Judul Asli : Peradaban Lewotanah Lamaholot dalam Trinitas Kepemimpinan Purba Indonesia Timur dan Atlantis yang Hilang
Adalah seorang F.A.E. van Wouden yang melukiskan Trinitas Kepemimpinan Purba di Indonesia Bagian Timur, melalui data tertulis berdasarkan catatan-catatan Kolonial Belanda saat itu. Walaupun data, laporan-laporan itu berfokus untuk kepentingan pelanggengan kolonialisme di bumi Indonesia, namun sangat penting untuk konteks kekinian. Karena secara tidak langsung melalui kajian data dimaksud, tersirat telah ikut menjelaskan simbolisme Salib Atlantis yang menjadi penunjuk Ibu Kandung Peradaban Dunia. Kajian itu tertemukan dalam Disertasi yang dipertahankan di Universitas Leiden Negeri Belanda, dalam judul: Structuurtypen in de Groote Oost (1935), diindonesiakan: KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur (1985).
Salib Atlantis, Lewotanah: Dualisme Kosmos dan Dualisme Sosial
Dalam kajian F.A.E. van Wouden mengistilahkan Dualisme Kosmos untuk Langit dan Bumi, sedangkan Dualisme Fungsi Sosial untuk peran Laki-laki (Langit) dan peran Perempuan (Bumi). Dualisme peran ini saling memotong, yakni vertikal dan horinsontal menurut Van Wouden, yang oleh Arysio Santos menyebut dengan Salib Atlantis. Simbol Salib Atlantis sebagai keyakinan purba tertemukan dalam kajian “ATLANTIS The Lost Continent Finally Found”, The Devinitive Localization of Plato’s Lost Civilization (2005), diIndonesiakan menambah subjudul: INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA (2009) hal.126-128, 162-278. Hasil elaborasi dari gagasan Filosof besar Plato tentang Tata Peradaban Sipil yang sudah sangat maju (Atlantis yang hilang).
Sampai kekinian Simbol Salib Atalantis itu terpraktekan dalam Peradaban Lamaholot di Nusa Tenggara Timur dengan sebutan LewoTanah. Tentang LEWOTANAH sebagai Peradaban Lamaholot (Kepulauan Solor: Adonara, Solor, Lembata) di Nusa Tenggara Timur, replika Salib Atlantis itu, sesungguhnya Peradaban/keyakinan Dataran Tengah=POROS (NTT, NTB, MALUKU, SULAWESI). Terpahami dalam Peta Purba Indonesia, yang menempatkan wilayah-wilayah ini dalam satu DATARAN TENGAH (POROS). Sedangkan Dataran Sunda (JAWA, BALI, KALIMANTAN, SUMATRA yang menyatu dengan Benua ASIA) itu BARAT. Berikut Dataran Sahul (Kepulauan Aru, Papua/Irian menyatu dengan Benua AUSTRALIA) itu TIMUR (Garis Wallace-Weber). Bandingkan dengan Peta buatan Dr. Harold K. Voris, Kurator dan Kepala Departemen Zoologi pada Field Museum, Chicago, Illinois, termuat dalam Arysio Santos hal. 104 dan 150.
Melalui data tertulis yang dijadikan kajian itu, van Wouden terkesima dengan Ciri-ciri Utama Sistem Sosio-Kekerabatan (hal. 82-92), yang terbentuk dari filosofi Dualisme Kosmos dalam praktek Kepemimpinan Purba dengan Dualisme Fungsi Sosial yang mewujud menjadi Trinitas Kepemimpinan Purba (hal.25-81). Terkesima karena Trinitas Kepemimpinan (dalam Peradaban Lamaholot dikenal: KEPUHUNEN=POROS, TARAN NEKI=PILAR TIMUR, TARAN WANAN=PILAR BARAT) itu ternyata menyebar dalam daerah yang luas, satu sama lain saling berhubungan. Terbentang dari Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan Pulau Flores sampai ke Kepulaun Kai dan Tanimbar, serta juga mencakup Pulau Seram dan Pulau Ambon.
Prinsip pendasaran Dualisme Kosmos dan Dualisme Sosial
Seperti diungkap T.O Ihromi (peletak dasar/pelopor Ilmu Atropologi Hukum di Indonesia) dalam memberikan Kata Pengantar terjemahan karya ini, bahwa suatu hal mendasar dan sangat penting dalam pengkajian ini adalah pengungkapan prinsip-prinsip yang mendasari penggolongan-penggolongan atau klasifikasi dari satuan-satuan sosial yang terdapat di dalam suatu masyarakat setempat. Mengungkapkan dasar-dasar kategori sosial yang komprehensif dalam arti yang mendasari pengaturan masyarakat manusia maupun kosmos atau alam semesta. Seperti ciri-ciri cara penghitungan garis keturunan menurut garis ibu (matrilineal) bersama-sama dengan cara menarik garis keturunan melalui garis ayah (patrilineal).
Bagi van Wouden secara etnografis, wilayah kajian ini bersifat homogen, karena adanya sejumlah ciri bersama seperti kehadiran sistem klen, walaupun kadang-kadang sudah mulai mengabur, dan suatu adat perkawinan di antara dua saudara sepupu silang atau cross-cousin. Adat perkawinan sepupu yang eksklusif itu menjadi sangat penting dalam hubungan dengan semua hubungan sosial. Diibaratkan dengan suatu sumbu dan kegiatan sosial lainnya berkisar sekitar satu sumbu itu.
Dengan demikian adat perkawinan cross-cousin, yaitu antara seorang anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya, menjadi model pembinaan hubungan-hubungan sosial seperti adanya trinitas pada struktur sosial masyarakat purba. Kesimpulan van Wouden, bahwa kedua konsepsi yang saling menyilang itu tampaknya lebur menjadi satu dualisme; kelompok langit yang berjenis laki-laki yang lebih muda tetapi lebih mempunyai kemampuan dihadapkan kelompok bumi yang berjenis wanita yang lebih tua dan jauh lebih kuat (hal. 82-159).
Kajian van Wouden perkawinan cross-cousin sebagai sebuah bentuk pekawinan yang eksklusif, karena perkawinan hanya dapat terjadi (bentuk yang dianjurkan, kadang-kadang diwajibkan) di antara satu jenis sepupu silang. Tercermati adat perkawinan di antara dua sepupu silang (cross-coussin) di era sekarang menjadi sebuah kehati-hatian, bahkan telah dilarang karena sangat mempengaruhi faktor intelegensia keturunan (anak), sehingga hampir tidak ditemukan lagi. Namun untuk tetap menjaga model hubungan sosial kekerabatan, tidak terputusnya tali hubungan kekeluargaan yang telah diwariskan secara turun temurun, juga membina adanya tiga pejabat (tritunggal) pada struktur sosial adat warisan purba, senantiasa terjadi perkawinan cross-cousin lintas generasi.
Trinitas Kepemimpinan Purba di Indonesia Bagian Timur
Pembagiaan keseluruhan Liurai di Belu (Timor) secara mistis dalam Waihale-Waiwiku, adalah pembedaan kelompok Timur dan Barat yang menempatkan Liurai sebagai Poros yang puncak mempunyai kekuasaan spiritual yang tertinggi kepada Meromak O’an . Begitupun di Timor Tengah ada pembagiaan keseluruhan Sonnebait yang mistis mengenal Fettor (Timur) dan Fukun (Barat)(hal. 105- 106).
Nusak unsur yang paling menonjol dalam struktur sosial purba di Pulau Rote, membagi paruhan mane dengan paruhan feto dalam pandangan dualistis rangkap (sepasang), yakni masing-masing dengan manedope dengan dae-langgak , termanifestasikan dalam tritunggal. Dae-langgak ditautkan dengan Bumi, konon kalau mane berbicara , seperti guntur menggelegar, Langit. Pertentangan mane dan feto berkaitan dengan pengelompokan dalam leo, sedangkan pertentangan manedope dan dae-langak berlaku di dalam leo (hal. 124-127).
Di Pulau Sabu dikenal pembagiaan antara do’ai dan weto di Seba berkaitan dengan tatanan dualistis dari salah satu genealogi, berkaitan dengan pandangan Dualistis Ganda yang sudah dikenal. Do’ai adalah yang tua dan weto yang lebih muda yang seperti halnya di Timu memegang kekuasaan yang sebenarnya, ini sesuai benar yang terdapat di tempat lain (hal. 128).
Wilayah Pulau Sumba bagian Timur pembagian atas empat yang mula-mula ada merupakan salah satu ciri pengenal utama dari sistem sosial. Keempat ratu dari setiap suku dipandang dari sudut sosial merupakan pejabat yang paling utama. Hubungan antara Raja dan Ratu dengan gamblang disifatkan sebagai hubungan antara Langit dan Bumi. Kedudukan Raja dijunjung tinggi dan dikeramatkan, serta merupakan perwujudan kekuatan keagamaan dari masyarakat setempat (hal 129).
Di Lamboya dan di Anakala wilayah Sumba Barat pembagian tugas kait-mengait dengan pembagiaan atas dua dalam kawasan. Di Napu, Ratu dari anamatiuwa (abang) ditautkan dengan yang bersifat kelangitan. Ratu dari ana ma’ari (adik laki-laki) ditautkan dengan yang bersifat kebumian. Pertama-tama menguasai kekuatan kelangitan yang menentukan berhasil tidaknya panen (hal. 129).
Kesejajaran trias politica yang ada di Pulau Tanimbar dengan yang ada di Pulau Timor mencolok. Seperti mangsombe sebagai tokoh yang sentral berhadapan dengan mangaf wajak dan pnuwe nduan. Di satu pihak dwitunggal pnuwe nduan dan mangaf wajak di pihak lain mangsombe dan mangatanuk, berposisi tempat duduk masing-masing di sisi kiri dan sisi kanan natar yang dianggap sebagai kapal (hal. 131-132).
