Ilustrasi Sjekh Siti Jenar (Foto : Istw) |
Lahir: 1426, Astanajapura, Cirebon, Indonesia
Meninggal: 1517, Demak, Indonesia
Kebangsaan: Indonesia
Meninggal: 1517, Demak, Indonesia
Kebangsaan: Indonesia
Berbicara mengenai Raden Abdul Jalil, pertama-tama yang harus kita luruskan adalah fahamnya yang menganut "Manunggaling Kawula Gusti" yang jelas-jelas hal ini adalah filosofi Jawa Kuno, bukan filosofi Arab maupun lainnya.
Ajarannyanya filosofi yang begitu tinggi dari Raden Abdul Jalil ini membuat semua Wali (Wali Songo - yang notabene semuanya orang-orang Arab tidak terkecuali) marah. Hal ini dikarenakan menurut Wali-wali yang ada, akan menghambat siar agama Islam di Nusantara.
Bagi orang Jawa yang kala itu, masih sangat sengkretis, terasa berada di persimpangan jalan. Sebagian yang masih cinta dengan prilaku Leluhurnya, menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual yang mengingatkan kembali ajaran dengan nilai-nilai Leluhur Nusantara, saat adanya degenerasi dari masuknya nilai-nilai asing di Nusantara.
Ajaran-ajaran Raden Abdul Jalil tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut Pupuh. Hasil dari penggaliannya terhadap nilai-nilai Leluhur Nusantara, maka mengantarkan Raden Abdul Jalil membuat sebuah karya yang sangat baik, yakni "Budi Pekerti".
Melihat karya Budi Pekerti di atas, olehkarenanya orang-orang yang dari dulu ingin merusak nilai-nilai Luhur Bangsa ini, menyangkut pautkannya dengan ajaran sesat. Padahal kalau kita lihat sejarah digantinya Budi Pekerti pada tahun 1979, menjadi ajaran Agama, justru tahun itulah sebagai tiang sejarah dimulainya Tawuran Pelajar. Jadi sebenarnya kita harus melek, bahwa nilai-nilai Leluhur Nusantara ini lebih baik dari nilai apapun yang datang dari luar.
Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup Jawa Kuno, yang kalau dari kacamata peneliti asing disebut dengan sufi.
Adapun gelar Syekh didepan namanya, adalah sebuah politik labeling dalam arti untuk menurunkan drajatnya atau tingkat kastanya, sehingga dirinya akan dapat diperintah atau menurut dengan para Syekh yang lebih tua atau memiliki drajat yang lebih tinggi.
Konsep Manunggaling Kawulo Ghusti itu sudah ada jauh Sebelum Masehi, sementara agama Islam baru lahir abad 7 (Nabi Muhammad SAW lahir tahun 571 M). Jadi jelas Konsep Manunggaling Kawulo Ghusti itu, kalau pun tidak dihidupkan kembali oleh Siti Jenar, konsep itu sudah ada jauh sebelumnya.
Kalau begitu, pertanyaannya? Jika Siti Jenar orang Arab, maka berarti beliaulah yang justru terpengaruh oleh ajaran Agama Lokal yang Luhur.
Juga perlu diingat bahwa Ghusti dalam bahasa Jawa Kuno mempunyai esensi makna Tuhan YME yang sesungguhnya, sehingga orang-orang Nusantara yang mengerti betul mengenai esensi makna Tuhan YME, tidak akan pernah menghapus kosa kata Ghusti, Itulah sebabnya, datangnya agama Islam ke Indonesia tidak juga dapat dengan serta merta menggantikan kosa kata Ghusti. Seperti prilaku orang Nusantara yang sengkretis, maka pemakasaan untuk menggantikan kosa kata Ghusti, ditolak dengan halus, dengan menyisipkannya di belakang kata Ghusti, menjadi Ghusti Allah.
Pertanyaannya "Tuhan YME" ada di kosa kata yang mana - dalam Ghusti Allah? Mungkin hal ini dapat dijelaskan hukum bahasa kita, Mobil Merah, berarti Mobilnya berwarna merah. Jadi untuk orang-orang Jawa yang tetap ingin menyembah dengan cara Leluhurnya, tetap cukup memakai kata Ghusti saja. Sementara untuk orang Jawa yang ingin sembahyang cara Islam, mereka tetap menambahkan kata Allah dibelakang kata Ghusti, menjadi Ghusti Allah.
Foto : Istimewa
Catatan :
- Saat ini banyak sekali pemelintiran sejarah, yang setelah kita telaah bersama seperti di atas, tidak mungkin kalau Raden Abdul Jalil adalah orang Timur Tengah, Persia, Arab atau apapun.
- Penulis belum mendapatkan ilustrasi wajah Syekh Siti Jenar yang cocok dengan paras aslinya.