Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - “HONOCOROKO”, memiliki makna yang bernilai tinggi, mengingatkan kita semua untuk selalu membangun dan memelihara komunikasi. Nama Honocoroko sendiri diambil dari baris pertama dalam deretan Aksara Jawa, yang lengkapnya adalah sebagai berikut :
HO NO CO RO KO
DO TO SO WO LO
PO DHO JO YO NYO
MO GO BO THO NGO
HO NO CO RO KO
DO TO SO WO LO
PO DHO JO YO NYO
MO GO BO THO NGO
Dua puluh Aksara Jawa yang tersusun dalam empat baris tersebut, dalam sejarahnya memiliki muatan cerita :
Ono Caroko = Ada utusan (Abdi Setia)
Doto Sawolo = Saling berseteru
Podho Joyonyo = Sama-sama sakti
Mogo Bothongo= Keduanya menjadi mayat
Ono Caroko = Ada utusan (Abdi Setia)
Doto Sawolo = Saling berseteru
Podho Joyonyo = Sama-sama sakti
Mogo Bothongo= Keduanya menjadi mayat
Dalam cerita, adalah seorang Satria namanya Ajisaka yang tinggal di sebuah pulau terpencil bersama dua orang abdi setianya, yaitu Dora dan Sembodo. Pada suatu hari Ajisaka bertekad untuk memperbaiki hidupnya dengan hijrah pergi ke ibukota kerajaan. Dora diajak ikut, sedangkan Sembodo tetap ditinggal di pulau dengan dititipi sebuah keris. Ajisaka berpesan agar keris tersebut dijaga dan disimpan, jangan sampai diberikan kepada orang lain. Sebagai abdi yang setia, maka pesan itupun diterima dan disanggupinya dengan tekad akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Kemudian setelah sekian lama, berbagai liku-liku perjalanan hidup dilaluinya, Ajisaka sukses menjadi Raja. Ketika itu, Ajisaka memerasa perlu untuk mengambil kerisnya, maka diutuslah Dora untuk menemui Sembodo guna meminta kembali keris yang dititipkan. Apa yang terjadi kemudian, sungguh diluar dugaan, kedua abdi yang setia, thaat dan sangat hormat itu merasa berada pada posisi yang berseberangan. Masing-masing abdi tidak ingin melanggar dan mengabaikan pesan Ajisaka. Sulitnya, kondisi pada saat itu tidak memungkinkan untuk berkomunikasi kembali sehingga masing-masing tetap berpegang teguh pada pesan awal yang diterimanya. Ketika Dora datang menyampaikan pesan Ajisaka yang mengutusnya untuk mengambil keris, maka Sembodo tidak mau menyerahkan keris tersebut. Sikap ini adalah sesuai dengan pesan yang diterima sebelumnya. Kedua Abdi setia itupun saling bersikukuh melaksanakan pesan Ajisaka, yang satu tidak mau memberikan keris yang dititipkan Ajisaka kepadanya, sementara itu yang satu lagi bertekat tidak akan kembali kepada Ajisaka yang kini menjadi Raja sebelum keris dibawa serta.
Pertengkaranpun terjadi tak terhindarkan lagi. Kedua abdi saling memperebutkan keris dengan mengeluarkan tenaga, kemampuan dan kesaktian yang dimilikinya untuk merebut dan membela diri. Kekuatan keduanya berimbang, tidak ada yang mau mengalah dan akhirnya keduanyapun jadi korban, tewas menjadi bangkai tertusuk keris. Adapun pelajaran berharga dari cerita yang penuh makna itu adalah betapa penting dan perlunya membangun serta memelihara komunikasi antar berbagai pihak sejak dini secara rutin maupun berkala, terus-menerus dan tidak terhenti. Lebih-lebih pada era modern seperti sekarang ini, ketika alat komonikasi sudah semakin canggih dan hampir tak terhalangi, sungguh amat sayang jika masih ada pihak yang belum paham, tentang Sejarah dan Pesan Leluhur nya sendiri.
Sumber : http://pastipanji.wordpress.com/2010/02/02/kandungan-honocoroko/
Kemudian setelah sekian lama, berbagai liku-liku perjalanan hidup dilaluinya, Ajisaka sukses menjadi Raja. Ketika itu, Ajisaka memerasa perlu untuk mengambil kerisnya, maka diutuslah Dora untuk menemui Sembodo guna meminta kembali keris yang dititipkan. Apa yang terjadi kemudian, sungguh diluar dugaan, kedua abdi yang setia, thaat dan sangat hormat itu merasa berada pada posisi yang berseberangan. Masing-masing abdi tidak ingin melanggar dan mengabaikan pesan Ajisaka. Sulitnya, kondisi pada saat itu tidak memungkinkan untuk berkomunikasi kembali sehingga masing-masing tetap berpegang teguh pada pesan awal yang diterimanya. Ketika Dora datang menyampaikan pesan Ajisaka yang mengutusnya untuk mengambil keris, maka Sembodo tidak mau menyerahkan keris tersebut. Sikap ini adalah sesuai dengan pesan yang diterima sebelumnya. Kedua Abdi setia itupun saling bersikukuh melaksanakan pesan Ajisaka, yang satu tidak mau memberikan keris yang dititipkan Ajisaka kepadanya, sementara itu yang satu lagi bertekat tidak akan kembali kepada Ajisaka yang kini menjadi Raja sebelum keris dibawa serta.
Pertengkaranpun terjadi tak terhindarkan lagi. Kedua abdi saling memperebutkan keris dengan mengeluarkan tenaga, kemampuan dan kesaktian yang dimilikinya untuk merebut dan membela diri. Kekuatan keduanya berimbang, tidak ada yang mau mengalah dan akhirnya keduanyapun jadi korban, tewas menjadi bangkai tertusuk keris. Adapun pelajaran berharga dari cerita yang penuh makna itu adalah betapa penting dan perlunya membangun serta memelihara komunikasi antar berbagai pihak sejak dini secara rutin maupun berkala, terus-menerus dan tidak terhenti. Lebih-lebih pada era modern seperti sekarang ini, ketika alat komonikasi sudah semakin canggih dan hampir tak terhalangi, sungguh amat sayang jika masih ada pihak yang belum paham, tentang Sejarah dan Pesan Leluhur nya sendiri.
Sumber : http://pastipanji.wordpress.com/2010/02/02/kandungan-honocoroko/
Foto : Istimewa