Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Perjalanan Hidup Mangkunegaran I (1.725 M - 1.795 M)


Surakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Mengingat jasa-jasa kepahlawanan dari Mangkunegara I, pada tahun 1.983 M Pemerintah menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputra.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (nama lahir Raden Mas Said) yang lahir pada 7 April 1.725 M di Kecamatan Kartasura, dan mangkat pada 23 Desember 1.795 M di Surakarta, memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu, selama 40 tahun.

Ayah RM Mas Said, yakni K.P.A. Mangkunegara, yang menjadi putra tertua Sunan Amangkurat IV (Pakubuwana I), penguasa Kesunanan Mataram-Kartasura. 



Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunagara I, adalah tokoh legendaris,, dikarenakan ia adalah salah satu pemimpin militer paling berbakat dan berpengalaman sepanjang sejarah Jawa.

Mas Said merupakan tokoh Jawa terkemuka pada abad ke-18, pendiri Pura Mangkunagaran di Surakarta pada 1.757 M. Pada saat adanya perang saudara yang penuh konflik dan sangat berdarah, memperlihatkan keberaniannya.

Mangkunagara berpihak pada pemberontak sejak 1.740 M (saat usia 14 tahun) dan terus berjuang hingga tahun 1.757 M (usia 31 tahun). Musuhnya adalaha Susuhunan Pakubuwana II (berkuasa 1.726 M - 1.749 M) dan Kompeni Belanda (VOC).

Dalam pertempuran melawan Belanda dia menerapkan sistem perang gerilya melalui pengamatan di Gunung Gambar. Kesaktian sang Pangeran ini, diyakini bisa menghilang, memporak-porandakan lawan tanpa perlu balatentara, dan persenjataan modern pada saatnya. 

Pangeran Mnagkunegaran I dimakamkan di kompleks makam yang terletak di Astana Mangadeg dengan ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Persisnya di salah satu puncak perbukitan di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Persis di depan kantor pengelolaAstana Mangadeg, terdapat tugu, Monumen Tri Dharma.

Di tempat monumen itu berada, diyakini bahwa sang Pangeran pernah bersemedi di sela waktu 16 tahun perjuangannya melawan Belanda, sang pangeran bersemedi di tengah kesunyian bukit dan hutan.

Saat semedi itulah, ia merumuskan sebuah falsafah yang dikenal dengan Tri Dharma, yakni: 
  • Rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki)
  • Wajib melu hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan)
  • Mulat sarira hangrasa wani (berani bermawas diri).
Falsafah Tri Dharma ini, disosialisasikan untuk memotivasi rakyat mencintai dan loyal terhadap kerajaannya. 

RM Said kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran I.

Hingga kini masih banyak warga yang berziarah ke sarean Mangkunegaran I, yang beberapa di antaranya menggelar tirakat  (lek-lekan - tidak tidur) di dekat sarean, atau lebih tepatnya  di salah satu bangunan di bawah kompleks Astana Mangadeg. Hal ini dikarenakan sarean utama Mangkunegaran I dan keluarga Mangkunegoro ditutup pada pukul 24 malam.

Orang Jawa yang Hakiki
Mangkunegaran I adalah sosok yang kuat dengan prilaku Leluhur, yang dapat dilihat dari berbagai aspek yang berkembang di dalam masyarakt Jawa sebenarnya, dimana nilai-nilai tersebut terletak antara mistik, tradisi, rohani, dan budaya Jawa itu sendiri.

Ia tidak mengenal takut. Sejak usia muda, ia sudah akrab dengan konflik.

Ketika dewasa, ia harus melawan tiga musuh dalam waktu yang bersamaan sekaligus: VOC (Belanda), Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta.

Sepak-terjangnya susah dihentikan, dan bahkan mengakibatkan kemenangan pasukan yang dipimpinnya dari pihak lawan. Dari situlah ia dijuluki Pangeran Sambernyawa, karena di beberapa pertempuran, meskipun jumlah pasukannya lebih sedikit dari pihak lawan, tetapi ia dan pasukannya tetap memenangkan pertempuran tersebut..

Istana Mangkunagaran
Pura / Istana Mangkunegaran (Hanacaraka: ꦦꦸꦫ​ꦩꦁꦑꦸꦟꦼꦓꦫꦟ꧀) merupakan istana resmi Kadipaten Praja Mangkunegaran, dan juga sebagai tempat kediaman para penguasanya (Sampéyan Ingkang Jumeneng).

Istana yang berada di Surakarta ini, mulai dibangun pada tahun 1.757 M oleh Mangkunegara I dengan arsitektur model keraton. Dimana kompleks bangunan memiliki bagian-bagian yang menyerupai keraton, seperti memiliki pamédan, pendapa, pringgitan, dalem, dan keputrèn.

Seluruh kompleks dikelilingi oleh tembok, hanya bagian pamédan yang diberi pagar besi.

Pura yang baru dibangun setelah Perjanjian Salatiga ini, sebagai langkah mengawali pendirian Praja Mangkunegaran, yang ditandatangani oleh kelompok Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), Sunan Pakubuwana III, dan VOC pada tahun 1.757 M. Raden Mas Said, diangkat menjadi "Pangeran Adipati" bergelar Mangkunegara I.

Perjanjian Salatiga
Sulitnya menangkap Mangkunegaran I, membuat Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Pakubuwono III bernegosiasi dengan Mangkunegaran I ke meja perdamaian. Aakhirnya, Sunan-pun mengirimkan utusan, untuk menemui Mangkunegara, yang juga saudara sepupunya. Pucuk dicinta ulam tiba, akhirnya Mangkunegara bersedia untuk berunding dengan Sunan, tetapi dengan syarat, dengan tanpa melibatkan VOC.

Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 gulden untuk prajurit Mangkunegara. Dengan hasil, bahwa perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III tersebut, diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1.757 M.

Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepada RM Said agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo.

Untuk menetapkan wilayah kekuasaan RM Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Pakubuwono III, disaksikan oleh utusan Sultan Hamengku Buwono I, dan VOC ini, disepakati bahwa RM Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri.

Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegaran I (gelar RM Said), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai peminjam kekuasaan dari Kompeni, melainkan ia menyadari bahwa dirinya sebagai "raja kecil", bahkan tindakannya pun memperlihatkan bahwa "ia adalah raja Jawa Tengah yang ke-3", sehingga Kompeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.

RM Said memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya ia  mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1.683 (Jawa), atau 1.756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.

Pasukan Wanita
Mangkunegaran I adalah Raja Jawa pertama yang melibatkan wanita di dalam angkatan perangnya. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.

Sebanyak 144 prajurit Laskar Mangkunegara adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan ringan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda).

Mangkunegara mengajari wanita-wanita desa, untuk mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.

Prajurit wanita tersebut sudah turut dalam pertempuran, saat RM Said memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. 

Sumber : Dari beberapa sumber
Foto : Istimewa

#KembaliKeKearifanLokal
#SadarSejarahNusantara
#PerpustakaanTanahImpian

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen