Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Mulainya Pencatatan Sejarah - 500 Tahun SM

Tanah Impian (Perpustakaan) - Pengakuan dari Bangsa Yunani, bahwa pencatatan Sejarah tentang masa lampau, dapat dikatakan berawal di Yunani pada sekitar  500 Tahun SM. Pada saat itu penulisan sejarah atau Historiografi, masih berbentuk "Perpaduan" antara Ilmu Kedokteran dengan Ilmu Hukum.

Sumber : http://sejarahsingkatind.wordpress.com/

Sementara kalau kita lihat, bahwa pada saat Berkembangnya Agama Budha, dimana sudah terdapat Kitab Agama Budha, yang sudah tersusun dengan baik.

Budha, sudah mencatat secara rinci sejarah pada tahun 563 SM, jadi hati-hati pula dengan klaim dari peneliti Asing.

Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahan Minahasa - Tahun 300 M

Prasasti Pinawetengan
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi, yang mencakup luas 27.515 km persegi, dan terdiri dari empat daerah, yaitu: Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa dan kepulauan Sangihe dan Talaud.

Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut. Terdapat berbagai tumbuhan seperti kelapa dan kebun-kebun cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Kuskus, Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).

Etimology Minahasa
Nama dari tanah Minahasa telah diubah beberapa kali: Batacina-Malesung-Minaesa dan akhirnya nama saat Minahasa yang artinya "menjadi satu kesatuan". Nama ini berasal dari perang melawan Kerajaan Bolaang Mangondow selatan. Namun, sumber lain menyebutkan bahwa nama asli Minahasa Malesung, yang berarti "padi berputar", kemudian diubah menjadi Se Mahasa, yang berarti "mereka yang menyatukan," dan akhirnya Minahasa, artinya [3] "menjadi satu kesatuan."

Huruf
Tulisan kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di antaranya berada di Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini masih sulit diterjemahkan.

Kerajaan dan Pemerintahan
Pemerintahan kerajaan di Sulawesi Utara berkembang menjadi kerajaan besar yang memiliki pengaruh luas ke luar Sulawesi atau ke Maluku. Pada 670, para pemimpin suku-suku yang berbeda, yang semua berbicara bahasa yang berbeda, bertemu dengan sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang akan membentuk satu unit dan tetap bersama dan akan melawan setiap musuh luar jika mereka diserang. Bagian anak Suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu yang membangun pemerintahan kerajaan dan terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa. Baca tulisan David DS Lumoindong mengenai Kerajaan di Sulawesi Utara.

Etimologi
Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano), Tonsawang, Ponosakan, Pasan, dan Bantik.

Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".

Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "Tonaas" di Watu Pinawetengan (Batu Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken, Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu dan Touluaan), anak suku Ponosakan (meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga), Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.

Asal Usul Orang Minahasa
Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. [6] orang Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya, keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.

Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.

Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena berbagai konflik di daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Orang-orang ini karena itu disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air). Danau ini adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.

Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay. Ini merupakan nenek moyang dari subethnic Pasam-Bangko (Ratahan Dan pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage. Ini adalah Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada 1670 dan menjadi walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mangondow- dan akhirnya ke tempat Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Bantik subethnic.

Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:

Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan), Ponosakan, Babontehu, Bantik.

Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.

Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa Bolaang Mangondow berperang melawan. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Mangondow Bolaang adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay).

Kependudukan
Kebanyakan penduduk Minahasa beragama Kristen, dan juga merupakan salah satu suku-bangsa yang paling dekat hubungannya dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Eropa terjadi saat pedagang Spanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata Minahasa berasal dari konfederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.

Taman Laut Bunaken
Di depan pantai kota Manado berada pulau Manado Tua dengan daerah selam yang sangat indah dimana pulau Bunaken jadi salah satu pulau yang terkenal di sekitar lingkungan ini.

Sejarah
Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut sekitar abad 1 (pertama) pemukiman leluhur terlebih dulu berdiam di sekitar pesisir Likupang, lalu berpindah ke pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan berpindah ke Nieutakan (daerah sekitar tompaso baru saat ini). Pada masa ini pemerintahan menggunakan sistem kerajaan. Seorang raja bertahta berdasarkan garis keturunan.

Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.

Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.

Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow (2x9) : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu (9x7) : Rakyat

Pembagian golongan berdasarkan keturunan darah. Ketika hadir pemimpin yang semakin lama pemerintahan semakin korup dan sewenang-wenang, maka terjadilah revolusi rakyat yang menggulingkan pemerintahan monarki.

Prasasti Pinawetengan
Batu Pinawetengan terletak di Kecamatan Tompaso Barat. Merupakan batu alam yang diatasnya ditulis dengan huruf hieroglif, yang sampai kini masih belum terpecahkan cara membacanya. Batu ini merupakan tempat diadakannya Musyawarah Perdamaian keturunan Toar dan menjadi tonggak Sejarah perubahan sistem pemerintahan pada keturunan Toar Lumimuut. Menurut Paulus Lumoindong Musyawarah ini terjadi sekitar tahun 300-400 Masehi. Menurut David DS Lumoindong, bahkan penulisan Prasasti ini sejajar atau bahkan lebih tua dari Prasasti Kutai tahun 450 M. Isi tulisan ini menurut Tuturan Sastra Maeres ini berisi Musyawarah Pembagian Wilayah, Deklarasi untuk tetap menjaga kesatuan.

Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintahan
Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama).

Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Menurut Paulus Lumoindong peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500 Masehi.

Hasil riset Dr. J.P.G. Riedel, bahwa hal tersebut terjadi sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa.

Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.

Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara Anak suku Toulour : menuju timur (atep) Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besarPada saat itu daratan minahasa belum dipadati penduduk, baru beberapa daerah yang dipadati penduduk, di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia, Kalawatan. Perkembangan anak suku seperti anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik.

Pengembangan Suku {Pemekaran}
Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toumpakewa berubah menjadi Tontemboan, Toumbulu', Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.

Walak dan Pakasa'an Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik zaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Prasasti Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 zaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.

Sistem Pemerintahan
Sistem Pemerintahan pada empat suku utama terdiri atas :Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak Teterusan : Panglima perang Potuasan : Penasehat

Dalam Sejarah Ratahan, Pasan, Ponosakan dari data buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang Benten (Bentenan) yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada zaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena [Kerajaan Ratahan] bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Spanyol
Minahasa juga pernah berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan berakhir tahun 1645. Perang ini dipicu oleh ketidakadilan Spanyol terhadap orang-orang Minahasa, terutama dalam hal perdagangan beras, sebagai komoditi utama waktu itu. Perang terbuka terjadi nanti pada tahun 1644-1646. Akhir dari perang itu adalah kekalahan total Spanyol, sehingga berhasil diusir oleh para waranei (ksatria-ksatria Minahasa.

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Kompeni Belanda dengan VOC
Di rentang tahun 1679 sampai 1809, adalah masa Kompeni Belanda dengan VOCnya. Di masa ini terjadinya ketegangan yang cukup panas antara hukum adat orang Minahasa dengan hukum Belanda. Perjumpaan antara orang-orang Belanda dengan Minahasa memang tidak terjadi secara baik, karena motivasi orang-orang Belanda sudah tentu ada menjajah. Sementara orang Minahasa tidak suka dijajah. Sejumlah perjanjianpun dibuat untuk berusaha menaklukan orang Minahasa. Tapi, perlawanan pun harus terjadi, puncaknya adalah Perang Tondano yang terjadi tahun 1808 sampai 1809.

Perang Tondano, yang berlangsung selama 11 bulan dan 4 hari itu, terjadi secara herois. Demi mempertahankan kedaulatan Tanah Minahasa, para waranei Minahasa rela mati. Pada tanggal l4 malam jelang tanggal 5 Agustus 1809, perang berkecemuk dengan sengitnya, dan berakhir dengan kakalahan orang Minahasa. Fakta sejarah ini, sekaligus membuktikan bahwa orang Minahasa adalah orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya demi kemerdekaan tanahnya, baca buku "Para Pahlawan Perang Minahasa Lawan Belanda" oleh David DS Lumoindong. Sekaligus juga mengkoreksi stigma banyak orang kepada orang-orang Minahasa, bahwa "orang-orang Minahasa penjilat Belanda". Stigma itu sudah tentu tidak benar, karena Perang Tondano, adalah Perang Minahasa melawan Belanda.

Pergerakan Mengusir Penjajahan lawan Jepang
Perjuangan Minahasa untuk merdeka sejak tahun 1808 terus berkobar dan mulai mengobarkan perang gerilya ke seluruh Indonesia. Para pejuang Minahasa masuk ke pasukan Belanda untuk mempelajari segala hal demi menyusun kekuatan besar yang akhirnya dapat memenangkan perang. Di era menjelang Kemerdekaan Indonesia, gerakan perjuangan orang Minahasa telah bergerak secara nasional dengan memanfaatkan segala fasilitas Belanda dan Jepang. Orang minahasa membangun Pasukan Kristen, Perkumpulan para cendekiawan, perkumpulan budaya. Minahasa berhasil mendapatkan kepercayaan Belanda, bahlan pemimpin-pemimpin pasukan belanda dipercayakan pada orang minahasa, seperti Pasukan KNIL. Jabatan yang dipegang orang Minahasa merupakan kekuatan besar yang bersatu dengan para pejuang dari daerah lainnya sehingga Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh besar yang sangat berjasa melahirkan bangsa Indonesian diantaranya Dr.G.S.J.Sam Ratulangi, A.Maramis, Kawilarang, Ventje Sumual,

Ada sebagian kecil orang Minahasa yang memakai marga Jepang karena beberapa orang Minahasa yang menikah dengan orang Jepang. Tanah Minahasa pada zaman purba disebut sebagai [Tanah Malesung] karena bentuknya seperti lesung atau tanah yang berlembah dan bergelombang. Slogan Minahasa: "Si Tou Tumou Tou" yang artinya manusia hidup untuk memanusiakan manusia yang lain, dengan slogan perjuangan "I Yayat U Santi" yang artinya maju untuk membangun negeri.

Pergerakan Mengusir Penjajahan Era Kemerdekaan
Perjuangan Minahasa untuk merdeka terus berkobar saat mempertahankan kemerdekaan. Perang 14 februari 1946.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Minahasa

Foto : Istimewa

#kembalikekearifanlokal
#sadarsejarahnusantara
#perpustakaantanahimpian

Bela Diri Nusantara Sudah Ada Sejak 15.000 tahun SM

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Sejak kapan beladiri Silat ada di Nusantara? Inilah pendapat Donald Frederick Draeger ( 15 April 1922 – 20 Oktober 1982), pakar seni beladiri Asia dan seorang marinir Amerika.

Ia dikenal sebagai pakar beladiri karena melakukan riset mendalam serta mempelajari langsung banyak cabang beladiri jepang, korea dan Cina. Ia juga sempat menjadi koreografer perkelahian dalam berbagai film laga aksi termasuk salah satunya adalah seri James Bond, “You Only Live Twice” (1967) yang dibintangi oleh Sean Connery.

Menurut Draeger, pada masa Palaeolitik (sekitar 15.000 tahun sebelum masehi), manusia primitif di Jawa yang dikenal dengan nama pithecantropus erectus sudah mengenal tehnik perkelahian atau beladiri sederhana, yakni dengan jurus tangan kosong atau dengan kembangan memakai senjata tongkat atau batu. Drager mengemukakan teori ini dengan mengajukan temuan Tengkorak Ngandong dan Wadjak yang ditemukan bersama peralatan batu sederhana seperti kapak batu. Batu yang ditajamkan salah satu sisinya dengan cara dipecahkan satu sama lain. Kapak batu genggam ini disebutnya sebagai senjata sederhana dalam perkelahian maupun sebagai peralatan untuk keperluan lainnya, seperti berburu ataupun mengolah makanan atau baju.Pada masa selanjut (Mesolitik dan Neolitik, 15.000 – 3.000 tahun sebelum masehi), manusia primitif di lansekap nusantara mulai mengalami kemajuan dengan memperhalus peralatan dan senjatanya. Draeger menduga, seni beladiripun sudah mengalami kemajuan dari segi jurus akibat diperhalusnya senjata kapak batu itu.

Di masa klasik Indonesia, menurut Draeger – yang juga menulis buku Javanes Silat Martial Art of Perisai Diri ini – bukti adanya seni bela diri bisa dilihat bukan saja dari berbagai artefak senjata yang ditemukan dari masa klasik (Hindu-Budha) melainkan juga pada pahatan relief-relief yang berisikan sikap-sikap kuda-kuda untuk silat di candi Prambanan dan Borobudur.
Dalam bukunya Draeger menuliskan bahwa pada saat bukunya disusun (medio 1970-an) senjata dan seni beladiri silat adalah tak terpisahkan dari orang Indonesia. Silat bisa dilihat kebutuhannya bukan hanya dari sekedar olah tubuh saja, melainkan juga pada hubungan spiritual yang terkait erat dengan kebudayaan Indonesia.

Sumber : 
Kampung Silat Jampang
Sumber : http://kejawenonline.blogspot.com/2010/03/silat-sudah-ada-sejak-15000-tahun-sm.html

16.000 SM dan seterusnya

Dalam pengerjaan

Tari Pendet - Tahun 1.950 M

"Berdasarkan beberapa catatan, para ahli seni pertunjukan Bali, sepakat untuk menyebutkan tahun 1950 sebagai tahun kelahiran tari Pendet," ungkap Gurubesar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Wayan Dibia.

Sumber : http://www.antaranews.com/berita/1250926895/pendet-tergolong-tarian-tertua-di-bali

Adakah Hubungan Kosa Kata di Bawah ini?

Ilustrasi Keterhubungan
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Mungkin kosa kata kosa kata tersebut tidak memiliki hubungan secara langsung, namun teman-teman memutuskan untuk dijadikan arsip. Sehingga jika satu saat ditemukan hubungan yang signifikan, kami sudah memiliki sedikit info.

Lima adalah ibu kota Peru - Budaya Inca ada di Peru
Kota ini memiliki penduduk sekitar 6,2 juta jiwa. Kurang lebih sepertiga hidup di perkampungan kumuh di bawah garis kemiskinan. Kota ini didirikan oleh Francisco Pizarro pada tanggal 18 Januari 1535.



Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Lima,_Peru

Sungai ‘Gila’ di Arizona, AS
Arizona, sebuah negara bagian yang terletak di daerah barat daya Amerika Serikat ini sangat terkenal dengan keindahan alamnya, diantaranya adalah gurun dan sungai. Uniknya, selain memiliki kota ‘Tempe’, Arizona pun juga memiliki sungai yang bernamakan Indonesia yakni Sungai ‘Gila’. Sungai ‘Gila’ ini merupakan anak sungai dari Sungai Colorado yang terletak diantara New Mexico dan Arizona. Sungai ini memiliki panjang sekitar 650 mil atau lebih dari 1000 kilometer.


Sumber : http://situsaja.blogspot.com/2012/03/7-hal-di-dunia-yang-namanya-berbau.html


Fransisco ‘Lima’, Brazil
Hal yang bernamakan Indonesia di dunia berikutnya adalah nama dari gelandang defensif dari AS Roma. Tak jauh berbeda dengan Karel ‘Pitak’, mantan pesepakbola asal brazil ini pun juga dianugrahi nama Indonesia. Ia adalah Fransisco ‘Lima’. Entah atas dasar apa ia dinamakan ‘lima’, tetapi yang pasti di masa kejayaannya, pria kelahiran 17 April 1971 ini ternyata juga bernomor punggung 5 (lima) sesuai dengan nama belakangnya. Entah kebetulan atau sengaja, yang jelas Fransisco ‘Lima’ adalah sosok pemain sepakbola yang memiliki kecepatan dan skill individu yang tidak diragukan lagi.


Sumber : http://situsaja.blogspot.com/2012/03/7-hal-di-dunia-yang-namanya-berbau.html


Foto : Istimewa

Hubungan antara Danau Tempe di Sulawesi dan Kota Tempe di Arizona

Tempe Town Lake Arizona
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Mungkin kedua tmpat ini tidak memiliki hubungan secara langsung, namun teman-teman komunitas memutuskan untuk dijadikan arsip. Sehingga jika satu saat ditemukan hubungan yang signifikan, kami sudah memiliki sedikit info.

Arizona di Amerika Serikat
Tempe adalah sebuah kota di Maricopa County, Arizona, Amerika Serikat, dengan populasi penduduk pada tahun 2008 sebanyak lebih dari 175.000. 


Kota yang terletak di bagian timur Lembah Phoenix Metropolitan Area ini, dibatasi oleh Phoenix dan Guadalupe di sebelah barat, Scottsdale di utara, Chandler di selatan, dan Mesa di sebelah timur. 

Dan Kota ‘Tempe’ ini merupakan lokasi kantor pusat dari perusahaan penerbangan Amerika US Airways Group serta memiliki kampus Arizona State tertua dan terbesar di Arizona.

Sumber: : http://situsaja.blogspot.com/2012/03/7-hal-di-dunia-yang-namanya-berbau.html

Sementara Danau Tempe di Sulawesi Selatan merupakan "Danau Purba", artinya kemungkinan nama Tempe, meskipun sama-sama danaunya merupakan duplikasi dari Danau Tempe Purba.

Foto : Istimewa

Kerajaan Selaparang

Kerajaan Selaparang muncul pada dua periode yakni pada abad ke-13 dan abad ke-16. Kerajaan Selaparang pertama adalah kerajaan Hindu dan kekuasaannya berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Kerajaan Selaparang kedua adalah kerajaan Islam.

Secara selintas, urutan berdirinya kerajaan-kerajaan di daerah ini bisa dirunut sebagai berikut, dengan catatan, ini bukan satu-satunya versi yang berkembang. Pada awalnya, kerajaan yang berdiri adalah Laeq. Diperkirakan, posisinya berada di kecamatan Sambalia, Lombok Timur. Dalam perkembangannya, kemudian terjadi migrasi, masyarakat Laeq berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru, yaitu Kerajaan Pamatan, di Aikmel, desa Sembalun sekarang. Lokasi desa ini berdekatan dengan Gunung Rinjani. Suatu ketika, Gunung Rinjani meletus, menghancurkan desa dan kerajaan yang berada di sekitarnya. Para penduduk menyebar menyelamatkan diri ke wilayah aman. Perpindahan tersebut menandai berakhirnya Kerajaan Pamatan.

Wilayah Kerajaan Selaparang
Setelah Pamatan berakhir, muncullah Kerajaan Suwung yang didirikan oleh Batara Indera. Lokasi kerajaan ini terletak di daerah Perigi saat ini. Setelah Kerajaan Suwung berakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok. Seiring perjalanan sejarah, Kerajaan Lombok kemudian mengalami kehancuran akibat serangan tentara Majapahit pada tahun 1357. M. Raden Maspahit, penguasa Kerajaan Lombok melarikan diri ke dalam hutan. Ketika tentara Majapahit kembali ke Jawa, Raden Maspahit keluar dari hutan dan mendirikan kerajaan baru dengan nama Batu Parang. Dalam perkembangannya, kerajaan ini kemudian lebih dikenal dengan nama Selaparang.
Menurut catatan sejarah masuknya ekspedisi Majapahit tahun 1343 M, di bawah pimpinan Mpu Nala. Ekspedisi Mpu Nala ini dikirim oleh Gajah Mada sebagai bagian dari usahanya untuk mempersatukan seluruh nusantara di bawah bendera Majapahit. Pada tahun 1352 M, Gajah Mada datang ke Lombok untuk melihat sendiri perkembangan daerah taklukannya. Ekspedisi Majapahit ini meninggalkan jejak Kerajaan Gelgel di Bali.
Di Lombok, berdiri empat kerajaan utama yang saling bersaudara, yaitu:
1. Kerajaan Bayan di barat
2. Kerajaan Selaparang di Timur
3. Kerajaan Langko di tengah
4. Kerajaan Pejanggik di selatan.
Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat beberapa kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong Samarkaton serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini takluk di bawah Majapahit. Ketika Majapahit runtuh, kerajaan dan desa-desa ini kemudian menjadi wilayah yang merdeka.
 
Di antara kerajaan dan desa-desa di atas, yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Pusat kerajaan ini terletak di Teluk Lombok yang strategis, sangat indah dengan sumber air tawar yang banyak. Posisi strategis dan banyaknya sumbe air menyebabkannya banyak dikunjungi pedagang dari berbagai negeri, seperti Palembang,Banten, Gresik, dan Sulawesi. Berkat perdagangan yang ramai, maka Kerajaan Lombok berkembang dengan cepat.
Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya menempatkan Kerajaan Selaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Berkaitan dengan Selaparang, kerajaan ini terbagi dalam dua periode: pertama, periode Hindu yang berlangsung dari abad ke-13 M, dan berakhir akibat ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357 M; dan kedua, periode Islam, berlangsung dari abad ke-16 M, dan berakhir pada abad ke-18 (1740 M), setelah ditaklukkan oleh pasukan gabungan Kerajaan Karang Asem, Bali dan Banjar Getas.
Raja Lombok

disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi) dan Dompu.

Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara. Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang.

Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan. Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini.

Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622. Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.


Para Prajurit Kerajaan Lombok

Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab. Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Danghiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam.
Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini. Kerajaan ini berakhir pada tahun 1740 setelah ditaklukkan oleh gabungan Kerajaan Karangasem dari Bali dan Arya Banjar Getas yang merupakan keluarga kerajaan yang berkhianat terhadap Selaparang karena permasalahan dengan raja Selaparang.

Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Kec. Pejanggik cukup jauh dari desa Labulia yang berada di Kecamatan JonggatAtas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.

Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Demikianlah, Kerajaan Selaparang muncul, berkembang kemudian runtuh. Walaupun demikian, sisa-sisa peradaban tulis yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa, kehidupan budaya di negeri ini cukup semarak dan berkembang.

Menelusuri Sisa Majapahit di Lombok

Cakranegara yang kini salah satu pusat perniagaan di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pernah bikin cerita penting bagi Indonesia. Ekspedisi militer Belanda menggempur habis-habisan puri atau istana di Cakranegara, mengakibatkan kediaman Raja Karangasem yang penguasa wilayah Lombok, luluh lantak.

Sehari sebelum Cakranegara jatuh dalam kekuasaan Belanda, menurut telusur pustaka, pada 19 November 1894, dilaporkan sebuah temuan naskah sastra, yang ditulis di lembaran daun lontar di antara puing-puing reruntuhan itu.

Cakep (ikatan) daun til atau lontar itu adalah naskah Nagarakretagama karya Mpu Prapanca, seorang pujangga Jawa abad ke-14 M. Sewindu kemudian, naskah berbahasa Jawa Kuno diterbitkan dalam huruf Bali dan Bahasa Belanda oleh Dr JLA Brandes (1902), namun hanya sebagian. Disusul upaya penerjemahan oleh Dr JHC Kern tahun 1905-1914, dilengkapi dengan komentar-komentarnya

Baru pada tahun 1919, Dr NJ Krom menerbitkan utuh isi lontar Nagarakretagama. Krom juga melengkapinya dengan catatan historis. Naskah Nagarakretagama ini akhirnya diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Prof Dr Slametmulyana dan disertai tafsir sejarahnya. Menyusul kemudian, Dr Th Pigeud yang menerjemahkan Nagarakretagama ke dalam Bahasa Inggris.

Seperti diketahui kemudian, Nagarakretagama pernah disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda dengan nomor koleksi 5023. Pemerintah Belanda mengembalikannya ke Pemerintah Indonesia di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Kini naskah itu menjadi koleksi unggulan Perpustakaan Nasional di Jakarta. Nagarakretagama, antara lain, berisi rekaman sejarah kejayaan Kerajaan Majapahit, perjalanan Hayam Wuruk, Raja Majapahit, serta kondisi sosial, politik, keagamaan, pemerintahan, kebudayaan, dan adat istiadat. Semua itu dikumpulkan dan digubah menjadi sebuah karya sastra oleh Mpu Prapanca, saat mengunjungi daerah-daerah kekuasaan kerajaan itu di Nusantara.

Lontar itu ada di Puri Cakranegara, Lombok, dibawa keluarga Kerajaan Kediri pada masa kekuasaan mereka di Karangasem, ujung timur Pulau Bali, sekitar akhir abad ke-17 M sampai pertengahan abad ke-18 M. Lombok sendiri merupakan wilayah kekuasaan Raja Karangasem, dan sebelumnya ada beberapa kerajaan berada di sana, seperti Kerajaan Selaparang dan Pejanggik.

Slametmulyana dalam bukunya Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (1979), menyebutkan sedikitnya sudah ditemukan empat naskah lain yang serupa, di beberapa geriya (kediaman pendeta Hindu) di Bali. Namun, naskah-naskah itu diduga merupakan turunan naskah Nagarakretagama, yang ditemukan di Puri Cakranegara, Lombok. Isi Nagarakretagama diterapkan di Lombok demi membangun sistem pemerintahan dan sekaligus pertahanan menyerupai kerajaan Majapahit

Ini juga ditujukan demi menjadikan Lombok sebagai benteng mempertahankan ajaran Hindu di Bali, menyusul masuk dan berkembangnya ajaran Islam di Jawa, yang ditandai dengan masuknya Raja Jenggala dan kerajaannya sebagai kerajaan Islam. Raja Kediri dan Raja Jenggala adalah bersaudara, kata Anak Agung Biarsah Huruju Amla Negantun, cucu Anak Agung Anglurah Gede Karang Asem, Raja Lombok terakhir. Perbedaan agama, yang dianut masing-masing raja itu, diakui, menjadi salah satu penyebab meletusnya perang saudara di antara dua kerajaan ini.

”Dari cerita yang pernah saya dengar dari orang-orang tua, naskah ini dibawa leluhur saya dari Kediri waktu ekspedisi ke Lombok. Di dalamnya dijelaskan teknik peperangan dan teknik mengatur pemerintahan. Nagarakretagama dibawa ke Lombok untuk mengatur wilayah Lombok, dengan konsep pusat pertahanannya di Cakranegara,” tutur Agung Biarsah

Sumber : http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com/2010/01/kerajaan-selaparang.html

Sejarah Kerajaan di Lombok

Merekonstruksi sejarah Kerajaan Selaparang menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeluruh agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan sumber-sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusurl sebagal bahan pengkajlan leblh ianjut.

Agak sulit membuat kompromi penafsiran untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi di atas. Minimnya sumber-sumber sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan.

Zaman Majapahit
Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kemudian diteruskan dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.

Ekspedisi ini, lanjut Djelenga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok, dalam perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di barat, Kerajaan Selaparang di Timur, Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong serta beberapa desa kecil, seperti Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh.

Di antara kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang sangat indah dan mempunyai sumber air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, Banten, Gresik, dan Sulawesi.

Masuknya Islam



Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.



“Susuhnii Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan Galeier, dan Putra Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena kaum perempuan tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan. Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari ke gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam, dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung.”



Proses pengislaman oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirkan, hingga beberapa tahun kemudia seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih memepertahankan adat istiadat lama.



Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.



Menurut Fathurrahman Zakaria, dari wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai hutan Lemor yang memiliki sumber air yang melimpah.



Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya.



Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam perkataan.



Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin).



Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi monemui kegagalan.



Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa singkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini.



Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara telah menimbulkan kegusaran Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan dengan cara menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. Dan untuk membendung misi kristenisasi menuju ke barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat dengan membangun Kerajaan Manggarai.



Ekspansi Gowa ini menyebabkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan pada posisi dilematis, mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel. Maka tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing pada tahun 1624, yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang, yang dianggap halaman belakang Gelgel.



Akan tetapi terjadi perubahan sikap sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh Dalem Pemayun Anom. Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin kerjasama dengan Mataram di Jawa dalam rangka menghadapi Belanda. Sebaliknya Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk kembali ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran Selaparang dari Trah Pejanggik bernama Mas Pemayan dengan gelar Pemban Mas Aji Komala, diangkat sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili Gowa, berkedudukan di bagian bara pulau Sumbawa.



Akhirnya perang antara Gowa dengan Belanda tidak terelakkan. Gowa melakukan perlawanan keras terutama dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Sejarah mencatat Gow harus menerima perjanjian Bungaya pada tahun 1667. Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak disekitar pusat kerajaan Gelgel di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda. Konon Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke pusat pemerintahan Selaparang pada tahun 1668-1669, tetapi ekspedisi tersebut gagal.



Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622.



Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.



Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab. Dalam kecamuk peperangandan upaya mengahadapi masalah kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan, yaitu patih kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Pejanggik yang berada di Kecamatan Jonggat



Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik.

Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.

Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Barat

Sumber : http://www.sasak.org/2010/01/01/sejarah-kerajaan-di-lombok/

Zaman Pra Sejarah - 1.998.100 Tahun SM

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di beberapa tapak di Jawa menunjukkan kemungkinan kontinuitas populasi mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50.000 tahun yang lalu (Ngandong). Rentang waktu yang panjang menunjukkan perubahan fitur yang berakibat pada dua subspesies berbeda (H. erectus paleojavanicus yang lebih tua daripada H. erectus soloensis). Swisher (1996) mengajukan tesis bahwa hingga 50.000 tahun yang lalu mereka telah hidup sezaman dengan manusia modern H. sapiens.

Migrasi H. sapiens (manusia modern) masuk ke wilayah Nusantara diperkirakan terjadi pada rentang waktu antara 70 000 dan 60 000 tahun yang lalu. Masyarakat berfenotipe Austrolomelanesoid, yang kelak menjadi moyang beberapa suku pribumi di Semenanjung Malaya (Semang), Filipina (Negrito), Aborigin Australia, Papua, dan Melanesia, memasuki kawasan Paparan Sunda. Mereka kemudian bergerak ke timur. Gua Niah di Sarawak memiliki sisa kerangka tertua yang mewakili masyarakat ini (berumur sekitar 60 sampai 50 ribu tahun). Sisa-sisa tengkorak ditemukan pula di gua-gua daerah karst di Jawa (Pegunungan Sewu). Mereka adalah pendukung kultur Paleolitikum yang belum mengenal budidaya tanaman atau beternak dan hidup meramu (hunt and gathering).

Penemuan seri kerangka makhluk mirip manusia di Liang Bua, Pulau Flores, membuka kemungkinan adanya spesies hominid ketiga, yang saat ini dikenal sebagai H. floresiensis.

Selanjutnya kira-kira 2500 tahun sebelum Masehi, terjadi migrasi oleh penutur bahasa Austronesia dari Taiwan ke Filipina, kemudian ke selatan dan Indonesia, dan ke timur ke Pasifik. Mereka adalah nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara.

Orang Austronesia ini paham cara bertani, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara

Foto : Istimewa

Kumari Kandam - Sumatera

Terlihat Kumari Kandam yang menyambung dengan Pulau Sumatera
Lampung (PerpustakaanTanahImpian) - Sementara teori Kumari Kandam sebelumnya, bersambungan atau terhubung dengan Benua Australia atau berada di sebelah kiri dari Nusantara

Foto : Istimewa

Austronesia - 2.500 SM

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Kira-kira 2.500 tahun Sebelum Masehi, terjadi migrasi oleh Penutur Bahasa Austronesia dari Taiwan ke Filipina, kemudian ke selatan, dan Indonesia (Pulang Kampung), dan ke timur ke Pasifik. Mereka adalah nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara.

Orang Austronesia ini paham Cara Bertani (Bercocok Tanam), Ilmu Pelayaran bahkan Astronomi. Mereka juga sudah memiliki Sistem Tata Pemerintahan sederhana, serta memiliki pemimpin (Raja Kecil). Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan kepada mereka Sistem Tata Pemerintahan yang lebih maju (Kerajaan).

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara


Penyebarannya
Rumpun bahasa Austronesia adalah sebuah rumpun bahasa yang Sangat Luas Penyebarannya di Dunia. Dari Taiwan dan Hawaii di ujung utara sampai Selandia Baru (Aotearoa) di ujung selatan dan dari Madagaskar di ujung barat sampai Pulau Paskah (Rapanui) di ujung timur.

Istilah Austronesia
Austronesia mengacu pada wilayah geografis yang penduduknya menuturkan bahasa-bahasa Austronesia. Wilayah tersebut mencakup Pulau Formosa, Kepulauan Nusantara (termasuk Filipina), Mikronesia, Melanesia, Polinesia, dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti "Kepulauan Selatan" dan berasal dari bahasa Latin austrālis yang berarti "selatan" dan bahasa Yunani nêsos (jamak: nesia) yang berarti "pulau".

Jika bahasa Jawa di Suriname dimasukkan, maka cakupan geografi juga mencakup daerah tersebut. Studi juga menunjukkan adanya masyarakat penutur bahasa Melayu di pesisir Sri Langka[

Asal usul bangsa Austronesia
Untuk mendapat ide akan tanah air dari bangsa Austronesia, cendekiawan menyelidiki bukti dari arkeologi dan ilmu genetika. Penelaahan dari ilmu genetika memberikan hasil yang bertentangan. Beberapa peneliti menemukan bukti bahwa tanah air bangsa Austronesia purba berada pada benua Asia. (seperti Melton dkk., 1998), sedangkan yang lainnya mengikuti penelitian linguistik yang menyatakan bangsa Austronesia pada awalnya bermukim di Taiwan. Dari sudut pandang ilmu sejarah bahasa, bangsa Austronesia berasal dari Taiwan karena pada pulau ini dapat ditemukan pembagian terdalam bahasa-bahasa Austronesia dari rumpun bahasa Formosa asli. Bahasa-bahasa Formosa membentuk sembilan dari sepuluh cabang pada rumpun bahasa Austronesia [3]. Comrie (2001:28) menemukan hal ini ketika ia menulis:


“     ... Bahasa-bahasa Formosa lebih beragam satu dengan yang lainnya dibandingkan seluruh bahasa-bahasa Austronesia digabung menjadi satu sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa terjadi perpecahan genetik dalam rumpun bahasa Austronesia di antara bahasa-bahasa Taiwan dan sisanya. Memang genetik bahasa di Taiwan sangatlah beragam sehingga mungkin saja bahasa-bahasa itu terdiri dari beberapa cabang utama dari rumpun bahasa Austronesia secara kesuluruhan.     ”

Setidaknya sejak Sapir (1968), ahli bahasa telah menerima bahwa kronologi dari penyebaran sebuah keluarga bahasa dapat ditelusuri dari area dengan keberagaman bahasa yang besar ke area dengan keberagaman bahasa yang kecil. Walau beberapa cendekiawan menduga bahwa jumlah dari cabang-cabang di antara bahasa-bahasa Taiwan mungkin lebih sedikit dari perkiraan Blust sebesar 9 (seperti Li 2006), hanya ada sedikit perdebatan di antara para ahli bahasa dengan analisis dari keberagaman dan kesimpulan yang ditarik tentang asal dan arah dari migrasi rumpun bahasa Austronesia.

Bukti dari ilmu arkeologi menyarankan bahwa bangsa Austronesia bermukim di Taiwan sekitar delapan ribu tahun yang lalu [4]. Dari pulau ini para pelaut bermigrasi ke Filipina, Indonesia, kemudian ke Madagaskar dekat benua Afrika dan ke seluruh Samudra Pasifik, mungkin dalam beberapa tahap, ke seluruh bagian yang sekarang diliputi oleh bahasa-bahasa Austronesia [5]. Bukti dari ilmu sejarah bahasa menyarankan bahwa migrasi ini bermula sekitar enam ribu tahun yang lalu [6]. Namun, bukti dari ilmu sejarah bahasa tidak dapat menjembatani celah antara dua periode ini.

Pandangan bahwa bukti dari ilmu bahasa menghubungkan bahasa Austronesia purba dengan bahasa-bahasa Tiongkok-Tibet seperti yang diajukan oleh Sagart (2002), adalah pandangan minoritas seperti yang dinyatakan oleh Fox (2004:8):


“     Disiratkan dalam diskusi tentang pengelompokan bahasa-bahasa Austronesia adalah permufakatan bahwa tanah air bangsa Austronesia berada di Taiwan. Daerah asal ini mungkin juga meliputi kepulauan Penghu di antara Taiwan dan Cina dan bahkan mungkin juga daerah-daerah pesisir di Cina daratan, terutama apabila leluhur bangsa Austronesia dipandang sebagai populasi dari komunitas dialek yang tinggal pada permukiman pesisir yang terpencar.     ”


Analisis kebahasaan dari bahasa Austronesia purba berhenti pada pesisir barat Taiwan. Bahasa-bahasa Austronesia yang pernah dituturkan di daratan Cina tidak bertahan. Satu-satunya pengecualian, bahasa Chamic, adalah migrasi yang baru terjadi setelah penyebaran bangsa Austronesia

Penggolongan
Agak sulit untuk mendefinisikan struktur kekeluargaan dari bahasa-bahasa Austronesia karena rumpun bahasa Austronesia terdiri dari bahasa-bahasa yang sangat mirip dan berhubungan erat dengan kesinambungan dialek yang besar sehingga sukar untuk mengenali batasan di antara cabang. Bahkan pada pembagian terbaik yang ada sekarang banyak grup di Filipina dan Indonesia dikelompokan dari letak geografisnya alih-alih dari keterkaitannya antara satu dengan yang lainnya. Namun adalah jelas bahwa keberagaman genealogis terbesar ditemukan pada bahasa-bahasa Taiwan dan keberagaman terkecil ditemukan pada kepulauan Pasifik sehingga mendukung teori penyebaran dari Taiwan atau Tiongkok.

Penggolongan bahasa-bahasa Austronesia berikut diajukan oleh Blust. Penggolongan yang diajukannya bukanlah yang pertama dan bahkan ia juga mencantumkan paling sedikit tujuh belas penggolongan lainnya dan mendiskusikan fitur-fitur dan rincian dari pengelompokan tersebut. Beberapa ahli bahasa Formosa mempertentangkan rincian dari penggolongan itu namun penggolongan ini dalam garis besar tetap menjadi titik referensi untuk analisis ilmu bahasa saat ini. Dapat dilihat bahwa sembilan cabang utama dari bahasa Austronesia kesemuanya adalah bahasa-bahasa Formosa.

Austronesia    


  • Atayalik (Atayal, Seedik) [nama lain untuk Seediq:Truku, Taroko, Sediq]
  • Formosa Timur
  • Utara (Basai-Trobiawan, Kavalan)
  • Tengah (Amis, Nataoran, Sakizaya)
  • Barat Daya (Siraya)
  • Puyuma
  • Paiwan
  • Rukai
  • Tsouik (Tsou, Saaroa, Kanakanabu)
  • Bunun
  • Dataran Rendah Barat
  • Dataran Tengah-Barat (Taokas-Babuza, Papora-Hoanya)
  • Thao
  • Formosa Barat Laut (Saisiyat, Kulon-Pazeh)
  • Malayo-Polinesia (Lihat di bawah)
Penggolongan bahasa cabang Melayu-Polinesia
Berikut adalah klasifikasi bahasa cabang Melayu-Polinesia yang disederhanakan oleh Wouk & Ross (2002)

Bahasa Melayu-Polinesia


  • Bahasa Kalimantan-Filipina atau bahasa Malayo-Polinesia Barat Luar (Hesperonia Luar): terdiri dari banyak bahasa seperti Dayak Ngaju, Gorontalo, bahasa Bajau, bahasa-bahasa Minahasa, Tagalog, Cebuano, Hiligaynon, Ilokano, Kapampangan, Malagasi, dan Tausug
  • Bahasa Malayo-Polinesia Inti (Kemungkinan menyebar dari Pulau Sulawesi)
  • Bahasa Sunda-Sulawesi atau bahasa Malayo-Polinesia Barat Dalam (Hesperonia Dalam), contoh: Indonesia Barat, Bugis, Aceh, Cham (di Vietnam dan Kamboja), Melayu, Indonesia, Iban, Sunda, Jawa, Bali, Chamoru, dan Palau
  • Bahasa Malayo-Polinesia Tengah-Timur
  • Bahasa Malayo-Polinesia Tengah atau bahasa Bandanesia: sekitar Laut Banda yaitu bahasa-bahasa di Pulau Timor, Sumba, Flores, dan juga di Maluku
  • Bahasa Malayo-Polinesia Timur atau disebut juga bahasa Melanesia Halmahera Selatan-Papua Barat-Laut: beberapa bahasa di pulau Halmahera dan sebelah barat pulau Irian, contohnya bahasa Taba dan bahasa Biak
  • Bahasa Oseanik: Termasuk semua bahasa-bahasa Austronesia di Melanesia dari Jayapura ke timur, Polinesia dan sebagian besar Mikronesia

Salah satu cabang terbesar adalah cabang Sundik yang menurunkan bahasa-bahasa Austronesia dengan jumlah penutur terbesar yaitu: Bahasa Jawa, Bahasa Melayu (dan Bahasa Indonesia), Bahasa Sunda, Bahasa Madura, Bahasa Aceh, Bahasa Batak dan Bahasa Bali.

Kekerabatan dengan rumpun bahasa yang lain. Hubungan-hubungan genealogis antara rumpun bahasa Austronesia dan keluarga bahasa yang lainnya di Asia Tenggara telah diajukan dan umumnya disebut Filum Bahasa Austrik. Pada hipotesis filum Austrik dinyatakan bahwa semua bahasa di Tiongkok bagian selatan sebenarnya berkerabat yaitu rumpun bahasa Austronesia, bahasa Austro-Asia, bahasa Tai-Kadai dan bahasa Hmong-Mien (juga disebut Miao-Yao).

Secara skematis rumpun bahasa Austrik secara hipotetis adalah sebagai berikut:

Austrik    


  • Austronesia
  • Tai-Kadai
  • Hmong-Mien
  • Austro-Asiatik
Para penutur keempat rumpun bahasa yang diduga berkerabat ini bermukim di daerah yang sekarang termasuk Tiongkok bagian selatan sampai kurang lebih pada antara tahun 2000 SM – 1000 SM. Kala itu suku bangsa Han, yang merupakan penutur bahasa Sino-Tibet, dari Tiongkok utara menyerbu ke selatan dan para penutur bahasa Austrik tercerai-berai. Hal ini yang diduga sebagai alasan mengapa kaum Austronesia lalu bermigrasi ke Taiwan dan ke kepulauan Asia Tenggara dan Samudra Pasifik lainnya.

Beberapa hipotesis filum Austrik juga mengajukan akan perubahan dari akar kata dwisuku kata di mana bahasa Austronesia menyimpan kedua suku kata sedangkan bahasa Austro-Asiatik menyimpan suku kata pertama dan bahasa Tai-Kadai menyimpan suku kata kedua. Sebagai contoh:


Austronesia purba
*mata ‘mata
Austro-Asiatik purba
*măt ‘mata'’
Tai-Kadai purba
*taa ‘mata

Namun, satu-satunya proposal dari yang mematuhi metode perbandingan adalah hipotesis "Austro-Tai" yang menghubungkan rumpun bahasa Austronesia dengan rumpun bahasa Tai-Kadai. Roger Blench (2004:12) mengetakan tentang Austro-Tai bahwa:

“     Ostapirat mengasumsikan sebuah model sederhana dari sebuah perpecahan dengan para Daik [Tai-Kadai] sebagai orang-orang Austronesia yang menetap di daerah asalnya. Namun hal ini nampaknya tidak mungkin karena Daik nampak seperti percabangan dari bahasa Filipina Purba dan tidak mempunyai kerumitan seperti yang dimiliki oleh bahasa-bahasa Formosa. Mungkin dapat lebih baik dipandang bahwa penutur Daik Purba bermigrasi kembali dari Filipina utara ke daerah di pulau Hainan. Hal ini dapat menjelaskan perbedaan dari Hlai, Be, dan Daik sebagai hasil dari penstrukturan ulang secara radikal karena kontak dengan penutur bahasa-bahasa Miao-Yao dan Sinitik.     ”

Atau dengan kata lain, pengelompokan dibawah Tai-Kadai akan menjadi cabang dari bahasa Kalimantan-Filipina. Namun, tidak ada dari proposal tersebut yang mendapat sambutan luas dari komunitas ilmu bahasa.


Contoh perbandingan kosakata dalam rumpun bahasa pada masing-masing wilayah

mati
pati
mati

mate

mattē

matay
patay
mate

mate

māte

make


Klasifikasi bahasa Jepang
Telah diajukan juga hipotesis bahwa bahasa Jepang mungkin adalah saudara jauh dari rumpun bahasa Austronesia. [Ada yang mengelompokkan bahasa ini dalam rumpun bahasa Austronesia berdasarkan beberapa kata-kata dan fonologi bahasa Jepang. Namun yang lain berpendapat bahwa bahasa Jepang termasuk rumpun bahasa Altai dan terutama mirip dengan cabang bahasa Mongol. Bahasa Korea kemungkinan besar termasuk rumpun bahasa yang sama pula. Bahasa Korea mirip dengan bahasa Jepang namun sejauh ini belum ada yang menghubungkannya dengan rumpun bahasa Austronesia. Namun perlu diberi catatan pula bahwa rumpun bahasa Altai masih dipertentangkan pula.

Sebagai contoh adalah beberapa kata dari bahasa Jepang yang diduga berasal dari rumpun bahasa Austronesia:

  • hi yang berarti api dan berasal dari *PAN (Proto-Austronesia): *Xapuy
  • ke yang berarti kayu
Beberapa kata dari bahasa Sikka - Maumere (Flores) yang diduga berasal dari rumpun bahasa Austronesia:
  • ai yang berarti kayu
  • api yang berarti api
Hipotesis akan hubungn bahasa Jepang sebagai saudara dari bahasa-bahasa Austronesia ditolak oleh hampir seluruh pakar ilmu bahasa karena hanya ada sedikit bukti akan hubungan antara bahasa Jepang dan rumpun bahasa Austronesia dan kebanyakan ahli bahasa berpikir bahwa kesamaan yang sedikit ini adalah hasil dari pengaruh bahasa-bahasa Austronesia pada bahasa Jepang, mungkin melalui substratum. Mereka yang mengajukan skenario ini menyarankan bahwa rumpun bahasa Austronesia dulunya pernah meliputi pulau-pulau di utara dan selatan dari Taiwan. Lebih lanjut, tidak ada bukti genetis untuk hubungan yang dekat antara penutur bahasa-bahasa Austronesia dan bahasa-bahasa Japonik, sehingga apabila ada interaksi pra-sejarah antara penutur bahasa Austronesia purba dengan bahasa Japonik purba lebih mungkin interaksi itu adalah sebuah pertukaran budaya yang sederhana alih-alih percampuran etnis yang signifikan. Analisis genetis menunjukan secara konsisten bahwa orang-orang Ryukyu di antara Taiwan dan pulau-pulau utama Jepang lebih mirip dengan orang Jepang daripada orang asli Taiwan. Hal ini menyarankan bahwa apabila ada interaksi antara bangsa Austronesia purba dan bangsa Japonik purba, interaksi ini kemungkinan terjadi di benua Asia timur sebelum pengenalan bahasa-bahasa Austronesia ke Taiwan (atau setidaknya sebelum kepunahan hipotetis bahasa-bahasa Austronesia dari daratan Tiongkok), dan bahasa-bahasa Japonik ke Jepang.

Perbendaharaan kata
Rumpun bahasa Austronesia didefinisikan menggunakan metode perbandingan bahasa untuk menemukan kata-kata yang seasal, yaitu kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna dan dapat ditunjukan berasal dari kata yang sama dari bahasa Austronesia purba menurut sebuah aturan yang regular. Beberapa kata seasal sangatlah stabil, sebagai contoh kata untuk mata pada banyak bahasa-bahasa Austronesia adalah "mata" juga mulai dari bahasa paling utara di Taiwan sampai bahasa paling selatan di Aotearoa.


Di bawah disajikan sebagai contoh untuk menunjukkan kekerabatan, kata-kata bilangan dari satu sampai sepuluh dalam beberapa bahasa Austronesia. Catatan: /e/ harus dibaca sebagai taling (misalkan dalam kata “keras”) dan /é/ sebagai pepet (misalkan dalam kata “lémpar”). Jika ada kesalahan, para pembaca dipersilakan memperbaikinya.
Bahasa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Proto-Austronesia
*esa/isa
*duSa
*telu
*Sepat
* lima
*enem
*pitu
*walu
*Siwa
*sa-puluq
Paiwan
ita
dusa
celu
sepac
lima
unem
picu
alu
siva
ta-puluq
Tagalog
isá
dalawá
tatló
ápat
limá
ánim
pitó
waló
siyám
sampû
Ma'anyan
Isa'
rueh
telo
epat
dime
enem
pitu
Balu'
suei
sapuluh
Bugis
seddi
dua
téllu
eppa
lima
enneng
pitu
aruwa
asera
seppulo
Malagasy
iráy
róa
télo
éfatra
dímy
énina
fíto
válo
sívy
fólo
Aceh
sa
duwa
lhee
peuet
limöng
nam
tujôh
lapan
sikureueng
plôh
Toba Batak
sada
dua
tolu
opat
lima
onom
pitu
walu
sia
sampulu(baca: /m/ hilang, menjadi /sappulu/
Bali
sa
dua
telu
papat
lima
enem
pitu
kutus
sia
dasa
Sasak
esa
due
telu
empat
lime
enem
pitu’
balu’
siwa’
sepulu
Jawa Kuna
sa
rwa
telu
pat
lima
nem
pitu
wwalu
sanga
sapuluh
Jawa Baru
siji
loro
telu
papat
lima
nem
pitu
wolu
sanga
sepuluh
Sunda
hiji
dua
tilu
opat
lima
genep
tujuh
dalapan
salapan
sapuluh
Madura
settong
dhua
tello'
empa'
léma'
ennem
pétto'
ballu'
sanga'
sapolo
Melayu
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
Minangkabau
ciék
duo
tigo
ampék
limo
anam
tujuah
salapan
sambilan
sapuluah
Rapanui
tahi
rua
toru
ha
rima
ono
hitu
va'u
iva
'ahuru
Hawaii
`ekahi
`elua
`ekolu
`eha:
`elima
`eono
`ehiku
`ewalu
`eiwa
`umi
Sinama
issah
duah
talluh
mpat
limah
nnom
pitu'
walu'
siam
sangpu
Gayo
sara
roa
tulu
opat
lime
onom
pitu
waloh
siwah
sepuluh
Sikka-Maumere
ha
rua
telu
hutu
lima
ena
pitu
walu
hiwa
puluh
Toraja
misa
da'dua
tallu
a'pa'
lima
annan
pitu
karua
kasera
sangpulo
Dawan-Timor
mese'
nua
teoun
ha
nim
ne'
hiut
fa'un
sea
bo'es
Rote-Oenale
esa
rua
telu
ha
lima
ne
hitu
falu
sio
sanhulu
Kaili(Rai)- Sulteng
saongu
randua
tatolu
ampa
alima
aono
papitu
uvalu
sasio
sampulu
Sabu- NTT
ahi
due
telu
epa
lemi
ena
pidu
aru
heo
hemuru
Kei- Maluku
sa
ru
tel
vak
lim
nen
fit
waw
siw
vut
Basis Data Perbendaharan Kata Bahasa-Bahasa Austronesia (pranala diberikan dibawah artikel) mencatat kata-kata (dikodekan menurut keseasalan) untuk sekitar 500 bahasa Austronesia.

Di bawah disajikan sebagai contoh untuk menunjukkan kekerabatan, kata-kata bilangan dari satu sampai sepuluh dalam beberapa bahasa Austronesia. Catatan: /e/ harus dibaca sebagai taling (misalkan dalam kata “keras”) dan /é/ sebagai pepet (misalkan dalam kata “lémpar”). Jika ada kesalahan, para pembaca dipersilakan memperbaikinya.

Tipologi dan struktur
Sukar untuk menarik sebuah generalisasi yang berarti tentang bahasa-bahasa yang menyusun rumpun yang seberagam rumpun bahasa Austronesia. Pada garis besarnya, bahasa-bahasa Austronesia dapat dibagi menjadi tiga kelompok bahasa: tipe Filipina, tipe Indonesia, dan tipe pasca-Indonesia [8]. Kelompok yang pertama diwatakkan dengan urutan kata kata kerja-pertama dan pengubahan suara gramatik ala bahasa Filipina, fenomena yang seringkali dirujuk sebagai pemfokusan. Literatur yang berhubungan mulai menjauhi penggunaan istilah ini karena banyak ahli bahasa merasa bahwa fenomena pada bahasa bertipe ini lebih baik disebut sebagai suara gramatik.

Bahasa-bahasa Austronesia umumnya menggunakan pengulangan kata.

Fonologi bahasa-bahasa Austronesia tergolong sederhana dengan aturan pembentukan suku kata yang sangat terbatas dan jumlah fonem yang sedikit. Banyak dari bahasa-bahasa Austronesia tidak memperbolehkan sukukata dan gugusan konsonan. Beberapa bahasa memang memiliki gugusan-gugusan konsonan namun ini merupakan pengaruh dari bahasa-bahasa lain, terutama dari bahasa Sanskerta, dan bahasa Indo-Eropa lainnya.

Beberapa bahasa bahkan meminjam fonem dari bahasa lain seperti retrofleks dalam bahasa Jawa dan fonem berhembus dalam bahasa Madura yang diduga diserap dari bahasa Sanskerta. Namun banyak para pakar yang menentang bahwa fonem-fonem ini dipinjam dari bahasa Sanskerta. Mereka berpendapat bahwa fonem-fonem ini merupakan perkembangan sendiri saja.

Jumlah penutur
Secara total jumlah penutur bahasa Austronesia sekitar 300 juta jiwa. Berikut adalah bahasa-bahasa Austronesia diurutkan dari bahasa dengan penutur terbanyak.

Jumlah penutur bahasa-bahasa Austronesia
Bahasa
Jumlah Penutur

Sebagai Bahasa Ibu
Sebagai Bahasa Resmi
Bahasa Jawa
76.000.000

Bahasa Sunda
20.000.000

Bahasa Melayu
19.000.000*

Bahasa Indonesia
25.000.000*
220.000.000
Bahasa Tagalog
24.000.000
70.000.000
Bahasa Cebu
15.000.000
30.000.000
Bahasa Malagasy
17.000.000

Bahasa Batak
14.000.000

Bahasa Madura
14.000.000

Bahasa Ilokano
8.000.000
10.000.000
Bahasa Minangkabau
7.000.000

Bahasa Hiligaynon
7.000.000
11.000.000
Bahasa Bikol
4.600.000

Bahasa Banjar
4.500.000

Bahasa Bali
4.000.000

Bahasa Bugis
4.000.000

Bahasa Tetum
800.000

Bahasa Samoa
370.000

Bahasa Fiji
350.000
550.000
Bahasa Tahiti
120.000

Bahasa Tonga
108.000

Bahasa Māori
100.000

Bahasa Kiribati
100.000

Bahasa Chamorro
60.000

Bahasa M̧ajeļ
44.000

Bahasa Nauru
6.000

Bahasa Hawai'i
1.000
8.000
* Statistik untuk kedua bahasa diperdebatkan.

Status resmi
Bahasa Austronesia terpenting ditilik dari status resminya ialah bahasa Melayu, yang menjadi bahasa resmi di Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), Malaysia, dan Brunei. Bahasa Indonesia juga berstatus bahasa kerja di Timor Leste m. Bahasa Filipina (Filipino), yang merupakan bentuk baku dari bahasa Tagalog, adalah bahasa resmi Filipina. Di Timor Leste, bahasa Tetum, yang juga termasuk sebuah bahasa Austronesia, menjadi bahasa resmi di samping bahasa Portugis. Di Madagaskar, bahasa Malagasi adalah bahasa resmi. Di Aotearoa (Selandia Baru), bahasa Maori juga memiliki status bahasa resmi di samping bahasa Inggris.
  • ^ a b von Humboldt, Wilhelm (2010). Über Die Kawi-Sprache Auf Der Insel Jav: Bd. Über Die Kawi-Sprache. Über Den Malayischen Sprachstamm. Beilage Zur Einleitung Des Ersten Bandes. Nabu Press. hlm. 604. ISBN 1-143-43662-8 ISBN 978-1-143-43662-8.
  • ^ Vajracharya S. [http://www.wako.ac.jp/souken/touzai_b04/tzb0407.html Malay Minority of Sri Lanka: Defending Their Identity]
  • ^ Blust, R. (1999). "Subgrouping, circularity and extinction: some issues in Austronesian comparative linguistics" in E. Zeitoun & P.J.K Li (Ed.) 'Selected papers from the Eighth International Conference on Austronesian Linguistics' (pp. 31-94). Taipei: Academia Sinica.
  • ^ Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian archipelago, Honolulu, University of Hawai'i Press, 1997
  • ^ Diamond, Jared M (2000). Taiwan's gift to the world. (PDF). Nature 403:709-710.
  • ^ Blust, R. (1999). "Subgrouping, circularity and extinction: some issues in Austronesian comparative linguistics" in E. Zeitoun & P.J.K Li (Ed.) 'Selected papers from the Eighth International Conference on Austronesian Linguistics' (pp. 31-94). Taipei: Academia Sinica.
  • ^ Thurgood, Graham (1999). From Ancient Cham to Modern Dialects. Two Thousand Years of Language Contact and Change. Oceanic Linguistics Special Publications No. 28. Honolulu: University of Hawai'i Press.
  • ^ Ross, John (2002). "Final words: research themes in the history and typology of western Austronesian languages" in Wouk, Fay & Malcolm Ross (Eds.) The history and typology of Western Austronesian voice systems (pp. 451-474). Canberra: Pacific Linguistics
Catatan kaki    

  • ^ a b von Humboldt, Wilhelm (2010). Über Die Kawi-Sprache Auf Der Insel Jav: Bd. Über Die Kawi-Sprache. Über Den Malayischen Sprachstamm. Beilage Zur Einleitung Des Ersten Bandes. Nabu Press. hlm. 604. ISBN 1-143-43662-8 ISBN 978-1-143-43662-8.
  • ^ Vajracharya S. [http://www.wako.ac.jp/souken/touzai_b04/tzb0407.html Malay Minority of Sri Lanka: Defending Their Identity]
  • ^ Blust, R. (1999). "Subgrouping, circularity and extinction: some issues in Austronesian comparative linguistics" in E. Zeitoun & P.J.K Li (Ed.) 'Selected papers from the Eighth International Conference on Austronesian Linguistics' (pp. 31-94). Taipei: Academia Sinica.
  • ^ Peter Bellwood, Prehistory of the Indo-Malaysian archipelago, Honolulu, University of Hawai'i Press, 1997
  • ^ Diamond, Jared M (2000). Taiwan's gift to the world. (PDF). Nature 403:709-710.
  • ^ Blust, R. (1999). "Subgrouping, circularity and extinction: some issues in Austronesian comparative linguistics" in E. Zeitoun & P.J.K Li (Ed.) 'Selected papers from the Eighth International Conference on Austronesian Linguistics' (pp. 31-94). Taipei: Academia Sinica.
  • ^ Thurgood, Graham (1999). From Ancient Cham to Modern Dialects. Two Thousand Years of Language Contact and Change. Oceanic Linguistics Special Publications No. 28. Honolulu: University of Hawai'i Press.
  • ^ Ross, John (2002). "Final words: research themes in the history and typology of western Austronesian languages" in Wouk, Fay & Malcolm Ross (Eds.) The history and typology of Western Austronesian voice systems (pp. 451-474). Canberra: Pacific Linguistics
Daftar pustaka    

  • Bellwood, Peter, 1979, Man’s Conquest of the Pacific. The Prehistory of Southeast Asia and Oceania, New York: Oxford University Press.
  • Bellwood, Peter, 1985, Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago, Orlando, Florida: Academic Press.
  • Bellwood, Peter, 1987, The Polynesians: Prehistory of an Island People, New York: Oxford University Press.
  • P. Benedict, 1975, Austro-Thai Language and Culture. With a Glossary of Roots, New Haven: HRAF Press.
  • O.C. Dahl, 1951, Malgache et Maanjan., Oslo: Egede Instituttet.
  • Dempwolff, Otto, 1956, Perbendaharaan Kata-kata dalam Berbagai Bahasa Polinesia, Terjemahan Sjaukat Djajadiningrat. Jakarta: Pustaka Rakyat.
  • Diamond, Jared, 1997, Guns, Germs and Steel, W.W. Norton & Company.
  • Isidore Dyen, 1956, “Language Distribution and Migration Theory”, di Language, 32: 611-626.
  • Fox, James J., 1995, Austronesian societies and their transformations, Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University.
  • Kern, Hendrik, 1956, Pertukaran Bunyi dalam Bahasa-bahasa Melayu-Polinesia, Terjemahan Sjaukat Djajadiningrat. Jakarta: Pustaka Rakyat.
  • Hendrik Kern, 1957, Berbagai-bagai Keterangan berdasarkan Ilmu Bahasa dipakai untuk Menetapkan Negeri Asal Bahasa-Bahasa Melayu-Polinesia, Terjemahan Sjaukat Djajadiningrat. Jakarta: Pustaka Rakyat.
  • Wolff, John U., "Comparative Austronesian Dictionary. An Introduction to Austronesian Studies", Language, vol. 73, no. 1, pp. 145-56, Mar 1997, ISSN-0097-8507
Pranala luar    

  • (Inggris) Ethnologue : "Austronesian"
  • (Inggris) Basis Data Perbendaharaan Kata Bahasa-Bahasa Austronesia
  • (Inggris) Summer Institute of Linguistics site showing languages (Austronesian and Papuan) of Papua New Guinea.
  • (Inggris) Austronesian Language Resources (tak berfungsi? dipindahkan?) (@ archive.org)
  • (Inggris) Spreadsheet of 1600+ Austronesian and Papuan number names and systems - ongoing study to determine their relationships and distribution
    http://www.trussel2.com/ACD/acd-lo_a.htm
    http://language.psy.auckland.ac.nz/austronesian/research.php
    http://www.gbarto.com/languages/austronesian.html
    http://linguistics.byu.edu/classes/ling450ch/reports/austronesian.html

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Austronesia

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen