Jendela Nusantara

Sabdo Palon & Naya Genggong Nagih Janji

Sejarah Tari Barong

Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Sejarah menuntun kita untuk mengetahui apa yang sebenarnya.

Mungkin Anda sependapat dengan kami, kalau kita dengar kata Barong, maka yang terlintas adalah Bali. Ternyata melalui penelusuran sejarah, kita mendapat kenyataan yang sesungguhnya.

Sejarah Tari Barong di Bali
Kesenian adat yang sudah tua umurnya di bumi nusantara ini, ditenggarai eksis pada masa pra-Hindu.

Asal usul kata "Barong" dipercaya berasal dari kata "Bahrwang", terjemahan bebasnya adalah Beruang.

Tari Barong Bali dijadikan pertunjukkan untuk pertama kalinya pada abad ke-19, saat itu Raja Kelungkung (Ida I Dewi Agung Sakti) meminta untuk mengadakan sebuah pegelaran, brbentuk seperti Wayang Orang yang dilakoni oleh + 36 orang, dengan formasi, sebagian penari berperan sebagai pasukan dari seekor Raja Kera, dan sebagian lagi berperan sebagai pasukan Rahwana.

Tarian Barong ini, ada yang berpendapat bahwa meniru dari kesenian Barongsai dari Tiongkok / China.Sementara, ada pendapat lain yang lebih meyakinkan, mengatakan bahwa tari Barong Bali berasal dari Reog Ponorogo.

Barong bali adalah metamorfosis dari Reog Ponorogog, yang dibawa oleh Raja Airlangga ketika mengungsi ke pulau Bali, untuk menyelamatkan diri.

Kehadiran Raja Airlangga membawa pengaruh, antara lain : Reog Ponnorogo, Seni Sastra Jawa, dan juga Keagamaan, yang sebelumnya Bali memiliki Agama Lokalnya sendiri.

Untuk pengaruh Reog Ponoroggo, selanjutnya diubah bentuk dan cerita nya, sesuai kondisi masyarakat Bali yang diperuntukan dalam acara spiritual keagamaan.

Sejalan berjalannya waktu, maka munculah berbagai jenis Barong Bali dengan berbagai kepala hewan, antara lain; Babi, Gajah, Anjing dan Burung yang sebagai simbol setiap kota di Bali.

Perspektif Budaya Bali
Orang Bali meyakini bahwa Barong adalah raja dari roh yang melambangkan kebaikan bagi kehidupan di Bali.

Dalam sebuah pertunjukkan, pada umumnya Barong sering tampil sebagai Singa, Harimau, atau Lembu. Sementara tema ceritanya adalah, mengenai pertarungan antara yang baik dan yang jahat, atau pertarungan antara Barong dan Rangda.

Ada berbagai macam Barong
Barong Bangkal
Bangkal menggambarkan Babi Besar yang berumur tua, jadi Barong ini menyerupai seekor Bangkal atau Bangkung, yang juga biasa disebut . Barong Celeng atau Barong Bangkung.

Barong Landung
Sedangkan Barong Landung merupakan satu wujud susunan yang berwujud manusia tinggi mencapai 3 meter. Barong Landung kabarnya tidak dijadikan kesnian yang bersifat komersial. Masyarakat Bali menyakini bahwa seni tari ini memiliki kekuatan sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan umat. Jika Anda ingin dengan mudah menjumpai jens tari Barong Landung ini, maka dsarankan untuk mengunjungi daerah Bali Selatan, seperti Badung, Denpasar, Gianyar, Tabanan. Rental mobil Bali yang sudah kami publikasikan bisa membantu Anda menuju kesana.

Barong Macan
Barong ini menyerupai seekor macan dan termasuk jenis barong yang cukup populer di kalangan masyarakat Bali. Dipentaskannya dengan berkeliling desa dan adakalanya dilengkapi dengan suatu dramatari semacam Arja serta diiringi dengan alat musik Bali yang bernama Gamelan batel.

Barong Rangda
Rangda merupakan ratu dalam keyakinan mitos yang berlaku bagi masyarakat Bali. Selain menakutkan, makhluk ini juga memakan anak kecil serta memimpin pasukan nenek sihir jahat melawan Barong, yang merupakan simbol kekuatan baik dalam kisah cerita keseniannya.

Barong Ket
Nama lain dari Barong Ket adalah Barong Keket, yaitu tari Barong yang paling banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan dalam berbagai acara. Hal ini yang menyebabkan taria ini memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. Berdasarkan wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara hewan yang bernama Singa, Macan, Sapi atau Boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempel kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.

Pada pertunjukkannya, Barong Ket ditarikan oleh dua orang penari yang disebut Juru Saluk atau Juru Bapang. Juru Bapang pertama menarikan bagian kepala, Juru Bapang yang lainnya di bagian ekor. Biasanya Barong Ket ditarikan berpasangan dengan Rangda, yaitu sosok seram yang melambangkan adharma (keburukan). Barong Ket sendiri dalam tarian tersebut melambangkan dharma (kebajikan). Pasangan Barong Ket dan Rangda melambangkan pertempuran abadi andara dua hal yang berlawanan (rwa bhineda) di semesta raya ini. Tari Barong Ket diiringi dengan gamelan Semar Pagulingan.

Barong Kedingling
Sebutan lain pada Barong Kedingkling adalah Barong Blasblasan. Namun ada juga yang menyebutnya Barong Nong Nong Kling. Ada perbedaan bentuk dari barong ini dengan jenis barong yang lain. Barong ini lebih menyerupai kostum topeng yang masing-masing karakter ditarikan oleh seorang penari. Adapun tokoh-tokoh dalam Barong Kedingkling persis dengan tokoh-tokoh dalam Wayang Wong. Ketika menari, cerita yang dibawakannya pun adalah lakon cuplikan dari cerita Ramayana terutama pada adegan perangnya. Pementasan barong Kedingkling ini pada umumnya dilakukan dengan ngelawang darfi rumah ke rumah berkeliling desa pada perayaan hari Raya Galungan dan Kuningan.

Alat musik yang mendapingin pertunjukan Barong Kedingkling adalah gamelan batel atau babonangan (gamelan batel yang dilengkapi dengan reyong). Jika Anda ingin menyaksikan Barong Kedingkling, Anda bisa datang daerah Gianyar, Bangli dan Klungkung.

Barong Gajah
Sesuai namanya, Barong Gajah tentu saja mirip dengan hewan yang bernama Gajah. Dua orang yang membawakan tari. Kabarnya, barong jenis ini langka dan dikeramatkan, masyarakat Bali pun jarang menjumpai barong jenis ini. Pada waktu tertentu saja, Barong ini dipentaskannya secara ngelewang dari pintu ke pintu berkeliling desa dengan iringan alat musik gamelan batel atau tetamburan. Kesenian Barong Gajah terdapat pada daerah Gianyar, Tabanan, Badung dan Bangli.

Barong Asu
Barong Asu persis dengan hewan yang bernama Anjing. Mirip dengan Barong Gajah, Barong Asu juga termasuk jenis barong yang langka, cuma beberapa daerah saja yang menggelar pertunjukkan seni ini. Barong ini cuma terdapat di beberapa desa di daerah Tabanan dan Badung. Pada umumnya dipentaskan dengan berkeliling desa (ngelelawang) pada hari-hari tertentu dengan iringan musik Gamelan batel atau tetamburan atau Balaganjur.

Barong Brutuk
Ini pun termasuk Barong Brutuk yang langka dan hanya pada acara – acara tertentu saja. Barong ini mempunyai bentuk yang lebih primitif dibandingkan dengan jenis barong Bali yang lain. Topeng Barong ini terbuat dari Batok kelapa dan kostumnya terbuat dari keraras atau daun pisang yang sudah kering. Barong ini melambangkan makhluk-makhluk suci (para pengiring Ida Ratu Pancering Jagat) yang berstana di Pura Pancering Jagat, Trunyan. Penarinya adalah remaja yang telah disucikan, yang masing-masing membawa cambuk yang dimainkan sambil berlari-lari mengelilingi pura.

Barong yang ditarikan dengan iringan gamelan Balaganjur atau Babonangan ini hanya terdapat di daerah Trunyan-Kintamani, Bangli.

Demikian ulasan tentang sejarah tari Barong yang asalnya dari daerah Bali disertai dengan jenis atau macam-macamnya. Semoga bermanfaat kepada pembaca yang budiman. Jangan lupa untuk berbagi dengan teman – teman Anda di sarana Komunikasi Daring. Komentar, saran dan kritik dari para pembaca yang baik hati kami tunggu ya.

Sumber : Dari berbagai sumber
Foto : Istimewa

Kosa Kata "Jawa" Kuno, Jawa Adalah Seluruh Suku-suku di Nusantara


Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Arti kosa kata Jawa (menurut pengertian Jawa Kuno) adalah seluruh Etnis Nusantara atau Benua Atlantis. Setelah adanya banjir besar, benua ini pecah menjadi 17.000 pulau (Dengan 750 Bahasa) yang kini disebut Indonesia, dengan penduduk dari etnis yang masih tersisa atau yang pada saat terjadi banjir besar dapat selamat untuk tetap hidup di bumi Nusantara ini.

Baca juga : Hubungan Antara Jawa dan Israel

Sementara, suku-suku yang berkembang di Nusantara (Manusia Nusantaramenjadi cikal bakal bangsa-bangsa lain di dunia, yakni antara lain: bangsa India, Cina, Jepang, Eropa, Israel, Arab, dlsb (Baca juga : Nabi Nuh yang dinyatakan dalam Al Quran ayat QS 11.44 dari Gunung Gede Jawa Barat)

Dalam bahasa Jawi Kuno, makna kata Jawa adalah “Berbudi Luhur”, maka tidak mengherankan kalau dalam percakapan sehari-hari, apabila seseorang dikatakan : “nggak nJawani” berarti orang tersebut “tidak punya Budi Pekerti yang Luhur”.

Dari Mitologi Jawa Kuno, bahwa kalangan Guru Hindu  dan Guru Budha belajar “Kejawen” dari Guru Janabadra. “Agama Nusantara – Kejawen (Baca juga : Waspada Terhadap Labelling Pihak Asing), yang sebenarnya sudah eksis pada 10.841 Tahun Sebelum Masehi” 

(Baca juga : makna Agama Lokal).

Dalam buku kisah perjalanan Guru Hindu dan Guru Budha pun, mereka menyatakan, bahwa mereka belajar “Kejawen” dari Guru Janabadra, lalu mereka mengembangkan “Kejawen” ini dengan nama sendiri, yakni dengan nama “Agama Hindu”, dan “Agama Budha”.

Sebenarnya  “Kejawen” adalah “Agama” suku-suku di Nusantara”, yang mana nilai-nilai tersebut sama persis seperti apa yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS (1.997 Tahun Sebelum Masehi) yang disebut dalam Alqur’an (Tahun 651 Masehi) “Millatu Ibrahim”. Sementara Kejawen yang sudah mengenal Ghusti Allah terlebih dahulu (JID - 10.481 Tahun Sebelum Masehi) lahir lebih dahulu dari Ibrahim AS.

Sumber : Dari Berbagai Sumber
Foto : Istimewa

Perjalanan Akhir Prabu Brawijaya V - (1.413 M - 1.478 M)


Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Bagi para keturunan, semoga artikel ini mengingatkan keberadaan kita semua untuk tetap memiliki komitmen. Dan kini saatnya kita bangkit kembali untuk mengulangi kejayaan eyang-eyang kita.

Bacalah artikel di bawah ini, tidak hanya dengan pikiran, tetapi juga dengan hati, maka kita akan mengerti apa pesannya, dan apa yang harus kita lakukan sekarang ini, menghadapi para penghianat bangsa yang berkedok agama.

Raja Brawijaya V adalah Raja Majapahit XII yang merupakan keturunan dari Raja Rajasawardhana, yang bergelar Raja Brawijaya II.


Sejak raja Majapahit VIII (Raja Kertawijaya), gelar Brawijaya mulai digunakan. 

Penyandangan gelar tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi politik, untuk memperkuat kedudukan Kertawijaya sebagai keturunan langsung dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. 

Dimana secara epistemologi asal kata "bra" berarti raja, dan "wijaya" yang berarti keturunan Raden Wijaya.

Sebelum membaca "Perjalanan akhir Brawijaya V", kiranya perlu Anda mencamkan, mengapa Tim Tanah Impian sangat memperhatikan perlunya kemurnian Sejarah Nusantara

Beginilah caranya mereka menghancurkan bangsa kita :
  • Pertama, mereka mengaburkan, menyesesatkan, dan mengacaukan Sejarah Nusantara
  • Kedua, mereka memutuskan pengetahuan mengenai Leluhur Kita
  • Ketiga, mereka mengarang  Sejarah Baru
Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Pindahnya Keraton Majapahit Ke Lawu
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna "baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di". Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya. 

Perbedaan pendapat antara anak kandung (R. Patah) dan Bapak (Brawijaya V) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.

Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R. Patah tidak mau menghadap (marak sowan) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. 




Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa "watu gilang (batu)" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. 
Rajamala - Tokoh Pewayangan
Di haluan setiap kapal terpasang replika "Rajamala" dengan mata yang tajam. 

Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R. Patah. 

R. Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. 

Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Para pengikut raja membangun singgasana di atas sebuah bukit kecil, sekarang disebut Candi Dukuh.

Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R. Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena R. Patah adalah anak kandungnya sendiri. 

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan (susuh angin). 

Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan. 

Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikiran yang berbunga arif dan berbuah bijaksana. 
Mahkota adalah simbol manusia berbudaya (Ilustrasi)
Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. 

Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin. 

Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan "jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya".

Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. 




Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang "lawe" (bermakna laku gawe) menjadi bahan lurik. 

Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif "modang" (bermakna ngemut kadang). 

Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama. 

Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll. 

Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan (laku gawe) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan "Ki" (singkatan dari kihembu)Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca NegaraNama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Di tempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/Pamungkas dengan Sabdo Palon dan Naya Genggong yang ada di dalam dirinya.

Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. 

Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana. 

Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak, dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah penduduk, dan dalam gundukan tanah. 

Pengging kaya akan sumber air mineral tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh masyarakat sekitar Surakarta, dan berbagai kota di Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap kebenarannya. 

Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara (Brawijaya V / Pamungkas) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia, Alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan klaten.

Para brahmana menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Lawu. 

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Dalam pandangan Raja-raja terdahulunya, Gunung Lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. 

Para brahmana melihat bahwa Gunung Lawu telah menjadi tempat tinggal Leluhur-leluhur yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke Gunung Lawu,  dan singgah pertama di Candi Menggung desa Nglurah kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan negara. 

Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara tinggal disekitar Candi Menggung.

Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar. 

Ditemukan sebuah tempat diatas, dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu. 

Tempat ini diberi nama pertapan "Pandawa Lima", sekarang dikenal sebagai pertapan "Pringgodan". 

Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh

Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar 'Panembahan', sehingga menjadi 'Ki Ageng Panembahan Kaca Negara". 

Dialog terjadi antara Penguasa Lawu (disebut Eyang Lawu) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara. 

Dialog ini menghasilkan kesepakatan "Dwi jalmo Ngesti Sawiji", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu. 

Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi 'Sunan Lawu', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya. 

Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah, atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana. 

Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri. 

Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura, dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. 

Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati (mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara) dari Surabaya. 

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil, atau  berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil. 
  • Keraton Lawu yang merupakan tatanan kehidupan imateriil 'gunung'
  • Sementara keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil 'segara'
Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep langit-bumi.

Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di Candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia, maka dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu.

Dari Candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan Majapahit dalam bentuk arsitektur candi. 

Pembangunan candi-candi dipimpin oleh Brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. 

Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah Candi Sukuh kemudian Candi Cetho, sebagai pengetahuan dasar tatanan kehidupan 'sangkan paraning dumadi'. 

Candi Kethek, Candi baru yang ditemukan di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, mulai digali. 

Tim gabungan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan struktur bentuk candi yang kemudian diberi nama Candi Kethek. (http://www.arsip.net/id/link.php?lh=BFZUDVIHCwJR)

Candi Kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan Sang Balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.

Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. 

Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata (materiil) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. 

Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turunan Majapahit menikmati kembali masa keemasan Majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi Keraton Lawu

Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat, dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar Lawu, Gunung Kidul dan Pengging. 


Tatanan kehidupan antara Manusia, Alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah loh jinawi, walau tinggal di perbukitan yang dingin. 

Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. 

Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir,  dan papan bisa dilihat secara materiil Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional. 

Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang Ratu berfikir untuk kepentingan Manusia dan Alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata, dan utuh. 

Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kreatifitas yang searah dengan Alam dan Sang Pencipta. 

Ratu mengedepankan kepentingan manusia, Alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. 

Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi Manusia, Alam Semesta dan mahluk lain penghuni Alam Semesta. Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya. 

Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta.

Baca juga : Hoax : Brawijaya V Masuk Islam

Saya (Sapto Satrio Mulyo) kumpulkan dari berbagai sumber......


Gunanya ramalan (Sabdo Palon Naya Genggongadalah agar kita dapat mencarikan solusinya, bukan untuk pasrah bongkokan. (Pesan dari anak cucu Mojopahit)
  1. http://budayaleluhur.blogspot.com/2009/11/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
  2. http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya
  3. http://sasadaramk.blogspot.com/2011/08/perjalanan-akhir-prabu-brawijaya-v.html
Foto : Istimewa

Perjalanan Hidup Mangkunegaran I (1.725 M - 1.795 M)


Surakarta (PerpustakaanTanahImpian) - Mengingat jasa-jasa kepahlawanan dari Mangkunegara I, pada tahun 1.983 M Pemerintah menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputra.

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (nama lahir Raden Mas Said) yang lahir pada 7 April 1.725 M di Kecamatan Kartasura, dan mangkat pada 23 Desember 1.795 M di Surakarta, memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu, selama 40 tahun.

Ayah RM Mas Said, yakni K.P.A. Mangkunegara, yang menjadi putra tertua Sunan Amangkurat IV (Pakubuwana I), penguasa Kesunanan Mataram-Kartasura. 



Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunagara I, adalah tokoh legendaris,, dikarenakan ia adalah salah satu pemimpin militer paling berbakat dan berpengalaman sepanjang sejarah Jawa.

Mas Said merupakan tokoh Jawa terkemuka pada abad ke-18, pendiri Pura Mangkunagaran di Surakarta pada 1.757 M. Pada saat adanya perang saudara yang penuh konflik dan sangat berdarah, memperlihatkan keberaniannya.

Mangkunagara berpihak pada pemberontak sejak 1.740 M (saat usia 14 tahun) dan terus berjuang hingga tahun 1.757 M (usia 31 tahun). Musuhnya adalaha Susuhunan Pakubuwana II (berkuasa 1.726 M - 1.749 M) dan Kompeni Belanda (VOC).

Dalam pertempuran melawan Belanda dia menerapkan sistem perang gerilya melalui pengamatan di Gunung Gambar. Kesaktian sang Pangeran ini, diyakini bisa menghilang, memporak-porandakan lawan tanpa perlu balatentara, dan persenjataan modern pada saatnya. 

Pangeran Mnagkunegaran I dimakamkan di kompleks makam yang terletak di Astana Mangadeg dengan ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Persisnya di salah satu puncak perbukitan di lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Persis di depan kantor pengelolaAstana Mangadeg, terdapat tugu, Monumen Tri Dharma.

Di tempat monumen itu berada, diyakini bahwa sang Pangeran pernah bersemedi di sela waktu 16 tahun perjuangannya melawan Belanda, sang pangeran bersemedi di tengah kesunyian bukit dan hutan.

Saat semedi itulah, ia merumuskan sebuah falsafah yang dikenal dengan Tri Dharma, yakni: 
  • Rumangsa melu handarbeni (merasa ikut memiliki)
  • Wajib melu hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan)
  • Mulat sarira hangrasa wani (berani bermawas diri).
Falsafah Tri Dharma ini, disosialisasikan untuk memotivasi rakyat mencintai dan loyal terhadap kerajaannya. 

RM Said kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran I.

Hingga kini masih banyak warga yang berziarah ke sarean Mangkunegaran I, yang beberapa di antaranya menggelar tirakat  (lek-lekan - tidak tidur) di dekat sarean, atau lebih tepatnya  di salah satu bangunan di bawah kompleks Astana Mangadeg. Hal ini dikarenakan sarean utama Mangkunegaran I dan keluarga Mangkunegoro ditutup pada pukul 24 malam.

Orang Jawa yang Hakiki
Mangkunegaran I adalah sosok yang kuat dengan prilaku Leluhur, yang dapat dilihat dari berbagai aspek yang berkembang di dalam masyarakt Jawa sebenarnya, dimana nilai-nilai tersebut terletak antara mistik, tradisi, rohani, dan budaya Jawa itu sendiri.

Ia tidak mengenal takut. Sejak usia muda, ia sudah akrab dengan konflik.

Ketika dewasa, ia harus melawan tiga musuh dalam waktu yang bersamaan sekaligus: VOC (Belanda), Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta.

Sepak-terjangnya susah dihentikan, dan bahkan mengakibatkan kemenangan pasukan yang dipimpinnya dari pihak lawan. Dari situlah ia dijuluki Pangeran Sambernyawa, karena di beberapa pertempuran, meskipun jumlah pasukannya lebih sedikit dari pihak lawan, tetapi ia dan pasukannya tetap memenangkan pertempuran tersebut..

Istana Mangkunagaran
Pura / Istana Mangkunegaran (Hanacaraka: ꦦꦸꦫ​ꦩꦁꦑꦸꦟꦼꦓꦫꦟ꧀) merupakan istana resmi Kadipaten Praja Mangkunegaran, dan juga sebagai tempat kediaman para penguasanya (Sampéyan Ingkang Jumeneng).

Istana yang berada di Surakarta ini, mulai dibangun pada tahun 1.757 M oleh Mangkunegara I dengan arsitektur model keraton. Dimana kompleks bangunan memiliki bagian-bagian yang menyerupai keraton, seperti memiliki pamédan, pendapa, pringgitan, dalem, dan keputrèn.

Seluruh kompleks dikelilingi oleh tembok, hanya bagian pamédan yang diberi pagar besi.

Pura yang baru dibangun setelah Perjanjian Salatiga ini, sebagai langkah mengawali pendirian Praja Mangkunegaran, yang ditandatangani oleh kelompok Raden Mas Said, Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwana I), Sunan Pakubuwana III, dan VOC pada tahun 1.757 M. Raden Mas Said, diangkat menjadi "Pangeran Adipati" bergelar Mangkunegara I.

Perjanjian Salatiga
Sulitnya menangkap Mangkunegaran I, membuat Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Pakubuwono III bernegosiasi dengan Mangkunegaran I ke meja perdamaian. Aakhirnya, Sunan-pun mengirimkan utusan, untuk menemui Mangkunegara, yang juga saudara sepupunya. Pucuk dicinta ulam tiba, akhirnya Mangkunegara bersedia untuk berunding dengan Sunan, tetapi dengan syarat, dengan tanpa melibatkan VOC.

Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 gulden untuk prajurit Mangkunegara. Dengan hasil, bahwa perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III tersebut, diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1.757 M.

Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepada RM Said agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo.

Untuk menetapkan wilayah kekuasaan RM Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Pakubuwono III, disaksikan oleh utusan Sultan Hamengku Buwono I, dan VOC ini, disepakati bahwa RM Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri.

Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegaran I (gelar RM Said), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai peminjam kekuasaan dari Kompeni, melainkan ia menyadari bahwa dirinya sebagai "raja kecil", bahkan tindakannya pun memperlihatkan bahwa "ia adalah raja Jawa Tengah yang ke-3", sehingga Kompeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.

RM Said memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya ia  mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1.683 (Jawa), atau 1.756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran.

Pasukan Wanita
Mangkunegaran I adalah Raja Jawa pertama yang melibatkan wanita di dalam angkatan perangnya. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.

Sebanyak 144 prajurit Laskar Mangkunegara adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan ringan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda).

Mangkunegara mengajari wanita-wanita desa, untuk mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.

Prajurit wanita tersebut sudah turut dalam pertempuran, saat RM Said memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. 

Sumber : Dari beberapa sumber
Foto : Istimewa

#KembaliKeKearifanLokal
#SadarSejarahNusantara
#PerpustakaanTanahImpian

Seputar Pidato Proklamasi 17 Agustus 1945

Pembacaan Teks Proklamasi
Jakarta (PerpustakaanTanahImpian) – 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Indonesia. Ini adalah naskah yang dibacakan oleh Ir. Soekarno, pada kesempatan tersebut.

Sementara sebelum Hari H Pidato Pembacaan Teks Proklamasi, ada beberapa kejadian yang terekam Seputar Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Menuju dan sesudah hari bersejarah ini, ada beberapa catatan penting yang mungkin terlewat, dimana kita tidak pernah melihatnya sebagai sebuah satu kesatuan yang utuh.

Seperti kita ketahui, alotnya negosiasi antara kaum muda dan kaum tua dalam mengambil langkah proklamasi yang dapat dilihat pada "Peristiwa Penculikan Rengasdengklok", yang berhubungan erat dengan BPUPKI.

Yang juga tidak kalah pentingnya adalah, saat tiga pemuda memperjuangkan persatuan, dan mempertahankan kebhinekaan NKRI, peristiwa ini lebih dikenal dengan "Piagam Jakarta", yang berhubungan erat dengan PPKI.

Untuk menjelaskan bahwa apa yang kami tulis memang begitu adanya, maka kami pun menyuguhkan Seputar Foto-foto Kemerdekaan Indonesia.

Pidato Proklamasi 17 Agustus 1945
dalam: Berita RI 1945 Thn II No. 7

Saudara-saudara sekalian!
Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa maha penting dalam sejarah kita.
Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun!
Gelombangnya aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naik turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita itu.
Juga di dalam jaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-berhenti. Di dalam jaman Jepang ini tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya kepada kekuatan kita sendiri.
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya.
Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia, dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat, bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

Saudara-saudara! Dengan ini kami nyatakan kebulatan tekad itu.
Dengarkanlah proklamasi kami:

Proklamasi

Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta, 17 Agustus 1945       
Atas nama Bangsa Indonesia,

SOEKARNO - HATTA              

Demikianlah saudara-saudara!
Kita sekarang telah merdeka!
Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita.
Mulai saat ini kita menyusun Negara kita! Negara Merdeka, Negara Republik Indonesia, -- merdeka kekal dan abadi.
Insya Allah, Tuhan memberkati kemerdekaan kita itu.

Berita republik Indonesia tahun II no 7 memuat tentang
A.pengangkatan Soekarno sebagai presiden republik Indonesia
B.pengankatan Moh.hatta sebagai wakil presiden republik Indonesia
C.pembukaan UUD 1945 dan Batang tubuh UUD 1945
D.penegasan wilayah negara kesatuan republik Indonesia

Budaya Arab Ternyata Warisan dari Budaya Agama Kristen