Kuala Lumpur (PerpustakaanTanahImpian) - Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, kemunculan gerakan perlawanan anti-Jepang di Malaya (Melayu) mengalihkan perhatian penduduk Malaya dari Inggris, yang dengan cepat merebut kembali kendali atas koloni Malaya, terutama karena menilai wilayah itu sebagai sumber karet dan timah.
Fakta bahwa gerakan gerilya yang terjadi di Malaya sebagian besar didukung oleh komunis Melayu-Tionghoa menandakan bahwa upaya Inggris untuk memadamkan pemberontakan itu didukung oleh mayoritas Melayu-Muslim, dengan pengertian bahwa setelah pemberontakan itu berhasil dipadamkan, kemerdekaan Malaya akan dikabulkan.
Kedaruratan Malaya diberlakukan dari tahun 1948 sampai tahun 1960. Namun pada tahun 1957, Inggris sudah merasa cukup percaya diri untuk memberikan kemerdekaan pada Federasi Malaya. Pada tahun 1963, 11 negara bagian Federasi Malaya bersama-sama dengan Singapura, Sarawak dan Borneo Utara bergabung untuk membentuk Malaysia.
Namun pada tahun 1965, Singapura yang didominasi oleh komunitas Tionghoa keluar dari federasi menyusul ketegangan antara komunitas Melayu dan Tionghoa. Brunei, yang menjadi protektorat Inggris sejak tahun 1888 menolak untuk bergabung dengan federasi dan mempertahankan statusnya sampai memperoleh kemerdekaan pada tahun 1984.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Imperium_Britania
Foto : Istimewa
Namun pada tahun 1965, Singapura yang didominasi oleh komunitas Tionghoa keluar dari federasi menyusul ketegangan antara komunitas Melayu dan Tionghoa. Brunei, yang menjadi protektorat Inggris sejak tahun 1888 menolak untuk bergabung dengan federasi dan mempertahankan statusnya sampai memperoleh kemerdekaan pada tahun 1984.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Imperium_Britania
Foto : Istimewa