaja I Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1,350 M – 1.357 M) Prabu Wangi
  • Prabu Guru Mangkubumi Bunisora Suradipati atau Prabu Guru di Jampang , Adik Linggabuanawisesa (1.357 M – 1.371 M)
  • Prabu Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa atau Anggalarang atau Wangisutah  (1.371 M – 1.475 M) Prabu Siliwangi I
  • Sri Baduga Maharaja Ratu Aji (Aji - Bukan Haji) / Prabu Susuktunggal (1.475 M – 1.482 M) Prabu Siliwangi II sebagai Raja Sunda saja. Hal ini dikarenakan sepeninggal Prabu Niskala Wastu Kancana, kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan Prabu Dewa Niskala (seorang raja Kerajaan Surawisesa di Galuh Kawali 1.475 M - 1.482 M) dalam kedudukan sederajat.
  • Jayadéwata Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, Jayadéwata bergelar Sri Baduga Maharaja / Raden Pamanah Rasa / Pangeran Jaya Dewata (1.482 M – 1.521 M) Prabu Siliwangi III
  • Prabu Surawisesa (1.521 M - 1.535 M) Prabu Siliwangi IV
  • Prabu Déwatabuanawisésa / Ratu Dewata (1.535 M - 1.543 M) Prabu Siliwangi V
  • Prabu Sakti / Ratu Sakti (1.543 M - 1.551 M) Prabu Siliwangi VI
  • Prabu Nilakendra Tohaan di Majaya (1.551 M - 1.567 M) Prabu Siliwangi VII
  • Prabu Suryakancana atau Prabu Ragamulya  (1.567M - 1.579 M), sebagai raja terakhir, karena runtuhnya kerajaan tersebut, setelah ibu kota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten pada tahun 1.579 M. Prabu Siliwangi VIII
Menurut Prof. Dr. Ayatrohaedi, Prabu Bunisora Suradipati (adik Prabu Wangi) tidak disebut sebagai Prabu Siliwangi, karena hanya sebagai “Ratu Panyelang” atau “Raja penyelang”.

Jadi Prabu Siliwangi dihitung mulai dari Niskala Wastu Kancana (putra Prabu Wangi), sehingga urutannya seperti tersebut di atas. Hal tersebut karena secara umum, garis keturunan Raja adalah, mengacu pada Nasab Raja secara garis laki-laki kepada garis keturunan di atasnya.

Oleh karenanya, adik prabu Linggabuana yaitu Bunisora Suradipati tidak dihitung sebagai Prabu Siliwangi, karena bukan keturunannya.

Sementara Tim Tanah Impian menggunakan Nasab yang umum, kecuali pada situasi-situasi tertentu, misalnya Prabu Wangi tidak memiliki Putra.

Dilain pihak, beberapa budayawan menganggap, bahwa Prabu Bunisora Suradipati, adik dari Sri Baduga Maharaja I Linggabuanawisésa alias Prabu Wangi, termasuk “Siliwangi”. Jadi Prabu Bunisora dihitung sebagai “Siliwangi I”. Sehingga Raja yang gelar Prabu Siliwangi ada 9 orang.

Siliwangi adalah Gelar
Dari naskah yang ditulis pada tahun 1.518 M, saat Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh tersebut menjadi raja di Pakuan.

Sri Baduga lebih dikenal dengan nama Prabu Wangi, yang  dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun.

Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja I Linggabuanawis̩sa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1.350 M Р1.357 M), yang diidentikkan dengan Prabu Wangi, sesungguhnya adalah awal dari munculnya istilah Prabu Siliwangi bagi keturunannya.

Sehingga nama Prabu Siliwangi merupakan julukan bagi Raja-raja Sunda yang menggantikan Raja Sunda sebelumnya, setelah predikat Prabu Wangi muncul.

Baca juga : Ramalan Prabu Siliwangi VIII

Hal ini persis sama dengan sejarah orang Jawa, yang mencatat ada lima raja bernama Prabu Brawijaya, dan kebetulan yang paling dikenal adalah yang terakhir yakni Prabu Brawijaya V, yang juga berakhir dengan Moksa (Ngahiyang).

Baca juga : Perjalanan Akhir Prabu Brawijaya V - (1.413 M - 1.478 M)

Sementara sejarah orang Sunda, mencatat ada delapan Prabu Siliwangi dimana yang paling menjadi bahan pembicaraan adalah yang terakhir yakni Prabu Siliwangi VIII, yang kebetulan juga berakhir dengan Moksa (Ngahiyang).

Baca juga : Hoax : Siliwangi VIII Masuk Islam

Menurut naskah Wangsakerta Cirebon (ditulis selama 21 tahun, 1.677 M - 1.698 M dengan aksara Jawa), diperkuat oleh pendapat Prof. Dr. Ayatrohaedi, arkeolog, ahli bahasa, peneliti sejarah Sunda, dan guru besar arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sebenarnya tidak ada raja Sunda bernama Prabu Siliwangi.

Keturunannya Masih Ada
Berbekal "Amanat Galunggung" : Ada dahulu ada sekarang, tak ada dahulu, maka tak ada sekarang.

Maka dapat dikatakan bahwa keturunan Siliwangi masih eksis hingga kini.

Berangkat dari garis ayah (garis geneologi), maka para keturunannya hingga hari ini berhak menyebut Siliwangi. Meskipun tidak lagi mempunyai kekuatan politik kenegaraan, gelar Siliwangi dapat digunakan oleh para keturunannya (seuweu-siwi), dari Garwa Padmi (Permaisuri).

Etimologi
Makna Siliwangi adalah berasal dari kata “Silih” dan “Wawangi”, artinya sebagai pengganti Prabu Wangi.

Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang.

Naskah dengan esensinya antara lain :
Dalam medan perang Bubat, tak gentar Prabu Wangi menghadapi pasukan Majapahit yang besar pimpinan sang Patih Gajah Mada .

Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata, dan mahir berperang, tidak sudi diperintah atau dijajah orang lain,  ia membinasakan banyak tentara dari musuhnya.

Ia memperjuangkan kemakmuran, dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Meskipun pada akhirnya, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

Namun sikap kesatria Sang Prabu Maharaja, sangat membanggakan keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang, dan rakyat Tatar Sunda.

Kebanggan tersebutlah yang membuat Prabu Maharaja Linggabuanawisésa / Sri Baduga Maharaja I Linggabuanawisésa disebut sebagai sang Prabu Maharaja Mewangi, yang selanjutnya ia disebut dengan sebutan "Prabu Wangi". Kemudian para keturunannya disebut dengan nama Prabu Siliwangi.

Selain itu, menurut tradisi lama, orang tidak diperbolehkan untuk menyebut gelar Raja yang sesungguhnya - pamali, olehkarenya melalui pantun-lah sebutan Siliwangi menjadi populer.

Dengan sebutan Prabu Siliwangi yang dikenal dalam literatur Sunda, pada masa Wangsakerta, mengungkapkan, bahwa Siliwangi bukanlah nama pribadi

“Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira”.

Artinya ::
“Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.”

Sumber : Dari berbagai sumber
Foto : Istimewa

Ramalan Prabu Siliwangi VIII

Literasi Utama

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Ramalan Prabu Siliwangi VIII, biasa disebut oleh masyarakat Sunda sebagai "Uga Wangsit Prabu Siliwangi"

Seperti masyarakat Jawa yang berpegang pada beberapa ramalan, seperti Jayabaya, Sabdo Palon dan Naya Genggong (1.413 M - 1.478 M).

Sudah saatnya  kita semua kembali ke kearifan lokal para pemimpin kerajaan-kerajaan Nusantara. Salah satunya adalah Prabu Siliwangi VIII , Raja terakhir Padjajaran (1.567 M - 1.579 M).

Baca juga : Hoax : Siliwangi VIII Masuk Islam

Mungkin kita dapat membaca Uga Wangsit Prabu Siliwangi VIII yang diyakini disampaikan dalam salah satu ramalannya, saat Kerajaan Padjajaran semakin terdesak dari serangan kerajaan Islam Banten dan Demak, Ia pun bertutur, antara lain :

“Perjalanan kita hanya sampai pada hari ini. Sekalipun kalian tetap setia padaku, namun aku tidak boleh membawa kalian untuk ikut hidup sengsara, compang-camping, dan menahan lapar (kata-kata kiasan sebelum dirinya berangkat Moksa / Ngahiyang).

Baca juga : Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Kalian sekarang harus memilih yang baik untuk diri kalian sendiri, dalam menghadapi kehidupan masa datang, sehingga kelak dapat hidup senang, makmur, dan sejahtera.

Agar satu saat kalian dapat membangkitkan kembali Padjajaran yang pernah jaya.

Sekarang kalian harus memilih, aku yang memberi perintah. Menurutku tidak pantas menjadi Raja, sementara semua rakyatku lapar, sengsara, dan serba susah.

Aku tidak akan menghalang-halangi kalian, karena aku yang memberi perintah kepada kalian untuk memilih. Siapa yang ikut denganku, silakan berkumpul di Selatan (Tegal Buleud, Sukabumi - saat itu pusat kekuasaan Padjajaran yang berada di Pakuan-Bogor, sudah diambil-alih oleh Banten yang bersekutu dengan Demak, dan juga Mataram).

Pada zaman itu, persekutuan dua kerajaan Islam Banten-Demak semakin menguat, dan menguasai seluruh Pantai Utara Jawa.

Ramalan lain dari Prabu Siliwangi VIII, adanya keinginan kembali ke kota kenangan, silahkan berkumpul ke sebelah Utara. Kalian harus tahu, bahwa tak akan ada kota yang dituju.

Diantara kalian akan banyak yang jadi rakyat biasa, dan jika ada dari kalian yang memegang jabatan, meskipun tinggi jabatannya namun tidak memiliki kekuasaan.

Yang dimaksud sebelah Utara oleh Prabu Siliwangi VIII secara geografis adalah Pelabuhan Sunda Kelapa, yang Ia diskripsikan dalam ramalannya secara tepat.

Kalian (para pengikut Prabu Siliwangi VIII yang memilih pindah ke Utara), kelak akan kedatangan tamu yang banyak dari tempat yang jauh, tetapi tamu tersebut hanya akan menyusahkan kalian. Kalian hanya akan diadu domba, demi kepentingan mereka.

Saat Padjajaran tengah akan sejajar kembai di tengah-tengah kekuasaan yang ada pada saatya. Seluruh anggota kelompok tersebu, ingin mempertahuankan kekayaan dari hasil yang tidak benar. Tidak ada yang senang akan kebenaran dan  kebaikan.

Baca juga : Perjalanan Akhir Prabu Siliwangi VIII (1.567 M - 1.579 M)

Nanti akan datang masanya dari kelompok kalian yang akan menjadi pemimpin untuk membangun kembali bangsa Sunda, yang nampaknya harus diartikan secara geologi/geografis/geopoitik, bukan Sunda dalam artian Etnis.

Jika kita perhatikan berbagai literatur yang mempelajari kepulauan Nusantara secara geologis/geografis/geopolitik, maka terdapat dua istilah. Sunda Besar dan Sunda Kecil.
  •  terdiri dari Jawa, Madura, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. 
  •  Sunda Kecil terdiri dari Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku.
Dari penelitian yang dilakukan oleh E. Rokajat Asura dalam bukunya, yang melansir mengenai Tafsir Wangsit Siliwangi dan Kebangkita Nusantara, mempunyai pandangan yang sama. Bahwa dalam konteks Sunda Besar dan Sunda Kecil inilah ramalan Prabu Siliwangi VIII harus ditempatkan. Bukan Sunda dalam konteks etnis.

Jadi yang dimaksud Timur dan Barat, bukan secara geografis di Nusantara, tetapi menengok pada kejadian yang dimulai pada abad ke-17 hingga Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, bahwa kita pernah dijajah Belanda, Portugis, dan Inggris (orang-orang dari Barat). Namun kita juga pernah dijajah Jepang pada 1942-1945 (orang-orang dari Timur).

Saat ini, persaingan global AS vs Cina di kawasan Asia - Pasifik begitu hebatnya. Sementara posisi Indonesia dalam konteks Sunda Besar dan Sunda Kecil dalam kacamata geografis, adalah jelas telah dijadikan sasaran perebutan pengaruh, dan Proxy War antara mereka berdua.

Berarti secara kontekstual, ramalan Prabu Siliwangi VIII dalam Wangsit Siliwangi sangat jitu.adalah benar adanya.

Betapa bangsa Indonesia (Sunda Besar dan Sunda Keci) telah dijadikan sasaran adudomba oleh mereka Duo AS (Amerika Serikat - Barat dan Arab Saudi - Timur Tengah) + Cina (Asia Timur)

Prabu Siliwangi ternyata sudah meramalkannya secara geopoitik.

Sebagai penutup, Tim Tanah Impian melihat adanya indikator kuat yang dapat diterjemahkan dari Uga Wangsit Prabu Siliwangi VIII

Gunanya ramalan adalah agar kita dapat mencarikan solusinya, bukan untuk pasrah bongkokan. (Pesan dari anak cucu Mojopahit)

Saat Anak Cucu Siliwangi VIII bergandengan tangan dengan Anak Cucu Prabu Brawijaya V, Nusantara atau Indonesia akan menguasai dunia.

Baca juga : Perjalanan Akhir Prabu Siliwangi VIII (1.567 M - 1.579 M)

Literasi Utama

Sumber : Dari berbagai sumber
Foto : Istimewa

Hoax : Siliwangi VIII Masuk Islam

Literasi Utama

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Mengalahkan sekaligus menghancurkan sebuah bangsa dengan tanpa harus berperang, adalah dengan cara menyesatkan sejarah bangsa, yang menjadi musuhnya.

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Pertanyaannya, apakah Arab melihat Indonesia sebagai musuh, pertanyaan yang sama dapat ditanyakan, apakah negara-negara lain juga melihat Indonesia sebagai musuh.

Jawabannya, bukan persoalan musuh atau bukan musuh, tapi mereka ingin menguasai SDA kita, untuk kemakmuran bangsanya. Sehingga dengan segala macam cara (machiavellian), sampai beraninya mereka mengklaim bahwa mereka adalah "Pembela Tuhan" - sementara kalau mereka sembahyang, masih meminta untuk dilindungi oleh Tuhan.

Sebelum membaca "Siliwangi VIII Masuk Islam", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara

Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
  • Pertama, mereka mengaburkan, menyesesatkan, dan mengacaukan Sejarah Nusantara
  • Kedua, mereka memutuskan pengetahuan mengenai Leluhur Kita
  • Ketiga, mereka mengarang  Sejarah Baru
Menurut Babad Cirebon pada masa sepuhnya Prabu Siliwangi merad (Pergi / Moksa / Ngahiyang) setelah Pajajaran (Galuh) dikalahkan oleh Cirebon.

Kiranya perlu dijelaskan sebelumnya, bahwa banyak juga orang yang tidak tahu, bahwa Prabu Siliwangi adalah sebuah sebutan jabatan bagi Raja Pajajaran, yang dimulai dari putra Prabu Wangi, yang menjadi Prabu Siliwangi I

Baca juga : Ramalan Prabu Siliwangi VIII

Tertulis dalam Prasasti Batu Tulis, sepertinya Prabu Siliwangi meninggal dengan normal, dan tahtanya diserahkan kepada anaknya Prabu Surawisesa (Prabu Siliwangi IV).

Dalam Naskah Carita Parahyangan, pemerintahan Sri Baduga diterangkan, antara lain :

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

Artinya :
Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama.

Dari Naskah tersebut diketahui bahwa telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih ke agama Islam.

Namun demikian, jika juga dianggap bahwa Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi III) menganut agama Islam, hal ini masih "kemungkinan" karena tidak ada sumber jelas, yang menyatakan demikian.

Dalam Naskah Carita Parahyangan pun dijelaskan bahwa Prabu Siliwangi disunat, tetapi Disunat adalah Budaya Pituin Sunda alias Budaya Sunda Asli. Dengan demikian, disunatnya Prabu Siliwangi III, bukan serta merta menjadikan Prabu Siliwangi III memeluk agama Islam. Hal ini dapat lebih dijelasan dengan sebuah kenyataan bahwa  Yesus Kristus (Isa Almasih) yang juga disunat, dan pasti Yesus Kristus tidak memeluk agama Islam.

Prabu Siliwangi III memiliki nama yang sangat dikenal di Bogor, yakni Sri Baduga Maharaja Ratu Aji (Aji - Bukan Haji). Entah disengaja atau tidak, banyak yang menulis Aji menjadi Haji, seperti tertera di alinea di atas.

Dari situlah diinterpretasikan bahwa Prabu Siliwangi VIII yang notabene anak keturunan dari Prabu Siliwangi III sebagai orang muslim.

Padahal Prabu Siliwangi III sendiri saja penganut Hindu yang taat, hingga akhir hayatnya..

Prabu Siliwangi Moksa (Ngahiyang)
Moksa hanya dikenal dalam ajaran agama Hindu. Jadi mereka yang mencapai moksa tentunya adalah seorang penganut agama Hindu.

Ternyata yang banyak disidit sebagai Prabu Siliwangi yang moksa adalah Prabu Siliwangi III, entah ini disengaja atau tidak.

Disengaja karena agar dapat mengacaukan sejarah, tidak sengaja, karena Ia memiliki istri banyak, yang tidak lazim dalam budaya Sunda.

Sepanjang mulai digunakan istilah Prabu Siliwangi, maka Prabu Siliwangi yang paling terkenal adalah Jayadewata alias Pamanah Rasa alias Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi III) memiliki 150 atau 151 istri.

Jadi tidak mengherankan, jika Ia selalu menjadi buah bibir di dalam masyarakat Sunda.

Sementara, Prabu Raga Mulya alias Prabu Suryakancana (Prabu Siliwangi VIII) lah yang moksa. Ia adalah Raja terakhir hingga Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh) pada tahun 1.579 Maeshi.

Sribaduga (Prabu Siliwangi III) atau Sri Baduga Maharaja Ratu Aji (Aji - Bukan Haji) ini adalah leluhur dari Prabu Suryakancana yang juga bergelar "Siliwangi" (Prabu Siliwangi VIII) dari jalur istrinya Nhay Kentring Manik Mayangsunda yang masih beragama Hindu.

Sosok Nhay Kentring Manik Mayangsunda yang masih menganut agama Hindu tercatat dalam Pantun Bogor, Kitab Suci Ageman Sunda Buhun.

Hal inilah yang membuat mengapa Putri Padmawati (Kentring Manik Mayang Sunda), lebih memilih tetap tinggal di Kadaton Surabima di Sindang Barang, tidak di Pakuan. Ditenggarai karena demi lebih untuk  memantapkan keyakinannya kepada Agarna Sunda (Jadi an sich sebenarnya bukan Agama Hindu - Tetapi Buhun / Agama Leluhur Orang Sunda)

Nenek moyang Putri Padmawati berasal dari "Nusa Bima" bukan dari Pajajaran (Partini Sardjono, 1991). Olehkarenanya, Ayahandanya, Prabu Panji Haliwungan (Susuk Tunggal) menamai Sura-nya adalah Sura Bima.

Putranya, Prabu Guru Gantangan dari catatan sejarah disebut Prabu Surawisesa (1.521 M - 1.533 M), lahir di Sindang Barang..

Keturunan dari Prabu Siliwangi III (1.482 M – 1.521 M), bertahta di Pakuan (sekarang menjadi Bogor) dari Permaisuri (Garwa Padmi) adalah sebagai berikut:
  • Surawisesa (1.521 M – 1.535 M), bertahta di Pakuan
  • Ratu Dewata (1.535 M – 1.543 M), bertahta di Pakuan
  • Ratu Sakti (1.543 M – 1,551 M), bertahta di Pakuan
  • Ratu Nilakendra (1.551 M - 1.567 M), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
  • Raga Mulya (1.567 M – 1579 M), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang
Raga Mulya (Prabu Siliwangi VIII) adalah raja terakhir Kerajaan Sunda yang dengan ibukota di Pakuan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana.

Dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya, Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang.

Oleh karenanya, Ia dikenal pula dengan sebutan Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari, yang mungkin berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

Jadi yang maksud bahwa Prabu SIliwangi Moksa adalah Siliwangi terakhir yakni Prabu SIliwangi VIII, yang disebut juga dengan nama  Prabu Suryakancana (Raga Mulya). Hal ini diketahui dari Pantun Bogor, bahwa Leluhurnya dari Ibunda permaisuri Nhay Kentring Manik Mayang Sunda yang beragama Hindu.

Prabu SIliwangi VIII dikisahkan bertapa di Kaduhejo Gunung Palasari Banten di lokasi yang diperkirakan pusat kerajaan Salakanagara Leluhurnya. Ia pun dikisahkan merad (Pergi / Moksa / Ngahiyang) di tempat ini.

Sebutan "Nu Siya Mulya" artinya Menurutmu Mulya,

Hal ini kemungkinan merupakan hinaan terhadap dirirnya akibat terkalahkan dalam perang. Seluruh Keturunan Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja dari Garwa Padmi Nhay Kentring Manik Mayang Sunda musnah (tumpur).

Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan,
"Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala"

Artinya,
"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka."
Tanggal tersebut bertepatan dengan 8 Mei 1.579 M.

Baca juga : Perjalanan Akhir Prabu Siliwangi VIII (1.567 M - 1.579 M)

Literasi Utama

Sumber : Dari berbagai sumber
Foto : Istimewa

Pakuan Pajajaran - 1.433 M


Parahyangan Agung Jagatkharta, Pura Terbesar di Asia Tenggara
Bogor (PerpustakaanTanahImpian) - Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan. Lokasi Pajajaran pada abad ke 15 dan abad ke-16 bisa dilihat pada peta Portuguese Colonial Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580 yang dapat dilihat pada link :

http://www.themapdatabase.com/category/location/asia/indonesia/

Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut. [1]



Kehancuran
Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan pecahan kerajaan Sunda, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.

Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Toponimi Pakuan dan Pajajaran
Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu[2]:

    Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
    K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
    G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
    R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
    H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".

Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".

Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.

Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.

Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.

Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibukota kerajaan.

Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga Pajajaraan.

Penelitian Lokasi Bekas Pakuan Pajajaran
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
“     Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.

Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.
    ”
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti "peucang".

Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris.

Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas kedua belah pihak.

Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:

    Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".

    Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.

Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".

Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.

Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.

Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :

Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan dua lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.

Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.

Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah kata Sunda Kuna yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama artinya dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.

    Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.

    Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.

    Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.

Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.

    Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).

Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.

    Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.


Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
Abraham adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.

Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok - Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru).

Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondokcina dan seterusnya sama dengan rute 1703.

Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung - Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan.

Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan.

Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:

    Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
    Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
    Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
    Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.

Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.

Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.

Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,

    "Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".

    (Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Sedikit kotradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.

Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.

Panelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas pondasi benteng.

Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.

Rujukan
    “Maharadja Cri Djajabhoepathi, Soenda’s Oudst Bekende Vorst”, TBG, 57. Batavia: BGKW, page 201-219, 1915)
    Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16
    Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2, Edi S. Ekajati, Pustaka Jaya, 2005
    The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor, Herwig Zahorka, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007-05-20


Catatan

    ^ Noorduyn, J. (2006). Three Old Sundanese poems. KITLV Press. hlm. 437.
    ^ Danasasmita, Saleh (1983). Sejarah Bogor (Bagian I). PEMDA BOGOR.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pajajaran
Foto : Istimewa



Sunda Galuh - 670 M


Bogor (PerpustakaanTanahImpian) - Kerajaan Sunda Galuh adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten Ciamis.

Nama kerajaan
Banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja. Perjalanan pertama Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) mengelilingi pulau Jawa dilukiskan sebagai berikut:

  • Sadatang ka tungtung Sunda
  • Meuntasing di Cipamali
  • Datang ka alas Jawa
Ketika ku mencapai perbatasan Sunda
Aku menyeberangi Cipamali (yang sekarang dinamai kali Brebes)
dan masuklah aku ke hutan Jawa

Menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa:

    The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part of the island and an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say that from the earliest times God divided the island of Java from that of Sunda and that of Java by the said river, which has trees from one end to the other, and they say the trees on each side line over to each country with the branches on the ground.

Jadi, jelaslah bahwa perpaduan kedua kerajaan ini hanya disebut dengan nama Kerajaan Sunda.

Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.

Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 669 M menggantikan kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.

Dengan dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Pada tahun 670 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.

Lihat pula: Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Kalingga.

Lokasi ibu kota Sunda
Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman dekat hulu Sungai Cipakancilan.[3] Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakal-bakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian Sungai Cicatih yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.

Keterlibatan Kalingga
Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.

Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Sundapura, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan Sunda Galuh.

Sanjaya adalah penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).

Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga, Sanjaya menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) pada tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Prasasti Jayabupati
Isi prasasti
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):

    D 73 :
    //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-

    D 96 :
    gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.

    D 97 :
    sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.

Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:

    Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.

Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Tanggal prasasti
Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

Penyebab perpecahan
Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjapada tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjapada tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.

Sanna dan Purbasora
Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M), sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M. Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).

Sebenarnya Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.

Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.

Sanjaya dan Balangantrang
Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia memiliki julukan Bagawat Sajalajaya.

Premana, Pangrenyep dan Tamperan
Penunjukkan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.

Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.

Untuk menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.

Tamperan sebagai raja
Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep

Manarah dan Banga
Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

Keturunan Sunda dan Galuh selanjutnya
Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739-766).

Manarah, dengan gelar Prabu Suratama atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[4] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tapi juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru, yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).

Hubungan Sunda Galuh dan Sriwijaya
Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjapada tahun 1019 M.

Hubungan dengan berdirinya Majapahit
Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma, dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3, Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh dengan putrinya bernama Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng, yang merupakan anak dari Ken Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.

Dalam Babad Tanah Jawi Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi raja pertama Majapahit.

Daftar raja-raja Sunda Galuh

Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati, yang berjumlah 20 orang :
Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati
NoRajaMasa pemerintahanKeterangan
1Maharaja Tarusbawa669-723
2Sanjaya Harisdarma723-732cucu-menantu no. 1
3Tamperan Barmawijaya732-739
4Rakeyan Banga739-766
5Rakeyan Medang Prabu Hulukujang766-783
6Prabu Gilingwesi783-795menantu no. 5
7Pucukbumi Darmeswara795-819menantu no. 6
8Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus819-891
9Prabu Darmaraksa891-895adik-ipar no. 8
10Windusakti Prabu Dewageng895-913
11Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi913-916
12Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa916-942menantu no. 11
13Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa942-954
14Limbur Kancana954-964anak no. 11
15Prabu Munding Ganawirya964-973
16Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung973-989
17Prabu Brajawisesa989-1012
18Prabu Dewa Sanghyang1012-1019
19Prabu Sanghyang Ageng1019-1030
20Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati1030-1042
Catatan: Kecuali Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Sungai Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.

Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang :
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
NoRajaMasa pemerintahanKeterangan
1Wretikandayun670-702
2Rahyang Mandiminyak702-709
3Rahyang Bratasenawa709-716
4Rahyang Purbasora716-723sepupu no. 3
5Sanjaya Harisdarma723-724anak no. 3
6Adimulya Premana Dikusuma724-725cucu no. 4
7Tamperan Barmawijaya725-739anak no. 5
8Manarah739-783anak no. 6
9Guruminda Sang Minisri783-799menantu no. 8
10Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan799-806
11Sang Walengan806-813
12Prabu Linggabumi813-852
13Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus819-891ipar no. 12
Catatan: Sanjaya Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).

Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
NoRajaMasa pemerintahanKeterangan
1Darmaraja1042-1065
2Langlangbumi1065-1155
3Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur1155-1157
4Darmakusuma1157-1175
5Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu1175-1297
6Ragasuci1297-1303
7Citraganda1303-1311
8Prabu Linggadéwata1311-1333
9Prabu Ajiguna Linggawisésa1333-1340menantu no. 8
10Prabu Ragamulya Luhurprabawa1340-1350
11Prabu Maharaja Linggabuanawisésa1350-1357tewas dalam Perang Bubat
12Prabu Bunisora1357-1371paman no. 13
13Prabu Niskala Wastu Kancana1371-1475anak no. 11
14Prabu Susuktunggal1475-1482

Penyatuan kembali Sunda-Galuh

Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di Kawali (Galuh).
Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda_dan_Kerajaan_Galuh

Foto : Istimewa

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen