Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Hoax : Siliwangi VIII Masuk Islam

Literasi Utama

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Mengalahkan sekaligus menghancurkan sebuah bangsa dengan tanpa harus berperang, adalah dengan cara menyesatkan sejarah bangsa, yang menjadi musuhnya.

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Pertanyaannya, apakah Arab melihat Indonesia sebagai musuh, pertanyaan yang sama dapat ditanyakan, apakah negara-negara lain juga melihat Indonesia sebagai musuh.

Jawabannya, bukan persoalan musuh atau bukan musuh, tapi mereka ingin menguasai SDA kita, untuk kemakmuran bangsanya. Sehingga dengan segala macam cara (machiavellian), sampai beraninya mereka mengklaim bahwa mereka adalah "Pembela Tuhan" - sementara kalau mereka sembahyang, masih meminta untuk dilindungi oleh Tuhan.

Sebelum membaca "Siliwangi VIII Masuk Islam", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara

Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
  • Pertama, mereka mengaburkan, menyesesatkan, dan mengacaukan Sejarah Nusantara
  • Kedua, mereka memutuskan pengetahuan mengenai Leluhur Kita
  • Ketiga, mereka mengarang  Sejarah Baru
Menurut Babad Cirebon pada masa sepuhnya Prabu Siliwangi merad (Pergi / Moksa / Ngahiyang) setelah Pajajaran (Galuh) dikalahkan oleh Cirebon.

Kiranya perlu dijelaskan sebelumnya, bahwa banyak juga orang yang tidak tahu, bahwa Prabu Siliwangi adalah sebuah sebutan jabatan bagi Raja Pajajaran, yang dimulai dari putra Prabu Wangi, yang menjadi Prabu Siliwangi I

Baca juga : Ramalan Prabu Siliwangi VIII

Tertulis dalam Prasasti Batu Tulis, sepertinya Prabu Siliwangi meninggal dengan normal, dan tahtanya diserahkan kepada anaknya Prabu Surawisesa (Prabu Siliwangi IV).

Dalam Naskah Carita Parahyangan, pemerintahan Sri Baduga diterangkan, antara lain :

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

Artinya :
Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama.

Dari Naskah tersebut diketahui bahwa telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih ke agama Islam.

Namun demikian, jika juga dianggap bahwa Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi III) menganut agama Islam, hal ini masih "kemungkinan" karena tidak ada sumber jelas, yang menyatakan demikian.

Dalam Naskah Carita Parahyangan pun dijelaskan bahwa Prabu Siliwangi disunat, tetapi Disunat adalah Budaya Pituin Sunda alias Budaya Sunda Asli. Dengan demikian, disunatnya Prabu Siliwangi III, bukan serta merta menjadikan Prabu Siliwangi III memeluk agama Islam. Hal ini dapat lebih dijelasan dengan sebuah kenyataan bahwa  Yesus Kristus (Isa Almasih) yang juga disunat, dan pasti Yesus Kristus tidak memeluk agama Islam.

Prabu Siliwangi III memiliki nama yang sangat dikenal di Bogor, yakni Sri Baduga Maharaja Ratu Aji (Aji - Bukan Haji). Entah disengaja atau tidak, banyak yang menulis Aji menjadi Haji, seperti tertera di alinea di atas.

Dari situlah diinterpretasikan bahwa Prabu Siliwangi VIII yang notabene anak keturunan dari Prabu Siliwangi III sebagai orang muslim.

Padahal Prabu Siliwangi III sendiri saja penganut Hindu yang taat, hingga akhir hayatnya..

Prabu Siliwangi Moksa (Ngahiyang)
Moksa hanya dikenal dalam ajaran agama Hindu. Jadi mereka yang mencapai moksa tentunya adalah seorang penganut agama Hindu.

Ternyata yang banyak disidit sebagai Prabu Siliwangi yang moksa adalah Prabu Siliwangi III, entah ini disengaja atau tidak.

Disengaja karena agar dapat mengacaukan sejarah, tidak sengaja, karena Ia memiliki istri banyak, yang tidak lazim dalam budaya Sunda.

Sepanjang mulai digunakan istilah Prabu Siliwangi, maka Prabu Siliwangi yang paling terkenal adalah Jayadewata alias Pamanah Rasa alias Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi III) memiliki 150 atau 151 istri.

Jadi tidak mengherankan, jika Ia selalu menjadi buah bibir di dalam masyarakat Sunda.

Sementara, Prabu Raga Mulya alias Prabu Suryakancana (Prabu Siliwangi VIII) lah yang moksa. Ia adalah Raja terakhir hingga Kerajaan Pajajaran runtag (runtuh) pada tahun 1.579 Maeshi.

Sribaduga (Prabu Siliwangi III) atau Sri Baduga Maharaja Ratu Aji (Aji - Bukan Haji) ini adalah leluhur dari Prabu Suryakancana yang juga bergelar "Siliwangi" (Prabu Siliwangi VIII) dari jalur istrinya Nhay Kentring Manik Mayangsunda yang masih beragama Hindu.

Sosok Nhay Kentring Manik Mayangsunda yang masih menganut agama Hindu tercatat dalam Pantun Bogor, Kitab Suci Ageman Sunda Buhun.

Hal inilah yang membuat mengapa Putri Padmawati (Kentring Manik Mayang Sunda), lebih memilih tetap tinggal di Kadaton Surabima di Sindang Barang, tidak di Pakuan. Ditenggarai karena demi lebih untuk  memantapkan keyakinannya kepada Agarna Sunda (Jadi an sich sebenarnya bukan Agama Hindu - Tetapi Buhun / Agama Leluhur Orang Sunda)

Nenek moyang Putri Padmawati berasal dari "Nusa Bima" bukan dari Pajajaran (Partini Sardjono, 1991). Olehkarenanya, Ayahandanya, Prabu Panji Haliwungan (Susuk Tunggal) menamai Sura-nya adalah Sura Bima.

Putranya, Prabu Guru Gantangan dari catatan sejarah disebut Prabu Surawisesa (1.521 M - 1.533 M), lahir di Sindang Barang..

Keturunan dari Prabu Siliwangi III (1.482 M – 1.521 M), bertahta di Pakuan (sekarang menjadi Bogor) dari Permaisuri (Garwa Padmi) adalah sebagai berikut:
  • Surawisesa (1.521 M – 1.535 M), bertahta di Pakuan
  • Ratu Dewata (1.535 M – 1.543 M), bertahta di Pakuan
  • Ratu Sakti (1.543 M – 1,551 M), bertahta di Pakuan
  • Ratu Nilakendra (1.551 M - 1.567 M), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
  • Raga Mulya (1.567 M – 1579 M), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang
Raga Mulya (Prabu Siliwangi VIII) adalah raja terakhir Kerajaan Sunda yang dengan ibukota di Pakuan Pajajaran. Nama ini dalam naskah Wangsakerta disebut juga sebagai Prabu Suryakancana.

Dalam Carita Parahiyangan dikenal dengan nama Nusya Mulya, Prabu Suryakancana tidak berkedudukan di Pajajaran, tetapi di Pulasari, Pandeglang.

Oleh karenanya, Ia dikenal pula dengan sebutan Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari, yang mungkin berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari.

Jadi yang maksud bahwa Prabu SIliwangi Moksa adalah Siliwangi terakhir yakni Prabu SIliwangi VIII, yang disebut juga dengan nama  Prabu Suryakancana (Raga Mulya). Hal ini diketahui dari Pantun Bogor, bahwa Leluhurnya dari Ibunda permaisuri Nhay Kentring Manik Mayang Sunda yang beragama Hindu.

Prabu SIliwangi VIII dikisahkan bertapa di Kaduhejo Gunung Palasari Banten di lokasi yang diperkirakan pusat kerajaan Salakanagara Leluhurnya. Ia pun dikisahkan merad (Pergi / Moksa / Ngahiyang) di tempat ini.

Sebutan "Nu Siya Mulya" artinya Menurutmu Mulya,

Hal ini kemungkinan merupakan hinaan terhadap dirirnya akibat terkalahkan dalam perang. Seluruh Keturunan Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja dari Garwa Padmi Nhay Kentring Manik Mayang Sunda musnah (tumpur).

Dalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kertabhumi I/2 disebutkan,
"Pajajaran sirna ing ekadaśa śuklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Śakakala"

Artinya,
"Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka."
Tanggal tersebut bertepatan dengan 8 Mei 1.579 M.

Baca juga : Perjalanan Akhir Prabu Siliwangi VIII (1.567 M - 1.579 M)

Literasi Utama

Sumber : Dari berbagai sumber
Foto : Istimewa

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen