Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Perjalanan Akhir Prabu Brawijaya V - (1.413 M - 1.478 M)


Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Bagi para keturunan, semoga artikel ini mengingatkan keberadaan kita semua untuk tetap memiliki komitmen. Dan kini saatnya kita bangkit kembali untuk mengulangi kejayaan eyang-eyang kita.

Bacalah artikel di bawah ini, tidak hanya dengan pikiran, tetapi juga dengan hati, maka kita akan mengerti apa pesannya, dan apa yang harus kita lakukan sekarang ini, menghadapi para penghianat bangsa yang berkedok agama.

Raja Brawijaya V adalah Raja Majapahit XII yang merupakan keturunan dari Raja Rajasawardhana, yang bergelar Raja Brawijaya II.


Sejak raja Majapahit VIII (Raja Kertawijaya), gelar Brawijaya mulai digunakan. 

Penyandangan gelar tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi politik, untuk memperkuat kedudukan Kertawijaya sebagai keturunan langsung dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. 

Dimana secara epistemologi asal kata "bra" berarti raja, dan "wijaya" yang berarti keturunan Raden Wijaya.

Sebelum membaca "Perjalanan akhir Brawijaya V", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara

Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
  • Pertama, mereka mengaburkan, menyesesatkan, dan mengacaukan Sejarah Nusantara
  • Kedua, mereka memutuskan pengetahuan mengenai Leluhur Kita
  • Ketiga, mereka mengarang  Sejarah Baru
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Pindahnya Keraton Majapahit Ke Lawu
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya. 

Perbedaan pendapat antara anak kandung (R. Patah) dan Bapak (Brawijaya V) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.

Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R. Patah tidak mau menghadap (marak sowan) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. 




Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa "watu gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. 
Rajamala - Tokoh Pewayangan
Di haluan setiap kapal terpasang replika "Rajamala" dengan mata yang tajam. 

Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R. Patah. 

R. Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. 

Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Para pengikut raja membangun singgasana di atas sebuah bukit kecil, sekarang disebut Candi Dukuh.

Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R. Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena R. Patah adalah anak kandungnya sendiri. 

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan (susuh angin). 

Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan. 

Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikiran yang berbunga arif dan berbuah bijaksana. 
Mahkota adalah simbol manusia berbudaya (Ilustrasi)
Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. 

Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin. 

Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan "jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya".

Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. 




Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang "lawe" (bermakna laku gawe) menjadi bahan lurik. 

Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif "modang" (bermakna ngemut kadang). 

Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama. 

Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll. 

Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan (laku gawe) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan "Ki" (singkatan dari kihembu)Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca NegaraNama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Di tempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/Pamungkas dengan Sabdo Palon dan Naya Genggong yang ada di dalam dirinya.

Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. 

Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana. 

Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak, dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah penduduk, dan dalam gundukan tanah. 

Pengging kaya akan sumber air mineral tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh masyarakat sekitar Surakarta, dan berbagai kota di Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap kebenarannya. 

Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara (Brawijaya V / Pamungkas) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia, Alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan klaten.

Para brahmana menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Lawu. 

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Dalam pandangan Raja-raja terdahulunya, Gunung Lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. 

Para brahmana melihat bahwa Gunung Lawu telah menjadi tempat tinggal Leluhur-leluhur yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke Gunung Lawu,  dan singgah pertama di Candi Menggung desa Nglurah kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan negara. 

Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara tinggal disekitar Candi Menggung.

Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar. 

Ditemukan sebuah tempat diatas, dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu. 

Tempat ini diberi nama pertapan "Pandawa Lima", sekarang dikenal sebagai pertapan "Pringgodan". 

Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh

Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar 'Panembahan', sehingga menjadi 'Ki Ageng Panembahan Kaca Negara". 

Dialog terjadi antara Penguasa Lawu (disebut Eyang Lawu) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara. 

Dialog ini menghasilkan kesepakatan "Dwi jalmo Ngesti Sawiji", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu. 

Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi 'Sunan Lawu', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya. 

Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah, atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana. 

Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri. 

Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura, dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. 

Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati (mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya. 

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil, atau  berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil. 
  • Keraton Lawu yang merupakan tatanan kehidupan imateriil 'gunung'
  • Sementara keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil 'segara'
Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep langit-bumi.

Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di Candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia, maka dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu.

Dari Candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan Majapahit dalam bentuk arsitektur candi. 

Pembangunan candi-candi dipimpin oleh Brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. 

Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah Candi Sukuh kemudian Candi Cetho, sebagai pengetahuan dasar tatanan kehidupan 'sangkan paraning dumadi'. 

Candi Kethek, Candi baru yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, mulai digali. 

Tim gabungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan struktur bentuk candi yang kemudian diberi nama Candi Kethek. (http://www.arsip.net/id/link.php?lh=BFZUDVIHCwJR)

Candi Kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan Sang Balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.

Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. 

Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata (materiil) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. 

Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turunan Majapahit menikmati kembali masa keemasan Majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi Keraton Lawu

Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat, dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar Lawu, Gunung Kidul dan Pengging. 


Tatanan kehidupan antara Manusia, Alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah loh jinawi, walau tinggal di perbukitan yang dingin. 

Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. 

Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir,  dan papan bisa dilihat secara materiil Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional. 

Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang Ratu berfikir untuk kepentingan Manusia dan Alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata, dan utuh. 

Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kreatifitas yang searah dengan Alam dan Sang Pencipta. 

Ratu mengedepankan kepentingan manusia, Alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. 

Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi Manusia, Alam Semesta dan mahluk lain penghuni Alam Semesta. Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya. 

Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta.

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Saya (Sapto Satrio Mulyo) kumpulkan dari berbagai sumber......


Gunanya ramalan (Sabdo Palon Naya Genggongadalah agar kita dapat mencarikan solusinya, bukan untuk pasrah bongkokan. (Pesan dari anak cucu Mojopahit)
  1. http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya
  3. http://sasadaramk.blogspot.com/2011/08/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
Foto : Istimewa

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen