Ilustrasi |
Literasi Utama
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Ini adalah permulaan hitungan Tahun Bangsa Nusantara - yang saat itu diwakili oleh peradaban di pulau Jawa, yang sudah mengenal Astronomi, sejak berabad-abad yang lampau..
Yang pada akhirnya diikuti oleh Agama-agama berikutnya, bahwa lahirnya Agama tersebut ditandai oleh hitungan tahun, seperti Kristen (1 M, sebagai tiang Tahun 0 atau 1), dan Islam (Lahirnya Nabi Muhammad tahun 622 M yang dijadikan tiang Tahun 1 Islam)
Ini merupakan Tiang Tahun Kedjawen yang sudah mengenal Ghusti Allah (Monoteisme), dimana saat itu belum ada catatan Agama-agama lainnya.
Ghusti Allah sendiri memiliki dua kosa kata Ghusti (Subyek) dan Allah (Predikat - yang dalam Islam memiliki 99 makna dalam Asma'ul husna)
Agar mudah dimengerti bahwa mengapa orang Jawa menyembah Ghusti Allah, maka perlu kami beri contoh dengan Subyek Predikat, yakni seperti "Mobil Merah", jika diuraikan menjadi Mobil (Subyek) dan Merah (Predikat)
Sistem Penanggalan Jawa terjadi beberapa kali perubahan, antara lain :
Tahun JID
Tahun 10.481 Tahun SM = 1 JID
Tahun 1 Masehi = 10.346 JID (Tahun Jawa)
Tahun 2.000 Masehi = 12.310 JID
Tahun 2.012 Masehi = 12.322 JID
Tahun 2.012 Masehi = 1 Suro Jawa = 30 November 2012 = 12.323 JID
Tahun 10.481 Tahun SM = 1 JID
Tahun 1 Masehi = 10.346 JID (Tahun Jawa)
Tahun 2.000 Masehi = 12.310 JID
Tahun 2.012 Masehi = 12.322 JID
Tahun 2.012 Masehi = 1 Suro Jawa = 30 November 2012 = 12.323 JID
Tahun Saka Yang Disesuaikan
Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Mataram pada Tahun 1.641 M, mempunyai ide merubah sistem Penanggalan Jawa (Saka - Secara umum, setiap satu tahun Saka, kira-kira 10 atau 11 hari lebih pendek daripada tahun Masehi) yang Berpedoman Pada Peredaran Matahari Mengikuti Bulan diganti dengan Pedoman Peredaran Bulan Mengelilingi Bumi.
Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa Mataram pada Tahun 1.641 M, mempunyai ide merubah sistem Penanggalan Jawa (Saka - Secara umum, setiap satu tahun Saka, kira-kira 10 atau 11 hari lebih pendek daripada tahun Masehi) yang Berpedoman Pada Peredaran Matahari Mengikuti Bulan diganti dengan Pedoman Peredaran Bulan Mengelilingi Bumi.
Perubahan sistem penanggalan dimulai dengan Menetapkan Tanggal 1 Suro Tahun Alif 1.555, bertepatan dengan hari Jum’at Legi tanggal 8 Juli 1633 M, atau 1 Muharram 1043 H.
Sistem penanggalan ini melanjutkan perhitungan tahun Saka yang sudah berjalan, ditambah dengan perubahan nama bulan seperti Suro (‘Asuro), Sapar (Safar), Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Besar, Selo, Besar. Nama-nama bulan di tahun Jawa mirip-mirip dengan tahun Hijriyah, serta disesuaikan dengan waktu ibadah Islam, seperti bulan Poso (puasa) bersamaan dengan bulan Ramadhan,
Dalam tahun Jawa atau Saka ada 8 Windu (siklus waktu tiap 8 tahun) yang terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Setelah 4 Windu (32 tahun) berakhir, maka dimulai lagi dengan sebutan tahun Alip, walaupun perhitungan angka tahun terus berjalan. Siklus tiap 4 windu terdiri dari 4 bagian yang disebut Kuntoro, Sengsoro, Sancoyo, dan Adi. Jumlah hari dalam 1 tahun Jawa berbeda-beda, ada yang berjumlah 354 hari yang disebut dengan Wastu, dan 355 hari disebut dengan Wuntu.
Literasi Utama
Dalam tahun Jawa atau Saka ada 8 Windu (siklus waktu tiap 8 tahun) yang terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jimakir. Setelah 4 Windu (32 tahun) berakhir, maka dimulai lagi dengan sebutan tahun Alip, walaupun perhitungan angka tahun terus berjalan. Siklus tiap 4 windu terdiri dari 4 bagian yang disebut Kuntoro, Sengsoro, Sancoyo, dan Adi. Jumlah hari dalam 1 tahun Jawa berbeda-beda, ada yang berjumlah 354 hari yang disebut dengan Wastu, dan 355 hari disebut dengan Wuntu.
Literasi Utama
Sumber : Berbagai Sumber
Foto : Istimewa
Foto : Istimewa