Kepulauan Kai yang menjadi utama pertentangan antara dua saudara laki-laki dan dua saudara perempuan. Tonngiil merupakan tokoh sentral di antara Parpara dan Hian yang kegiatannya bertentangan. Dengan demikian termasuk kegiatan kedua kelompok yang dualistis itu, akibat tritunggal yang bertindak sendiri. Kenyataan kasus dalam kelompok kelangitan menunjukan kepriaan yang unggul, dan juga kasus mengenai kelompok kebumian menampilkan aspek wanita yang unggul (hal. 138).
Sebagian besar masyarakat di Pulau Seram terdapat tiga (3) lingkungan sosial yang penting. Perrtama hena atau amani dari Manusela. Dalam kelompok sosial ini suatu sistem kehidupan masyarakat yang serba lengkap dapat berkembang. Dikenal pula dengan sebutan Suku menggambarkan pengelompokan secara genealogis. Kedua Soa merupakan penempatan beberapa hena atau amane, dikenal di sebelah barat dengan nuru, sama dengan lohoki di Manusela (hal. 141).
Ketiga Dati, merupakan pengelompokan sosial yang terlepas dari soa. Terjadinya Soa konon sama dengan terjadinya desa di Kai, distrik di Timor yaitu penggabungan sejumlah kelompok kekerabatan secara kebetulan yang berlainan asal-usul . Ada kalanya sejumlah dati berasal dari moyang yang sama diwakili dalam berbagai hena yang dahulu membentuk sebuah komunitas. Dari sini jelas bahwa pengelompokan dalam soa disilangi oleh pengelompokan dalam dati (hal. 142-143).
Perbedaan mencolok dua macam pejabat, di satu pihak bupati dan kepala soa sebagai penguasa hena, di pihak lain tuan tanah dan kepala dati mempunyai otoritas di bidang tradisi khususnya tanah. Semula di Ambon tidak ada perkebunan Soa, fungsi Kapitan rupanya berurusan dengan pengaturan soa. Barangkali latu dan kapitan raja termasuk soa yang berlainan. Agak tersembunyi di belakang pembedaan pejabat soa dan pejabat dati ternyata terdapat juga tritunggal yang penting terdiri dari bupati, tuan tanah, kapitan raja (hal. 143-144).
Konteks Atlantis Yang Hilang
Dalam konteks Atlantis yang Hilang sebagai sebuah tata peradaban sipil yang sangat maju menurut Plato filosof kesohor Bangsa Yunani, dielaborasi oleh Geolog dan Fisikawan Nuklir asal Brasil Arysio Santos dengan Salib Atlantis. Tentu menempatkan kajian van Wouden dalam relevansi logisnya yang mengemukakan konsep Dualisme Komsos dan konsep Dualisme Sosial sebagai konsep Kelangitan (Laki-laki)yang vertikal saling memotong dengan Konsep Kebumian (Perempuan) yang horisontal, membentuk Salib.
Diakui sendiri oleh van Wouden bahwa hasil kajian dokumen (laporan) yang dilakukannya tidak mengungkap secara rinci semua tautan dari sistem klasifikasi tentang Dualisme Kosmos (Langit dan Bumi) dan Dualisme Sosial (Laki-laki dan Perempuan). Apalagi hasil kajian sejak tahun 1935, berlangsung 76 tahun lalu, namun yang pasti bahwa substansi Dualisme Konsep itu secara nyata, empirik masih ada, terasakan dan menjadi keyakinan setiap komunitas adat (wilayah) yang telah dikaji. Bahkan dipraktekan secara baik oleh Suku Bangsa Lamaholot (Flores Timur Daratan dan Kepulauan Solor: Adonara, Solor, Lembata) dengan sebutan Lewotanah.
Dengan demikian seperti diharapkan van Wouden 76 tahun yang lalu, bahwa diperlukan penelitian lebih lanjut di tempat (penelitian lapangan, empirik), untuk mengungkapkan lebih nyata banyak hal, antara lain sejumlah kebiasaan dan struktur sosial asli yang terus bertahan dan senantiasa menjadi alam berpikir dan cara pengorganisasian masyarakat. Sekaligus menjadi penandasan pembuktian (Arysio Santos, hal.306-311) bahwa Atalantis Yang Hilang dengan Salib Atlantis sebagai Peradaban Bangsa Atlantis, merupakan Ibu Kandung Peradaban Dunia, sesungguhnya adalah wilayah Bangsa Indonesia sekarang, ufuk Timur Terjauh Dunia, belahan Paling Selatan Garis Khatulistiwa arah Tenggara.***
Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, 21 Maret 2011.
Sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/26/peradaban-lewotanah-lamaholot-dalam-trinitas-kepemimpinan-purba-indonesia-timur-dan-atlantis-yang-hilang-480118.html
Foto : Istimewa
Foto : Istimewa